Resensi Buku "Two Travel Tales; Menguak Eksotisme India dan Nepal"
Judul :
Two Travel Tales; Menguak Eksotisme India dan Nepal
Penulis : Ade Nastiti
Penerbit : Lingkar Pena Kreativa
Halaman : 323
Tahun :
2011
ISBN :
978-602-8851-97-8
Saya selalu
tertarik membaca buku-buku kisah perjalanan. Apalagi perjalanan ke India, karena
saya sangat memimpikan negara dengan penduduk terbesar kedua di dunia tersebut.
Setelah googling buku apa saja yang
mengisahkan perjalanan seseorang ke Hindustan, ketemulah buku ini di toko buku
online. Kebetulan waktu itu lagi diskon juga. Senangnya.
Ini buku
perjalanan yang tak biasa. Sama seperti membaca bukunya Agustinus Wibowo, TitikNol. Ade Nastiti memulai perjalananya ke India pada bulan Agustus 2010. Dari
awal saya sudah terkesan dengan buku ini. Melalui prolog buku, saya yakin ini
bukan semacam buku panduan perjalanan. Dalam prolog buku ini, Ade menceritakan pertemuannya
dengan swami Ananda Prakash, yang
mengajarkannya tentang arti pencarian dan eksistensi Tuhan dalam kehidupan
manusia. Ia bertemu dengan Ananda Prakash di sebuah kereta kompartemen kelas
dua, pada sebuah perjalanan dari Kolkata ke Delhi. Ananda Prakash adalah ahli
komputer lulusan Amerika yang memilih jalan hidup menjadi swami.
Perjalanan
Ade traveling ke berbagai negara termasuk India dan Nepal berawal dari sebuah
mimpi masa kecil.
“Dari kecil aku bermimpi berpetualang di tempat asing, di tengah
orang-orang asing, dan menyaksikan peradaban yang semua serba asing. Aku masih
ingat mimpiku waktu SD. Mendaki gunung yang tinggi, jauh lebih tinggi dari
Gunung Muser yang ada di kecamatanku, dan menyentuh putihnya salju dengan
jari-jari tanganku.” (Halaman 24)
Ade
mengunjungi Leh, ibu kota Ladakh sebuah distrik di negara bagian Jammu dan
Kashmir. Ia mengunjungi Leh tiga hari setelah banjir bandang memporakporandakan
kota itu. Tak ada penginapan karena banyak yang hancur dan penuh diisi para
relawan yang datang untuk menolong warga setempat. Ia akhirnya bertemu nenek
Dolma setelah tak sadarkan diri dan dirawat karena pingsan dan dievakuasi
Palang Merah India. Di Ladakh ia mengunjungi Khardung La dan Pangong Tso. Tso
adalah danau dalam bahasa Ladakh tempat syutingnya Three Idiots. Ade juga
mengunjungi SECMOL, sebuah sekolah komunitas yang terinspirasi dari film Three
Idiot. SECMOL terletak di sebuah desa
kecil bernama Phey.
“Perjalanan seperti ini selalu membuatku lebih menghargai hidup. Bagiku,
tujuan perjalanan memang tidak semata melihat keindahan atau kemegahan, tapi
menemukan hal-hal berbeda di luar sana dan belajar melihatnya dengan kaca mata
mereka. Indah dan megah relatif sifatnya. Gurun pasir dengan bongkahan
batu-batu besar berpagar pegunungan cokelat seperti ini adalah juga keindahan
dan kemegahan tiada tara.” (Halaman 76)
Ade juga
mengunjungi Kolkata, yang berada di negara bagian West Bengal. Saya sangat
trenyuh
sekaligus
tersenyum membaca bagian saat Ade bertemu dengan seorang wallah, penarik becak tangan (rickshaw
wallah) di Kolkata. Walaupun pekerjaan itu tampak sangat tidak manusiawi
dan berat, tapi Arijit dan Syareefuddin, yang bekerja sebagai wallah tetap
bersyukur dan tidak pernah mengeluh. What a life! Deepest!
“Mengunjungi Kolkata seperti perjalanan melintas waktu, melintasi lorong
rahasia menembus kehidupan beberapa puluh atau ratus tahun silam. Tentu saja di
beberapa bagian, pembangunan terus dilakukan. Gedung-gedung baru juga
bermunculan. Namun tetap saja kota ini didomonasi dengan bangunan tua yang
kurang terawat. Mobil-mobil yang di kota lain sudah masuk show room barang
antik, di Kolkata masih berseliweran di jalan-jalan. Kolkata terlihat seperti
kota yang tersaruk-saruk mengejar ketertinggalan.” (Halaman 92)
Dari Kolkata,
Ade menuju ke Delhi dan kemudian ke Bhopal yang berada di negara Bagian Madya
Pradesh untuk mengunjungi temannya Sudhir Ghopal Kochar. Beberapa destinasi
didatangi Ade di Bhopal diantaranya Bhimbetka, situs manusia purba di sebuah
daerah pegunungan yang diukir di dinding-dinding gua dan Khajuraho (kuil
Kamasutra). Setelah dari Bhopal ia kemudian ke Agra, mengunjungi bangunan
monumental Taj Mahal.
“Dari Bhimbetka aku belajar bahwa rekam jejak hidup seseorang hanya
bermakna jika ditinggalkan dan diwariskan.” (Halaman 155)
Ade Nastiti kembali
ke India untuk mengikuti fellowship selama
10 minggu. Kedatangannya kembali ke India sesuai dengan ramalan Nenek Dolma,
yang merawatnya di sebuah gompa di Ladakh. Di kunjungan kedua ini ia
menyambangi Amritsar, pusat agama sikh di India yang berada di provinsi Punjab,
Haridwar (salah satu kawasan tepi Sungai Gangga), Risikesh (pusat yoga dan
meditasi), Dehradun (kota pendidikan di India), Mussoorie (sebuah kota di
ketinggian), dan Gurgaon (kota satelit/pusat IT).
Saya
tersentuh membaca betapa paradoksnya Delhi. Di tengah upaya pembangunan yang
gencar, masih banyak warga miskin yang tinggal di gorong-gorong, di bekas
reruntuhan pabrik, di bawah jembatan, di pinggir rel kereta. Saya sangat
tersentuh saat penulis bertemu dengan keluarga Akash, murid SD yang tinggal di
atap apartemen bersama 10 anggota keluarganya di sebuah kamar kecil. Tapi Akash
tetap optimis, semangat, dan tidak pernah merasa lebih rendah dari orang lain.
Cerita Akash,
Arijit dan Syareefuddin adalah pelajaran berharga yang saya petik dari
perjalanan Ade ke India. Saya sangat tersentuh dan merasa bersyukur dengan apa
yang saya miliki. Untuk bagian Nepal, tidak banyak dikisahkan Ade. Cerita
perjalanan ke India lebih mendominasi. Sayangnya terlalu banyak typo di buku ini dan sedikit mengganggu.
Ada juga pemborosan dan inkonsistensi penulisan beberapa kata.
Kata-kata typo:
Kekejar seharusnya kukejar (halaman 56), di ajak seharusnya diajak (halaman 176), baru menjadi barus (halaman 179), termasyur seharusnya termasyhur (halaman
202), kuno ditulis kono, fort ditulis
ford (halaman 207), dan masih banyak
lagi.
Pemborosan dan inkonsistensi:
- 'Setiap harinya' pada paragraf terakhir baris pertama
halaman 105 seharusnya tidak ditulis dobel. "Setiap
harinya, sekitar satu juta kendaraan yang berbeda dan sekitar dua juta komuter
melintas setiap harinya." Kata 'setiap harinya' di akhir kalimat bisa
ditiadakan toh tidak menghilangkan makna kalimatnya.
- Yugo
ditulis Yoga dan ada juga ditulis Yogo.
- Penulisan Annapurna tidak konsisten. Ada yang
ditulis dengan Annapura dan Annarapura. Entahlah mana yang benar. Tapi setahuku
Annapurna. (Halaman 312-313)
- Di halaman
127 ada hal yang membingungkan. Begum atau Begun yang benar? Karena dari awal
perempuan yang berkuasa nama akhirnya Begum, tapi ada juga yang ditulis Shah
Jahan Begun, dan di kalimat selanjutnya ditulis Shah Jahan Begum.
- Mungkin
maksudnya sayuran organik, bukan nonorganik karena di paragraf berikutnya
dijelaskan kotoran sapi dibuat menjadi pupuk kompos dan dimanfaatkan untuk
bertanam. (Halaman 80)
Anyway, saya beri 3,5 bintang untuk buku ini. Buku ini membuat saya
semakin penasaran dengan India dan ingin segera menginjakkan kaki disana.
Comments
Post a Comment