Pementasan Teater "Bunga Penutup Abad"
Alhamdulillah pada Sabtu, 17 November 2018 malam atau malam Minggu, saya akhirnya berkesempatan menonton pementasan teater Bunga Penutup Abad. Sejak pengumuman pementasan ini diunggah di akun Instagram Titimangsa Foundation, saya langsung tertarik. Tapi sayang waktu itu tiket yang tersisa hanya kelas 1 dan VIP juga VVIP. Kantongku tak mampu menjangkaunya. Aku berpikir ya udahlah kayaknya keinginanku sejak lama itu belum bisa terwujud.
Sampai pada akhirnya pada akhir Oktober, Titimangsa Foundation kembali mengunggah informasi di Instagram bahwa masih ada tiket Kelas II dan III. Sepertinya itu tiket yang tidak juga dibayar oleh pemesan sampai melewati batas waktu yang ditentukan. Saya cepat-cepat buka situs webnya. Kuota yang tersisa hanya beberapa kursi, telat sedikit langsung habis. Saya pun waktu itu mau pesan Kelas III tapi langsung habis. Akhirnya memilih Kelas II yang harganya lebih mahal Rp 100 ribu dari Kelas III atau seharga Rp 300 ribu.
Saya berangkat ke Teater Jakarta di Taman Ismail Marzuki sejak sore. Karena naik busway, rute yang saya tempuh agak panjang. Penonton diminta datang satu jam sebelumnya. Pukul 19.00, e-ticket saya tukarkan di konter dan langsung masuk ke lobby Teater Jakarta. Pada pukul 19.55, penonton telah masuk ke dalam teater, menunggu pertunjukan dimulai.
Sebelum pertunjukan dimulai, dibacakan peraturan bagi penonton. Salah satunya dilarang merekam. Adegan pembuka dimulai dengan Minke yang membacakan surat dari Panji Darman mengabarkan keadaan Annelies. Surat itu dibacakan Minke kepada Ontosoroh.
Panji Darman diutus Nyai Ontosoroh mengikuti perjalanan Annelies ke Belanda. Annelies dikirim ke Belanda setelah Ontosoroh kalah di pengadilan putih di Surabaya. Suasana kapal dimana Panji Darman berada saat menulis surat itu tergambar dari suara ombak yang menghempas dinding kapal dan layar yang menayangkan birunya air laut di tengah samudera.
Adegan demi adegan menyihir para penonton. Kemapuan akting para pemain sangat luar biasa. Tokoh yang selalu menjadi idola saya adalah Ontosoroh. Awalnya saya tidak menaruh ekspektasi tinggi dengan Marsha Timothy. Bagi saya yang paling tepat sebagai Ontosoroh adalah Happy Salma. Tapi Marsha membayar lunas keraguan saya dengan akting yang begitu memukau. Dia begitu memukau memerankan gundik yang telah ditempa dengan berbagai persoalan hidup itu. Gerak tubuh, intonasi dialog, dan gaya bicara Marsha Timothy sangat menggambarkan Ontosoroh.
Kalau Reza Rahadian sudah tidak diragukan kemampuan aktingnya baik di layar lebar maupun di atas pentas. He nailed it.
Ada adegan yang membuat saya menangis. Pada sebuah malam, Annelies menemani mamanya duduk di bangku di luar rumah. Annelies pun bertanya tentang masa lalu mamanya. Ontosoroh menceritakan bagaimana dia menjadi gundik tuan Herman Mellema. Di situlah saya menangis. Betapa rendahnya nilai perempuan di mata laki-laki. Di hadapan kuasa laki-laki, perempuan menjadi sangat tidak berdaya.
Atas segala perlakuan yang telah diterima dari orang tuanya, Ontosoroh menjadi pendendam dan kemudian menjadi perempuan yang teguh pendirian, keras dan berani menentang ketidakadilan.
Adegan yang membuat menangis lainnya adalah di detik-detik terakhir, saat Panji Darman mengabarkan Annelies meninggal dunia di Belanda. Bagi Ontosoroh, Annelies adalah korban kejahatan kolonial. Dia merasa penjajah Belanda telah merebut segala hal berharga dari dirinya. Di situlah dia kemudian menangis sejadi-jadinya, menangis kehilangan anak perempuan yang begitu disayanginya.
Porsi adegan Ontosoroh dan Minke memang lebih banyak dibanding pemain lainnya. May Marais (Sabia Arifin) muncul dalam beberapa adegan saja selama 2,5 jam pertunjukan. May adalah anak Jean Marais dan menjadi teman bermain Annelies. Saya juga suka dengan percakapan-percakapan Jean Marais (Lukman Sardi) dengan Minke. Jean mengingatkan Minke agar tetap ingat pada akarnya dan jangan terlalu memuji sistem yang diterapkan pemerintah kolonial.
Setting panggung mengingatkan kita dengan rumah gedong zaman dulu. Ada pemutar piringan hitam di sudut rumah Ontosoroh. Kursi-kursi rotan dan lampu gantung. Tata lampu juga mendukung setting panggung seperti zaman dulu. Musik orkestra pengiring pertunjukan juga super keren.
Di akhir pertunjukan, saat pembawa acara mengumumkan nama-nama pemain dan crew, tepuk tangan riuh menggema tiada henti. Saya salah satu penonton yang tepuk tangannya paling keras dan panjang. Ha-ha-ha
Saya rasa, seandainya Pramoedya Ananta Toer masih hidup, beliau pasti bangga dengan pertunjukan ini. Semoga terang kuburmu, Mbah Pram. Dan untuk para pemain, sutradara, produser, dan semua crew, terima kasih telah menyuguhkan pertunjukan yang begitu memukau!
Comments
Post a Comment