Resensi Novel "Hujan Bulan Juni"
Judul : Hujan Bulan Juni (Novel)
Penulis : Sapardi Djoko Damono
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Tahun : 2015
ISBN : 978-602-03-1843-1
“Bahwa kasih sayang beriman pada
senyap.”
(Halaman 45)
Hujan Bulan Juni adalah salah satu puisi Sapardi Djoko
Damono. Dan pada 2015 lalu, terbit sebuah novel yang berjudul sama. Hujan Bulan
Juni (Novel) adalah buku ke-12 yang saya baca di tahun 2016 ini. Buku ini tak
tebal, hanya 135 halaman sehingga saya habiskan dalam waktu sekitar dua jam.
Hujan Bulan Juni berkisah tentang Sarwono, seorang dosen
di UI yang jatuh cinta pada Pingkan, sama-sama jatuh cinta, bisa dikatakan
demikian. Pingkan juga mengajar di kampus yang sama, hanya beda fakultas.
Sarwono dan Pingkan sama-sama berasal dari Solo. Namun ada perbedaan yang menjadi
rintangan untuk menyatukan hubungan mereka, yaitu perbedaan agama dan latar
belakang keluarga.
Sarwono adalah Jawa tulen, sementara Pingkan
disebut-sebut keturunan Manado. Walaupun sebenarnya ibunya keturunan Jawa.
Karena lama tinggal di Makassar, maka ibu Pingkan atau Bu Pelenkahu tidak
merasa memiliki unsur Jawa. Pingkan pun bimbang dengan akarnya, apakah ia
Manado atau Jawa.
Sebenarnya dari keluarga inti Sarwono (ayah dan ibu)
tidak mempermasalahkan hubungannya dengan Pingkan karena Sarwono dianggap bisa
memilih sendiri calon isterinya. Begitu pun dengan ibu Pingkan (bapaknya telah
meninggal). Tapi yang jadi persoalan adalah keluarga besar yang kerap memberi
masukan dan komentar.
Sarwono begitu khawatir Pingkan akan tertarik dengan
pria Jepang setelah perempuan itu melanjutkan kuliah di Jepang. Bisakah
hubungan keduanya berlanjut ke jenjang pernikahan? Bisakah mereka melaju ke
tangga berikutnya setelah melewati berbagai halangan?
“Nasib
memang diserahkan kepada manusia untuk digarap, tetap takdir harus
ditandatangani di atas meterai dan tidak boleh digugat kalau nanti terjadi
apa-apa, baik atau buruk.”
(Halaman 20)
Sebenarnya tema cerita dari buku ini cukup sederhana,
hanya sebuah kisah cinta dari dua sejoli yang berbeda latar belakang. Tapi diramu
dengan bahasa yang menarik, bahasa sederhana, tidak liris tapi tetap puitis.
Ada juga satu bagian yang ditulis tanpa titik dan koma, tapi tetap saja menarik
untuk dibaca. Buku ini ditutup dengan sebuah puisi berjudul Tiga Sajak Kecil
yang sangat indah. Mungkin beginilah kalau penulis hebat yang membuat karya,
sesederhana apapun tetap menjadi sangat menarik.
“Kesepian adalah benang-benang halus
ulat sutera yang perlahan-lahan, lembar demi lembar, mengurung orang sehingga
ulat yang ada di dalamnya ingin segera melepaskan diri menjadi wujud yang sama
sekali berbeda, yang bisa saja tidak ingat lagi asal-usulnya. Hanya ulat busuk
yang tidak ingin menjadi kupu-kupu.”
(Halaman 81)
“Bagaimana mungkin seseorang memiliki
keinginan untuk mengurai kembali benang yang tak terkirakan jumlahnya dalam
selembar saputangan yang telah ditenunnya sendiri. Bagaimana mungkin seseorang
bisa mendadak terbebaskan dari jaringan benang yang susun-bersusun,
silang-menyilag, timpa-menimpa dengan rapi di selembar saputangan yang sudah
bertahun-tahun lamanya ditenun sendiri oleh ketabahannya sendiri oleh tarikan
dan hembusan napasnya sendiri oleh rintik waktu dalam benaknya sendiri oleh
kerinduannya sendiri oleh penghayatannya sendiri tentang hubungan-hubungan
pelik antara perempuan dan laki-laki yang tinggal di sebuah ruangan kedap suara
yang bernama kasih sayang. Bagaimana mungkin.”
(Halaman 66)
Comments
Post a Comment