Pameran "Namaku Pram"




Suatu hari, dulu sekali, saya ingat salah seorang teman maya saya pernah berujar, "Menunda membaca Pram (Tetralogi Buru) adalah sebuah dosa." Saya tahu buku itu dan saya memilikinya walaupun modal minjam dan belum lengkap tapi sayangnya saya belum baca sampai detik saya membuat tulisan ini. Saya akui, 'dosa' saya makin menumpuk kalau begini.

Pramoedya Ananta Toer adalah legenda dan pasti semua sepakat. Walaupun mungkin tak semua warga negara Indonesia mengenalnya atau setidaknya tahu perihal dia. 

Saya punya sahabat atau orang tua dari Norwegia yang sangat antusias menyuruh saya membaca Pram sekitar 13 tahun yang lalu. Dia mewajibkan saya membaca Pram dan bahkan waktu itu mengirimkan saya review buku Pram dalam bahasa Inggris. Melalui karya Pram, dia mengenal kondisi sosio politik Indonesia di zaman itu yang menjadi latar belakang cerita Tetralogi Buru.

Bagi saya sosok seorang Pram adalah sosok yang keras hati, keras kepala, teguh pendirian, dan berani bersuara. Itu yang saya tangkap setelah membaca buku Pramoedya Ananta Toer Dari Dekat Sekali yang ditulis Koesalah Soebagyo Toer.





Saya ingin lebih mengenal Pram lebih dalam. Dan pada akhirnya saya berkesempatan mengunjungi pameran "Namaku Pram" di Dia.Lo.Gue Kemang, Jakarta Selatan pada 26 Mei 2018. Di sini kita bisa melihat kehidupan keseharian Pram melalui barang-barang yang dipakainya serta dokumentasi foto dan catatan-catatan.

Di pameran ini dipajang linimasa kehidupan Pram mulai dari kelahiran, masa kecil, masa muda, sampai pada akhir hidupnya atau dalam rentang waktu 1925-2006. Buku-bukunya yang terbit pertama kali juga dipajang di lemari-lemari kaca. Ada properti pameran yang bisa difoto dan ada yang dilarang untuk diambil gambarnya.

Terbitan buku pertamanya yang dipamerkan di antarnya; Perburuan (1949), Midah Si Manis Bergigi Mas (1959), naskah tulisan yang ditulis sekitar tahun 1960-an setelah dibebaskan dari penjara karena menulis buku Hoa Kiau di Indonesia, Keluarga Gerilya (1962), Sekali Peristiwa di Banten Selatan (1980), Subuh (1961), Ihtisar Kronologis Publikasi tentang Pramoedya Ananta Toer dan Karyanya 1947-1985 dan Tjerita Dari Jakarta (1957).










Usai menyusuri linimasa, saya menyusuri dokumentasi foto dan catatan yang Pram tulis saat ia diasingkan di Pulau Buru. Ada salah satu foto Pram saat tahun pertama di Pulau Buru. Di foto itu dia memakai kaos putih dan sarung, berjalan di tengah sawah bersama seseorang yang mengenakan caping.

Pram adalah orang yang rapi dalam mendokumentasikan pengalaman hidupnya. Ia mencatat aktivitasnya di Pulau Buru dalam sebuah buku tulis bersampul ungu merek Swan Nomor 1. Buku merek ini dulu sering saya lihat semasa kecil. Di situ Pram menulis kisah di Pulau Buru dengan judul Sela-Sela Kehidupan di Pedalaman Buru. Ia menceritakan pengalamannya bertemu penduduk Buru disertai foto-foto hitam putih dan keterangan dalam tulisan tangan yang cukup rapi.

Di sebuah layar ada foto-foto Pram dan aktivitas-aktivitasnya termasuk dengan keluarganya. Pengunjung juga disuguhkan foto rumahnya di Blora, foto pernikahannya dengan Maimunah dan foto anak-anaknya. Ada juga linimasa kehidupan Pram dari masa kecil, waktu muda di Jakarta, titik puncak intelektual, dan masa di Pulau Buru.

Saya sedih dan ingin menangis ketika membaca kartu pos-kartu pos yang dikirimkan Maimunah dan anak-anak Pram ketika ayahnya dipenjara di Buru. Ada cukup banyak kartu pos yang dipamerkan di antaranya kiriman Maimunah Thamrin sepanjang 1961-1976.
Kartu pos sebagian ditulis tangan dan ada yang diketik. Ada beberapa yang sulit dibaca karena tulisan tangan dan menggunakan ejaan lama.

Ada juga kartu pos dari anaknya, Astuti Ananta Toer yang dikirim sepanjang 1971-1977. Surat yang membuat saya sedih salah satunya yang dikirim pada 11 September 1971. 

Di kartu pos itu tertulis begini:

Mendapatkan ajahanda jang tertjinta...

Ajahanda bagaimanakah keadaannya sekarang? (Titiek berdoa agar ajahanda sehat wal'afiat). Ajahanda Titiek pada bulan Oktober sehabis udjian mau diopname, do'akanlah ajah untuk anakmu ini jang selalu merindukan ajahanda.

Peluk tjium untuk ajah

Titiek


Ada juga surat dari Ariana Ananta Toer dalam kurun 1971-1977, Ananda Rita Ananta Toer, Tatiana Ananta Toer, dan Yudistira Ananta Toer. Kartu pos-kartu pos itu ditujukan ke alamat Unit I Wanapura Nomor Foto B41. Saya sedih dan pengin nangis lagi saat melihat foto Pram memeluk dan mencium anak-anaknya. Saya membayangkan betapa besar kerinduan seorang ayah kepada anak-anaknya dan sebaliknya saat mereka terpisah jauh dalam waktu yang sangat lama.
















Pengunjung juga bisa melihat melalui tayangan layar video wawancara dengan beberapa anggota keluarga besar Pram. Mereka menceritakan bagaimana kehidupan sehari-hari Pram dan interaksinya dengan keluarga. Ada juga video pendapat berbagai tokoh tentang sosok Pram disampaikan Hilmar Farid, Harun Sulaiman, Asmara Abigail, dan Budiman Sudjatmiko. Sayangnya di bagian ini pengunjung harus antre dan saya terpaksa skip section ini.

Kemudian saya masuk ke ruang arsip. Di sini disimpan sobekan naskah-naskah ketikan tidak terpakai. Dan di balik kertas itu digunakan untuk mengetik naskah Ensiklopedi Geografi. Dipamerkan juga naskah tulisan tangan dalam buku tulis tentang manusia Indonesia dan sejarah Indonesia yang ditulis di Pulau Buru. Kartu pos Pram untuk anaknya Yudistira Ananta Toer atau dipanggilnya Gus. Kartu pos itu dikirim 6 Oktober 1972. Potongan tiket pesawat Pram dan istri waktu ke Hongkong pada 19 maret 2003. Fotonya dan istri bersama peraih Nobel Sastra Gunter Grass. Kartu nama dia dan kolega serta medali penghargaan seperti Ramon Magsaysay Award.

Selain itu dipamerkan juga foto bersama keluarga; anak-anak, cucu, istri dan saat dia bersama istrinya dan disertai catatan dalam kertas usang yang diketik dengan judul Tahun-Tahun Sekarat Seorang Kakek.

"Barangsiapa pernah dilahirkan pada akhirnya ia menjalani hukuman mati. Tak peduli ia bajingan ataukah nabi, negarawan ulung ataukah gelandangan dengan hanya satu kaki dan dua tongkat menunjang."

"Pada akhirnya hidup hanya begini ini," ia bergumam. "Cita-cita tentang kehidupan yang lebih baik di hari esok..... di mana semua itu sekarang. Dalam remah dan sisa hidupnya pun nol. Romantika ke arah haridepan, wah, nyatanya hanya baik untuk barang dagangan politisi, yang sendiri juga tidak pernah yakin akan ucapannya sendiri."

"Sekali lagi ia mengangguk-angguk. Sekali ini tanpa bergumam. Bukan karena terkejut pada gerutunya sendiri; tiba-tiba saja ia menyadari ada seorang aku dalam dirinya yang tidak lagi membutuhkan sangkalan, persetujuan, atau pun ajakan. Sang aku dengan dirinya nampaknya sudah jadi satu kesatuan. Tanpa suatu perencanaan ia mulai melangkah ke dunia metafisika. Bah! Ia menggeleng cepat."

Di bagian belakang lokasi pameran, dibuat juga instalasi ruang kerja Pram dan barang-barang yang sering digunakan seperti mesin tik, sarung, dan buku-buku. Bahkan di toilet lokasi pameran ini, dindingnya ditutup dengan poster bibliografi Pramoedya.






Oh iya, di ruang pameran bagian depan juga dipajang tas merah marun yang dibawa Pram saat keluar dari Buru. Tas itu bertuliskan PAT Jakarta 28 9 79. Di dekatnya ada juga baju kaos putih yang sering dipakai Pram semasa hidupnya.

Pram tak hanya harus diketahui namanya. Dikutip quote-quotenya. Tapi harus dikenali dan ditelusuri karya-karyanya. Diserap daya hidup dan energi perlawanannya. Begitulah setidaknya cara saya atau kita sebagai anak muda menghargai jasa-jasanya yang sungguh tak ternilai, tak hanya bagi dunia kesusateraan tapi juga bagi bangsa Indonesia.

"Kesengsaraan itu menyadarkan diriku, bahwa aku ini betul-betul hidup. Sekiranya aku selalu mewah, mungkin aku tak pernah merasa, bahwa aku ini betul-betul hidup."















Comments

Popular Posts