Resensi Buku "Sorgum Merah"

 



Penulis: Mo Yan

Penerjemah: Fahmy Yamani

Penerbit: Serambi


"Sejarah manusia yang gemilang dipenuhi dengan legenda dan kenangan anjing: anjing hina, anjing terhormat, anjing menyeramkan, dan anjing menyedihkan."

"Langit tidak pernah menutup semua jalan keluar."


Salah satu ultimate wishlist saya sebagai self-claimed avid reader adalah membaca buku-buku karya para peraih Nobel Sastra. Dan karya Mo Yan ini salah satunya. Berkat Sorgum Merah, Mo Yan mendapat Nobel Sastra pada 2012.

Buku ini aku beli sudah lama banget, sekitar 2014-2015. Sudah lama mengendap di lemari dan baru aku baca di 2025. Late is better dan never kan. And surprisingly, this book turned out to be one of my best reads in 2025.

Aku suka banget sama buku ini, yang ketika membacanya mengingatkan aku pada vibes Ronggeng Dukuh Paruk, khususnya ketika penulis menggambarkan suasana atau latar tempat novel ini. Syahdu, indah, sunyi, tapi menyimpan misteri dan sejarah kelam. Sorgum Merah berlatar belakang penjajahan Jepang di China sekitar tahun 1930-an serta perang sipil yang menyertainya. Cerita berpusat pada kehidupan Yu Zhan'ao sebagai komandan kelompok gerilyawan melawan penjajah.

Yu Zhan'ao dulunya seorang warga biasa yang bekerja serabutan dan luntang lantung. Dia mempunyai posisi yang istimewa setelah menikahi Dai Fenliang yang mendapat warisan penyulingan arak yang terbuat dari sorgum dari mantan suaminya, Shan Bianlang. Shan Bianlang ini merupakan anak bos penyulingan sorgum di Kabupaten Gaomi Timur Laut bernama Shan Tingxiu. Bianlang mengidap penyakit lepra. Fenglian dijodohkan orang tuanya dengan Shan Bianlang karena latar belakangnya sebagai anak juragan meski pria tersebut penyakitan.

"Aku selalu percaya bahwa pernikahan itu merupakan takdir langit dan orang-orang ditakdirkan untuk menyatu oleh tangan yang tak terlihat."

Yu Zhan'ao memimpin kelompok perlawanan setelah desanya diobrak abrik tentara Jepang dan pasukan pengkhianat. Pola kolonialis selalu sama di mana pun, melibatkan pejabat lokal demi memperluas pengaruhnya dengan berbagai iming-iming jabatan dan keuntungan. Yu Zhan'ao pun sangat membenci saudara sebangsanya yang memilih berpihak pada penjajah Jepang dan ikut memerangi mereka yang anti-penjajahan. Mo Yan menyindir para penkhianat ini sebagai manusia yang lebih rendah dari binatang, yang tidak punya kekuatan moral sehingga mudah terpengaruh iming-iming dari musuh.

"Seseorang yang mengkhianati kepercayaan lebih rendah daripada seekor binatang."

"Kekuatan moralah yang mampu menahan monster tetap terkungkung dalam tubuh kita yang lemah."

Buku ini diceritakan lintas generasi dengan POV orang pertama. Pencerita atau tokoh "aku" dalam buku ini adalah cucu dari Komandan Yu Zhan'ao yang tidak disebutkan namanya. Tokoh aku ini adalah anak dari Yu Douguan, satu-satunya anak Fenglian dan Komandan Yu Zhan'ao. Yu Douguan menikah dengan seorang perempuan bernama Cantik, yang juga menjadi saksi kekejaman tentara Jepang.

Ada banyak adegan gore dan mengerikan bertebaran dalam buku ini, menggambarkan kekajaman penjajah saat menyerang desa. Salah satunya tergambar dalam kalimat berikut: Sun Lima menguliti paman Arhat hidup-hidup, setelah sebelumnya memotong telinga dan kemaluannya atas perintah komandan tentara jepang

Jangan takut mati. Mereka yang takut mati pasti akan mati, mereka yang tidak takut mati akan terus hidup!

Kendati ada adegan-adegan yang bikin agak tidak nyaman, Mo Yan menurutku adalah seorang pencerita yang andal dan puitik. Salah satu yang saya suka adalah bagaimana dia mendeskripsikan adegan hubungan seksual dengan metafora yang sungguh indah, menyebutnya "tarian burung phoenix":

Kakek baru berusia dua puluh empat tahun ketika membunuh Shan Tingxiu dan anaknya. Walaupun pada saat itu, dia dan Nenek sudah melakukan tarian burung phoenix di ladang sorgum dan, walaupun dalam kehidupan dihiasi berbagai penderitaan dan kebahagiaan, Nenek mengandung ayahku yang kehidupannya merupakan paduan antara keberhasilan dan dosa (dalam analisis terakhir, dia mendapatkan posisi terhormat di antara warga Kabupaten Gaomi Timur Laut yang segenerasi dengannya), Nenek tetap secara sah menikah dengan keluarga Shan.

Aku juga sangat suka bagaimana Yu Douguan menggambarkan sosok ayahnya, Komandan Yu Zhan'ao:

Ayahku diciptakan dengan intisari langit dan bumi, kristalisasi penderitaan dan kegembiraan liar.

Walaupun buku ini berlatar belakang kolonialisme yang terjadi di masa lalu, tapi menurutku tetap masih relevan dengan kondisi sekarang di mana kita saksikan masih banyak ketidakadilan, pendudukan, pembunuhan, pengusiran paksa, eksploitasi di berbagai belahan dunia, tidak hanya genosida warga Palestina di Gaza yang dilakukan Israel dan sekutunya AS, tapi juga apa yang terjadi di Sudan, Kongo, dan bahkan Indonesia.

".. pemerintah menghasilkan bandit, kemiskinan menghasilkan bandit, perzinaan dan seks menghasilkan bandit, bandit menghasilkan bandit..."

Bahwa membaca selalu menjadi alat bagi kita untuk merawat ingatan, melawan lupa, dan juga alat perlawanan. Reading is resistance. Selain tentunya membaca dapat melembutkan hati dan pembuka wawasan. So rawat terus ingatan kita dengan membaca agar kita tidak mudah termakan propaganda.

Dan sebagai penutup, aku mau mengutip quote-qoute dari buku ini:

Aku mencintai kebahagiaan, aku mencintai kekuatan, aku mencintai keindahan; ini adalah tubuhku dan aku menggunakannya selayaknya.

Aku tidak mau mati, aku ingin hidup. Aku ingin melihat dunia lebih banyak lagi ...

.... Kakek melupakan pelajaran sejarah sederhana bahwa matahari cerah akan gelap kembali, bulan purnama menyusut, cangkir yang terlalu penuh akan tumpah, dan kemelaratan mengikuti kemakmuran.

Aku kadang-kadang berpikir bahwa terdapat hubungan antara penurunan kemanusiaan dan peningkatan dalam kemakmuran dan kenyamanan. Kemakmuran dan kenyamanan, itulah yang diinginkan manusia, tapi beban untuk mewujudkannya seringkali menyeramkan.

Comments

Popular Posts