Harriet Against Injustice and Slavery
Judul Buku: Harriet Tubman; Freedom Seeker, Freedom Leader
Penulis: Rosemary Sadlier
Bahasa: Inggris
I think slavery is the next thing to hell. If a person would send another person into bondage he would it appears to me, be bad enough to send him to hell if he could.
… there are two things I had a right to — liberty or death; If I could not have one, I would have the other;
Seorang perempuan dan budak buta huruf berusaha kabur dari majikannya demi memperoleh kebebasan. Upaya pelarian yang tidak mudah. Jarak ribuan kilometer melewati sungai dan hutan belantara ditempuh dengan kaki. Begitu berat jalan yang harus ditempuh demi sebuah kebebasan dan kemerdekaan.
Itulah kisah Harriet Tubman, yang kini namanya harum tercetak sejarah setelah berhasil membebaskan ratusan orang dari perbudakan.
Saya tertarik mencari tahu lebih banyak tentang Harriet Tubman setelah nonton film Harriet yang dibintangi Cinthya Erivo. Saya pun memilih buku ini di Google Play Book. Bukunya tipis, hanya 140 halaman dan mudah dipahami.
Apa yang disampaikan dalam buku ini juga enggak jauh beda dengan kisah Harriet dalam film tersebut. Tetapi buku ini agak lebih fokus ke peran Harriet sebagai konduktor dalam operasi bawah tanah Underground Railroad, yang merupakan gerakan yang bertujuan membebaskan orang-orang keturunan Afrika-Amerika dari perbudakan. Setelah berhasil kabur dari perkebunan Brodess, Harriet bertekad untuk membebaskan keluarganya dan kerabatnya yang masih menjadi budak orang-orang kulit putih. Sampai akhir hidupnya, dia diperkirakan telah membebaskan sekitar 300 orang dalam 19 kali upaya pembebasan.
Harriet Tubman diperkirakan lahir sekitar tahun 1820-an di Easter Shore, Maryland. Tidak ada tanggal dan bulan pasti tentang kelahirannya seperti kebanyakan budak lainnya di mana mereka tidak memiliki catatan soal tanggal lahir mereka. Harriet dulunya bernama Araminta atau Minty, tapi namanya diganti setelah berhasil kabur dari perbudakan, diambil dari nama ibunya. Orang tuanya, Benjamin Ross, juga seorang budak yang dimiliki Anthony Thompson), sedangkan ibunya, Harriet “Rit” Green adalah budak Athon Pattison.
When an enslaved African was sold, and once that memory was gone, it was as if a library had been lost. The stories about your birth, issues on your plantation, would be lost unless there had been an opportunity for this information to be passed down through African oral tradition or recorded by slave owners.
Something as simple as a birthday was not given any recognition, so slaves knew little of their African heritage, little of their family heritage, and little of their personal heritage.
Dalam buku ini juga dijelaskan berbagai perlakuan tidak adil dan jahat yang dialami para budak. Mereka biasanya tinggal di sekitar perkebunan dengan fasilitas tempat tinggal yang jauh dari kata layak yang disiapkan pemilik mereka. Makanan yang diberikan juga tidak layak, hanya bubur dan ikan yang dimasak dengan sisa-sisa kuah di kuali. Jika mereka sakit, mereka tidak boleh dirawat seorang dokter. Karena itu biasanya mereka memanfaatkan tanaman herbal yang biasa dipakai nenek moyang mereka di Afrika.
Harriet juga kerap disiksa majikannya jika salah mengerjakan tugasnya. Bahkan jika masih tersisa debu di ruangan yang tidak maksimal dia bersihkan, dia dicambuk majikannya. Bekas luka akibat disiksa majikannya ini membekas sampai dia tua dan meninggal.
Jahatnya lagi para pemilik budak ini, ibu hamil pun tak luput dari hukuman. Jika budak perempuan mereka yang sedang hamil melakukan kesalahan, mereka akan menggali sebuah lubang agar perut si ibu hamil bisa buat saat dia disuruh tengkurap, lalu si ibu hamil ini akan dicambuk punggungnya. So evil!
Human dignity and free choice were unimportant, especially when wealth could be amassed by dehumanizing and exploiting others.
Harriet tidak bisa baca tulis. Jadi ketika kabur dari perkebunan menuju Philadelphia, dia menjadikan Polaris (North Star) dan lumut yang tumbuh pada bagian utara pohon sebagai petunjuk arah. Untuk mencegah para pengintai yang memburunya, dia lebih memilih menyusuri sungai dan rawa-rawa daripada melewati jalan yang kerap dilalui orang.
Kenapa memilih Philadelphia? Karena Philadelphia sekitar tahun 1850-an sedang menjadi kota yang booming dan pusat pemikir sosial progresif dan aksi sosial. Saat itu, Philadelphia menjadi ibu kota Amerika Serikat dan memiliki populasi orang kulit hitam yang merdeka terbesar di negara tersebut.
Karena kiprahnya memerdekan ratusan orang dari perbudakan, Harriet dijuluki sebagai "Musa", namun dia juga menjadi orang paling diburu di Amerika ketika itu. Saya salut dengan perjuangannya, kegigihan dan dedikasinya terhadap kaumnya yang tertindas. Harriet mengajarkan kita untuk tidak diam ketika melihat ketidakadilan.
[We are] in a foreign country among strangers. We would rather stay in our native land, if we could be as free there as we are here.
Such a brave woman. What a legend!
Jangan lupa baca buku, folks! Xoxo!
Comments
Post a Comment