Pameran "Surat Pendiri Bangsa"


Beruntung banget rasanya waktu itu disuruh liputan ke Museum Nasional, Minggu, 18 November 2018. Awalnya memang berencana ke sini tapi belum sempat. Alhamdulillah waktu piket Minggu disuruh liput pameran "Surat Pendiri Bangsa". Saya tuh demen banget liputan agenda semacam ini. Heuheuheu



Suasana pagi itu sangat sejuk karena mendung. Museum Nasional juga sangat ramai. Senang banget lihat orang yang antusias berkunjung ke museum. Di lokasi pameran pengunjung juga sangat ramai. Kebanyakan memang anak-anak sekolah, mungkin karena hari libur. Tapi ada juga rombongan keluarga, orang tua mengajak anak-anak mereka berlibur ke museum dan pameran keren ini.


Tiket masuk. Bayar cuma Rp 5 000



Surat-surat yang dipamerkan adalah surat asli tulisan tangan para pendiri bangsa yaitu Soekarno, Mohammad Hatta, Agus Salim, Tan Malaka, Sutan Sjahrir, Kartini, John Lie, dan Ki Hajar Dewantara atau Soewardi Suryaningrat. Surat-surat bersejarah ini ditempatkan dalam bingkai kaca dan dilengkapi dengan keterangan dalam bentuk poster. Karena ada surat-surat yang sulit dibaca dan juga menggunakan bahasa Belanda, kita tetap bisa memahami isinya karena ada transkripnya.


Salah satu zurat Bung Karno kepada Sam Koperberg

Surat Bung Karno yang dipamerkan ialah surat yang ditulis dari tempat pengasingannya di Ende, Nusa Tenggara Timur dan juga ditulis dari Bandung. Ada tiga surat yang ditulis kepada Samuel Koperberg. Koperberg adalah salah satu tokoh Indische Sociaal-Democratishe Partij (ISDP, sempalan ISDV). Koperberg juga sekretaris merangkap bendahara Java Instituut. Dalam surat yang ditulis pada 28 April 1927 dari Bandung itu, Soekarno mengucapkan terima kasih karena telah dikirimkan buku De held en de schere (Pahlawan dan Kawanan). Buku ini ditulis seorang sosialis Belanda, Henriette Roland Holst. 

Satu surat lainnya kepada Koperberg ditulis Soekarno dari Ende tertanggal 28 November 1936. Dalam paragraf terakhir surat itu, Soekarno mengungkapkan kerinduannya akan Bandung yang disebutnya Taman Eden. Cuaca di Ende menurutnya sangat panas dan beda dengan cuaca di Priangan yang sejuk dan dingin. Dalam surat itu dia juga menyinggung anak angkatnya bersama Inggit, Omi yang sudah beranjak besar.


Surat Bung Karno kepada Ali Sastroamidjojo


Surat-surat Sutan Sjahrir


Agus Salim adalah salah satu diplomat andal yang pernah dimiliki Indonesia. Beliau menguasai banyak bahasa asing mulai Inggris, Turki, Prancis, Belanda, Jerman, Jepang dan Arab. Agus Salim pernah menjabat sebagai Menteri Luar Negeri. Saat Agresi Militer II Belanda, beliau diasingkan ke Sumatera bersama pemimpin lainnya. Utoyo Ramelan, penerima surat yang ditulis Agus Salim ialah kepala perwakilan RI di Singapura. 


Surat Agus Salim kepada Utoyo Ramelan
Surat Bung Hatta yang dipamerkan ditulis untuk Eduard Post dan juga anaknya, Gemala Hatta yang saat itu sedang menempuh pendidikan di Australia. Dari salah satu surat kepada Eduard Post, Hatta meminta agar dikirimkan buku Das Kapital karya Karl Marx jilid II. Surat kepada Eduard ditulis dari Banda Neira, Maluku, tempat dimana Hatta diasingkan oleh kolonial Belanda. Eduard Post adalah pengusaha yang saat itu tinggal di Amsterdam.


Surat Bung Hatta kepada Eduard Post

Ki Hadjar Dewantara atau Soewardi Suryaningrat menulis surat kepada J.H. Abendanon pada tanggal 30 Oktober 1913. Abendanon adalah Menteri Kebudayaan, Agama, dan Kerajinan Hindia Belanda pada masa itu. Abendanon ditugaskan ke Hindia Belanda atau kini Indonesia untuk menyukseskan politik etis.

Surat Ki Hadjar Dewantara kepada Abendanon



Surat lainnya yang ditulis pada 30 Desember 1918, Ki Hadjar Dewantara meminta kepada Abendanon agar mau bekerja sama mendirikan NV Maskapai Penerbitan Indonesia (NV Uitgevers Maatschappij Indonesia) yang berpusat di Hindia namun memiliki hak kerja di Belanda. Ki Hadjar juga mengabarkan telah mendirikan Biro Pers Indonesia di Den Haag untuk mewakili pers Indonesia di Belanda yaitu Nasional Hindia. Ki Hadjar ingin usaha tersebut menjadi lebih besar karena itulah dia membujuk Abendanon agar mau bekerja sama.






Foto Bung Karno dan Agus Salim

Sjahrir menulis surat kepada keponakannya yaitu Tati dan Akkie yang saat itu tinggal di Prancis. Surat ditulis dari Antwerpen, Belgia saat Sjahrir berkunjung ke kota itu. Dalam surat tertanggal 28 Oktober 1958 itu, Sjahrir menanyakan kapan para keponakannya kembali ke Indonesia. Sjahrir meminta mereka kembali ke Indonesia agar bisa melakukan hal berguna untuk rakyat. Waktu itu, telah 10 tahun keponakannya menetap di Eropa.

"Berapa tahun lagi kalian siap melakukan hal yang berguna untuk negara dan rakyat kita?," tulisnya.

Sjahrir berpesan bahwa setelah Indonesia merdeka, seharusnya semua orang Indonesia harus menyediakan diri untuk melakukan bakti bagi bangsa. Berbakti untuk bangsa menurutnya tak harus menjadi pegawai negeri, tapi harus menyediakan diri untuk rakyat. 

Saat masih diasingkan di Banda Neira, Sjahrir juga pernah menulis surat untuk keponakannya, Akkie dan Hedda. Surat itu tertanggal 8 Oktober 1941. Sjahrir mengabarkan kepada keponakannya bahwa dia memiliki koleksi piringan hitam Simfoni 9 Beethoven yang komplit, Bach, Mozart, Wagner, Strawinsky, Ravel, Schmidt. Piringan hitam itu didapatkan Sjahrir dari seorang dokter bernama Van Zanten. 

Sjahrir juga meminta keponakannya untuk mencarikan beberapa buku pelajaran sekolah Lyceum berbahasa Latin dan Yunani. Sjahrir juga minta dicarikan kamus-kamus dan juga kamus Oxford edisi terbaru. 

Surat Sjahrir untuk keponakan (1)

Surat Sjahrir untuk keponakan (2)

Maria Duchateau adalah istri Sjahrir. Sebelum menjadi istrinya, Maria adalah istri dari teman Sjahrir di Belanda yaitu Solomon Tas. Sjahrir memanggil Maria dengan sebutan Mieske. 

Dalam surat yang ditulis dari Digul pada 10 September 1935, Sjahrir mengatakan dia mulai menyesuaikan diri dengan orang-orang yang ada di sekelilingnya di tempat pembuangannya itu. Namun dia mengaku mengambil jarak dengan orang sekitarnya. Sjahrir mengatakan temannya adalah buku-buku.

"Aku menerima semua hubungan yang tidak terlalu mendalam dan omong kosong yang tidak dapat dielakkan di Tanahmerah. Dan temanku satu-satunya adalah buku-buku dan koran-koran. Masih ada banyak ketidakjelasan pada orang-orang di sekitarku. Itu alasan kenapa aku ingin, lebih mendalami sejarah bangsa kita. Apa arti persisnya dari tradisi budaya kita? Apakah itu bisa memberi pengertian tentang jiwa rakyat yang paling dalam? Kadang-kadang aku merasa begitu jauh dari mereka, seperti antara dua dunia."




Dua surat ini ditulis Sjahrir untuk Maria Duchateau


Transkrip salah satu surat Sjahrir kepada Maria Duchateau. Sedih bacanya. 







John Lie atau Lie Tjeng Tjoan adalah pahlawan kelahiran Manado, Sulawesi Utara pada 11 Maret 1911. Usai Perang Dunia II, dia bergabung dengan Angkatan Laut dan bertugas di Cilacap. Dia pernah menembus blokade Belanda di Selat Malaka untuk menyelundupkan peluru dan senjata bagi pejuang Indonesia. Lie juga berperan dalam menumpas gerakan separatis seperti DJ/TII, RMS, PRRI, dan Permesta. 

John Lie disebut selalu menyempatkan diri menulis surat untuk istrinya, Margareth Angkuw. Margareth adalah perempuan pertama yang lulus dari Sekolah Tinggi Theologia Jakarta pada tahun 1955. Salah satu surat yang dipamerkan ialah ditulis pada 20 Januari 1958.

Surat John Lie kepada Sutan Sjahrir


Surat John Lie kepada istrinya, Margareth Angkuw

Surat-surat yang ditulis Kartini kepada sahabat-sahabatnya di Belanda dikumpulkan oleh J.H Abendanon dan diterbitkan dengan judul Habis Gelap Terbitlah Terang (Door Duisternis tot Licht). Buku ini terbit pertama kali pada tahun 1911. Salah satu sahabat Kartini di Belanda yaitu Rosa Manuela Abendanon, istri JH Abendanon.

Kartini memanggil Rosa Abendanon dengan panggilan Mien. Dalam surat yang ditulisnya pada 22 September 1903, Kartini mengabarkan rencana pernikahannya yang dimajukan pada awal November. Dalam suratnya, Kartini juga memuji calon suaminya yang disebutnya sebagai orang yang berhati emas dan juga cerdas. Dia merasa beruntung karena nantinya bisa bekerja sama mewujudkan cita-cita.

"Dia seseorang yang begitu, begitu baik dengan hati emas dan otak yang sangat encer. Saya sangat beruntung bahwa saya bisa kerja sama dengan dia untuk mewujudkan cita-cita saya."


Salah satu surat Kartini kepada Ny. Abendanon


Transkrip salah satu surat Kartini kepada Rosa Abendanon

Surat Sutan Ibrahim Datuk Tan Malaka yang dipamerkan ialah surat yang dikirimkan kepada teman sekelas saat sekolah di Harleem, Belanda yaitu Dick Van Wijngaarden. Surat dikirim dari Bussum, sebuah kota di Provinsi North Holland. Surat itu tertanggal 6 Juni 1919.

Tan Malaka yang juga dikenal dengan sebutan Bapak Republik ini kembali ke Indonesia pada tahun 1919. Dia kemudian menjadi guru kuli kontrak di perkebunan Senembah, Deli Serdang. Hidupnya berpindah-pindah. Dia juga membuka Sekolah Rakyat di Semarang.





Dua surat Tan Malaka kepada Dick Van Wijngaarden

Surat lainnya juga ditujukan kepada Dick dan dikirim dari Tanjung Morawa. Dalam surat tertanggal 5 Januari 1921 itu, Tan Malaka menceritakan dia tak lagi betah di Senembah karena sering berkonflik dengan administrator perkebunan. Dia juga bercerita ingin pindah ke kota lain. Tan Malaka mengatakan ada harapan untuknya jika pindah ke Medan atau Pulau Jawa.





Tan Malaka begitu besar kiprahnya dalam perjuangan kemerdekaan. Tapi namanya tidak tercatat dalam buku-buku sejarah yang kita baca pada zaman sekolah dulu. Dia dicap sebagai komunis. Padahal dia lah yang memperkenalkan konsep republik. Sayangnya beliau gugur di tangan tentara sebangsa. Beliau tewas dieksekusi tentara Indonesia di Selopanggung, Kediri pada 21 Februari 1949. Sedih. Al-Fatihah untuk para pahlawan bangsa. 

Kalau mau nonton, klik di sini. Makasih!


Comments

Popular Posts