Cara Memadamkan Api Amarah - Resensi Buku "Anger" Karya Thich Nhat Hanh

 



Seringkali kita menyembunyikan kemarahan. Jika kita sedang marah pada seseorang, kerap kali kita bilang "Enggak kok, aku enggak marah". Biasanya orang tidak mau mengakui kemarahannya untuk menghindari konflik yang lebih besar. Tapi ternyata menyimpan dan tidak mengakui kemarahan itu berbahaya.

Kemarahan ibaratnya api dalam sekam. Jika diabaikan, tetap disimpan, suatu hari bisa menjadi bom waktu yang merusak dan menghancurkan, tidak hanya diri sendiri, tapi orang lain.

Kemarahan juga seperti rumah yang terbakar. Jika rumah kita terbakar, pertama-tama kita harus berusaha memadamkan apinya, bukan lari. Karena jika kita hanya lari tanpa berusaha memadamkan apinya, maka api akan membesar dan semakin membesar dan akan membuat rumah kita habis terbakar.

Itulah intisari dari buku Anger; Wisdom for Cooling the Flames yang ditulis Thich Nhat Hanh. Ini buku pertama Thich Nhat Hanh yang saya baca. Dia adalah biksu Buddha yang aku idolakan dan sering membaca kutipan-kutipan pesan kehidupan dari beliau. May he rest in peace. He passed away months ago.

Buku ini memang memasukkan unsur-unsur ajaran Buddha. Tapi menurutku buku ini universal, bisa dibaca siapa saja, bukan hanya dari kalangan penganut Buddha.

Saya baca yang edisi Bahasa Inggris dan sepertinya belum ada terjemahan Indonesianya. Walaupun Bahasa Inggris, tapi sangat mudah dipahami, menggunakan kata-kata yang sederhana dan yang kemampuan Bahasa Inggrisnya  baru tingkat pemula menurut saya ini bisa banget dipahami.

Buku ini mengajarkan kita bagaimana mengelola kemarahan. Emosi-emosi yang tidak dikelola dengan baik itu bisa merusak, tidak hanya merusak batin tapi juga fisik kita.

Salah satu cara mengelola kemarahan adalah dengan mengakuinya. Embracing your anger. Thich Nhat Hanh menganalogikan kemarahan itu seperti bayi yang menangis. Sebagaimana ibu yang menenangkan bayinya, begitulah kita seharusnya. Ketika kita diliputi amarah, kita mendatanginya dan berusaha menenangkannya. Kita menimangnya, memberinya susu agar bayi itu berhenti menangis.

Datangi kemarahan kita dan katakan: "Aku sedang marah. Oke. Aku di sini. Tenangkan dirimu. Tarik napas. Keluarkan. Aku tahu kamu di sini. Tapi kamu tidak akan lama. Kamu akan segera reda."

Kadang kita juga kerap mengaitkan kemarahan kita dengan kesalahan orang lain dan meluapkannya pada mereka. Meluapkan kemarahan juga tidak ada gunanya. Lebih baik berusaha memahami alasan di balik kemarahan orang tersebut. Mungkin problemnya bukan pada kita, tapi pada orang yang bersangkutan.

Misalnya kita saat sedang jalan di sebuah tempat dan seseorang menubruk kita sampai kita jatuh. Sebelum marah-marah sama orang tersebut, kita bisa berpikir mungkin orang tersebut sedang buru-buru menuju sebuah wawancara kerja dan dia sangat butuh pekerjaan itu dan jika dia terlambat datang ke sesi wawancara, dia akan didiskualifikasi. Dan jika dia gagal, maka dia tidak bisa membantu orang tua atau memberi makan anak dan istrinya.

Untuk sampai ke tahap itu, kita harus memiliki compassion atau belas kasih. Praktik belas kasih itulah yang harus kita biasakan agar kita tidak gampang emosi dan marah.

Buku ini sangat insightful. Semoga saya bisa mengelola emosi saya dengan lebih baik setelah membaca buku ini. Marah itu manusiawi dan emosi yang pasti ada dan dirasakan kita semua. Tapi yang penting bagaimana kita bisa mengelolanya dan memadamkannya agar tidak membakar habis diri kita dan orang sekitar kita. Semoga kebijaksaaan hadir dalam diri kita.

Comments

Popular Posts