Resensi Buku "Soewardi Soerjaningrat dalam Pengasingan"



Judul: Soewardi Soerjaningrat dalam Pengasingan

Penulis: Irna H.N. Hadi Soewito

Penerbit: Balai Pustaka dan Kepustakaan Populer Gramedia



Siapa yang tidak kenal Ki Hajar Dewantara? Tentu kita semua mengenal beliau. Tapi apakah kita benar-benar mengenal beliau? Itu adalah pertanyaan personal yang saya ajukan untuk diri sendiri.

Kita berhutang budi pada beliau tapi belum tentu kita benar-benar mengenal beliau dan sepak terjang beliau dalam memperjuangkan pendidikan bagi bangsa ini. Karena itulah membaca buku ini adalah pilihan tepat untuk bisa mengenal lebih dekat sosok Ki Hajar Dewantara.

Tanggal kelahiran Ki Hajar Dewantara pada 2 Mei diperingati sebagai Hari Pendidikan Nasional. Hal tersebut berkat kiprah beliau dalam merancang sistem pendidikan yang layak untuk bangsa ini dan juga perjuangan beliau menentang penjajah melalui dunia pendidikan.

Buku ini secara runut menjelaskan riwayat hidup Ki Hajar Dewantara dan perjuangan beliau ketika menjadi orang buangan di Belanda. Walaupun tidak tebal, tapi buku ini berisi informasi cukup lengkap serta mudah dipahami terkait sosok Ki Hajar Dewantara serta kiprah beliau dalam dunia pendidikan.

Bersama orang Belanda yang anti penjajahan, Ernest Francois Eugene Douwes Dekker dan Dr. Tjipto Mangoenkoesomo, R.M Soewardi Soerjaningrat mendirikan Indische Partij pada 6 September 1912 yang berhaluan kebangsaan, kerakyatan dan kemerdekaan. Melalui partai ini, para pendiri berusaha menyadarkan rasa kebangsaan Hindia dan mempersiapkan mereka menjadi bangsa yang bebas dan merdeka serta menanamkan semangat untuk lepas dari penjajahan.

Pada Juli 2013, para pajabat Hindi Belanda akan mengadakan perayaaan 100 tahun kemerdekaan Belanda dari penindasan Prancis pada zaman Napoleon. Acara ini melibatkan pribumi namun ditolak keras oleh masyarakat pribumi termasuk Indische Partij karena dianggap sebagai penghinaan bagi bangsa yang sedang mengalami penjajahan.

Bahkan Ki Hajar Dewantara menerbitkan sebuah tulisan menentang rencana tersebut, yang berisi kritikan sangat keras. Tulisan tersebut diterbitkan Comite Boemipoetra dengan oplah mencapai 5.000 eksemplar. Tulisan tersebut menjadi tamparan keras bagi para penjajah dan mengantarkannya ke dalam penjara. Namun Soewardi tak gentar dan menolak berkompromi dengan para penjajah agar dia dibebaskan. Dia pada akhirnya lebih memilih dihukum sebagai orang buangan daripada harus tunduk pada penjajah. Awalnya Soewardi diputuskan untuk diasingkan ke Pulau Bangka, sedangkan Dr. Tjipto ke Ambon. Namun akhirnya mereka dan juga Douwes Dekker memilih meninggalkan tanah air dan diasingkan ke Belanda.

Hidup di pengasingan tentu tidaklah mudah. Soewardi yang membawa serta istrinya, Soetartinah bertahan hidup dengan menulis di koran dan majalah. Beliau juga mendirikan kantor berita bernama Indonesisch Persbureau (Biro Pers Indonesia). Dari sinilah sebutan "Indonesia" untuk Hindia Belanda mulai sering terdengar dan makin dikenal di Eropa.

Ketika di Belanda pula Soewardi menemukan konsep pendidikan yang cocok diterapkan untuk bangsa Indonesia. Hal ini beliau temukan setelah banyak membaca buku karya tokoh pendidikan dari negara lain seperti Montessori, ahli pendidikan Italia, termasuk Rabindranath Tagore dari India.

Soewardi ingin mengganti sistem pendidikan kolonial yang mengedepankan cara perintah, paksaan dan hukuman dengan sistem among. Guru, baginya, harus menjadi pemimpin yang berdiri di belakang dan wajib menyingkirkan segala rintangan yang dihadapi anak didiknya.

Soewardi akhirnya dibebaskan dari hukuman buangan pada 17 Agustus 1917, empat tahun kurang sehari sejak putusan hukuman pembuangan ditetapkan pemerintah Hindia Belanda. Beliau kembali ke Indonesia dan kemudian mendirikan Taman Siswa di Yogyakarta.


Comments

Popular Posts