Terpesona Pidato Kebudayaan Saras Dewi




Hal yang paling patut aku syukuri saat ini adalah bisa menonton Pidato Kebudayaan Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) 2018 secara langsung di Teater Jakarta Taman Ismail Marzuki (TIM), Sabtu (10/11/2018) malam. Biasanya tiap tahun aku selalu nonton videonya di YouTube. Alhamdulillah yang juga menggembirakan dalam Pidato Kebudayaan 2018 adalah penyajinya. Dia adalah salah satu perempuan yang aku idolakan dan kagumi. Dialah si Lembayung Bali a.ka Saras Dewi atau mbak Yayas. 



Tak hanya terpesona dengan materi memukau yang mbak Yayas bawakan. Tapi juga terpesona dengan keramahan, kerendahhatian, dan kecantikannya. Asli, dia cantik banget. Bagiku dia adalah perempuan panutan hampir sempurna; sangat cerdas, cantik, baik, ramah, religius dan down to earth. Usai pidato, semua orang mengerubunginya. Ada yang minta foto dan tanda tangan. Dia pun dengan sabar memenuhi permintaan setiap orang. Saat aku dan temanku menghampirinya, dia bilang, "Tunggu ya. Jangan pulang dulu." Karena dia harus melayani satu per satu orang yang minta foto bareng dan tanda tangan.

Kebahagiaanku berlipat ganda malam tadi. Selain mendengar pidato yang luar biasa, aku juga bisa foto bareng dan dapat tanda tangan di buku yang berisi teks pidatonya. Bahagia batsss lah pokoknya. 

Aku sempat bilang ke dia, "Mbak, aku sudah baca bukumu lho. Tapi aku nggak bawa jadi nggak bisa ditandatangani (aku lupa bukunya sudah kujual untuk donasi gempa Lombok)." Terus dengan ramah dia menjawab, "Oh datang aja ke kampus ya." Ramah banget kan.








Berbicara soal isi pidato mbak Yayas, dia membawakan pidato berjudul "SembaHYANG Bhuvana". Isi pidato ini tak jauh dari concern mbak Yayas selama ini sebagai aktivis lingkungan dan juga ilmunya di bidang filsafat lingkungan. Dalam pidatonya dia menekankan bagaimana teknologi berpengaruh besar terhadap perubahan relasi manusia dengan alam. Selama ini alam kerap dijadikan sebagai objek oleh manusia dengan dalih pembangunan. Padahal alam sendiri adalah subjek. Alam telah banyak memberi. Tapi kemudian manusia banyak melakukan perusakan karena merasa berkuasa atas alam. Tema yang disampaikan tak jauh beda dengan apa yang pernah saya baca dalam bukunya, Ekofenomenologi.

Dengan penuturan yang puitis, suara merdu dan lembut, mbak Yayas membawa kita pada perenungan atas sikap kita selama ini terhadap alam atau lingkungan sekitar kita. Dia membuka kesadaran kita untuk selalu bersikap selaras dengan alam, dengan kehendak alam. Sehingga muncul ekuilibrium hubungan manusia dan alam.

Mbak Yayas juga menyinggung tentang reklamasi Teluk Benoa. Dia ikut berjuang bersama masyarakat Bali menentang reklamasi. Teluk Benoa baginya adalah kekasih yang sangat dicintainya. Dia pun menceritakan bagaimana awalnya ia jatuh cinta dengan teluk yang menjadi sumber kehidupan warga sekitarnya selama ini.

Salah satu hal yang menarik buat saya adalah pembahasan tentang ekofeminisme. Ekofeminisme sebentuk gerakan yang melakukan kritik lantang terhadap bagaimana pengetahuan selama ini dibangun dengan niat untuk menjadikan alam sebagai yang inferior. Ekofeminisme mengupayakan dunia yang tak lagi sakit dengan kesenjangan, opresi dan kebencian. Dia pun menceritakan kiprah seorang tokoh ekofeminist dari India bernama Vandana Shiva. Such an inspiration. Aku semakin ingin belajar tentang feminisme dan berbagai jenis gerakannya. 

Sepertinya aku akan susah move on dari pidato mbak Yayas. Begitu menginspirasi. Sangat mencerahkan. Di jalan pulang dari Taman Ismail Marzuki, aku merasa semakin mencintai alam. Tapi tentu rasa cinta saja tidak cukup. Bagaimana mencintai dengan segala tanggung jawab untuk menjaga, itu yang penting. Mulai saja dulu dari diri sendiri, minimal tidak buang sampah sembarangan, beralih gunakan produk-produk ecogreen, dan kurangi penggunaan plastik. Kita memang perlu cara-cara radikal atau revolusioner untuk mengembalikan keseimbangan alam yang telah kita keruk habis-habisan, tapi setidaknya mulai aja dulu dari diri kita.

Di akhir tulisan ini aku akan kutip pidato pembuka "SembaHYANG Bhuvana" yang sangat indah. Di tengah pidatonya mbak Yayas juga menyelipkan puisi karya penyair Hindu dan juga menyanyi lagu bertema penolakan reklamasi Teluk Benoa. Di akhir pidato, dia juga membacakan puisi karyanya. Superb! Super keren! She still amazed me! You are such an adorable person, mbak Yayas! As a woman, I am super proud of you!


Tidak ada daya muslihat pada alam. Alam adalah angan-angan terhadap yang nirmala, segala yang murni dan baik. Alam tidak saja bumi yang dipijak, tempat bernaung, tetapi juga ruang menyejarah bagi manusia. Alam menuangkan saripatinya menyangga kehidupan, tidak terkecuali, manusia juga tergantung terhadapnya.


NB: Ini video semalam.

Comments

Popular Posts