Review Film "Fantastic Beasts The Crimes of Grindelwald" - Menyimak Pesan Politik di Dalamnya


Source: Pinterest


Setelah dua tahun menanti, akhirnya alhamdulillah saya bisa nonton sekuel kedua Fantastic Beasts "The Crimes of Grindelwald". Dulu sulit banget move on dari Fantastic Beasts and Where to Find Them saat pertama kali tayang pada akhir 2016. Kali ini juga saya sulit move on dan bahkan pengin nonton lagi untuk kedua kalinya.

Rasanya film dengan durasi dua jam lebih ini atau 133 menit masih kurang. Kata yang terlontar dariku saat film ini berakhir, "Yaah habis," dengan nada kecewa. Rasanya kurang panjang dan pengin terus menerus ceritanya berlanjut. Kini setelah sekuel kedua, harus menunggu lagi dua tahun untuk sekuel selanjutnya. Semoga panjang umur dan semoga dipercepat enggak sampai dua tahun baru tayang lagi.

Beberapa komentar teman yang aku baca soal film ini kebanyakan kecewa karena ending film. Menurut mereka pertarungan di akhir kurang sengit, sebagaimana biasanya serial Harry Potter di setiap ending filmnya.

Menurut saya malah ending film ini lumayan seru. Semua tokoh bekerja sama melawan Grindelwald yang ingin menghancurkan Kota Paris. Walaupun memang tidak sesengit pertarungan Voldemort dan Harry Potter. Mungkin pertarungan sengit disimpan JK Rowling sebagai penulis cerita nanti di akhir sekuel. Saya meyakini akan ada kejutan di setiap sekuelnya.

Di seri pertama, kita diajak mengeksplorasi peran Newt Scamander (Eddy Redmayne) sebagai penakluk hewan-hewan aneh dan diperkenalkan pada dunia sihir jauh sebelum masa Harry Potter. Di sekuel kedua ini, eksplorasi tokohnya ialah bertumpu pada latar belakang Credence (Ezra Miller). Peran tokoh utama lainnya seperti Queeni (Alisa Sudol) dan Propentina Goldstein (Katherine Waterston) juga menurut saya tak terlalu menonjol. Bahkan tokoh Nagini yang sebelumnya banyak disebut-sebut perannya tak begitu signifikan.

Bagi saya, hal paling menarik dari film ini adalah pesan yang ingin disampaikan JK Rowling tersampaikan dengan sangat baik. Menurut saya ada pesan bermuatan politik di balik film ini. Kita tahu, JK Rowling beberapa waktu lalu menjadi pengkritik keras kebijakan Presiden Amerika Serikat, Donald Trump terkait imigran. Joanne memprotes kebijakan Trump lewat akun Twitternya.

Dalam Fantastic Beasts The Crimes of Grindelwald, Joanne menampilkan latar belakang tempat dan tokoh yang beragam. Menurut saya dia tak ingin film ini terlalu America-Centris atau Western-Centris. Jika pada sekuel sebelumnya latar tempat hanya di New York, di sekuel kedua ini ada London dan Paris. Tokohnya pun berasal dari Asia dan afro Muslim. Asia dipresentasikan dengan tokoh Nagini yang disebut berasal dari pedalaman Indonesia. Dan ada juga binatang aneh semacam naga yang mirip Barongsai dari China. Sementara itu tokoh muslim dipresentasikan dengan tokoh Yusuf Kama yang juga seorang penyihir. Yusuf Kama memiliki ayah bernama Mustafa Kama. Walaupun tak disebutkan bahwa Yusuf ini dari layar belakang muslim, tapi dari namanya kita bisa menebak nama itu identik dengan nama muslim.

Bagi saya inilah pesan pentingnya. Joanne menyatukan semua tokoh dengan beragam latar belakang ini untuk melawan Grindelwald yang merupakan representasi dunia gelap (penyihir jahat) yang ingin membuat kehancuran.

Bagi pengikut serial Harry Potter, tentu film ini membayar kerinduan akan Hogwarts. Karena Hogwarts juga menjadi latar tempat di film ini. Dan jangan lupakan Albus Dumbledore (Jude Law), tokoh idola saya dalam dunia sihir ini juga muncul. Albus muda sangat tampan. Dan dia tetap jadi guru favorit di Hogwarts. Awalnya banyak yang menebak Albus adalah seorang gay karena hubungannya dengan Grindelwald. Tapi menurutku sih mereka hanya teman yang sangat dekat seperti saudara sehingga mereka bersumpah untuk tidak saling bertarung satu sama lain sepanjang hayat.


Maaf ya kalau review ini banyak spoiler. Hehehehe

Comments

Popular Posts