Resensi Buku "Hujan Bulan Juni; Sepilihan Puisi"






Judul                          : Hujan Bulan Juni; Sepilihan Puisi
Penulis                        : Sapardi Djoko Damono
Penerbit                      : Gramedia Pustaka Utama
Edisi                            : Hard Cover
Desain Sampul           : Ridho Mukhlisin
ISBN                           : 978-979-22-9706-5


Saya menyukai puisi, dan selalu dibuat jatuh cinta dengan kata-kata dalam puisi. Walaupun saya sangat sulit untuk memahami makna-makna intrinsik yang dimaksudkan penulisnya. Tapi bukankah pembaca bebas menginterpretasikan sendiri? Sejak lama saya mengenal nama Sapardi Djoko Damono dan pernah membaca beberapa puisinya dan yang paling mengena adalah Aku Ingin.  

Belakangan ini saya semakin tertarik untuk mengoleksi buku-buku sastra Indonesia, salah satunya buku Hujan Bulan Juni. Buku ini berisi 102 puisi Sapardi Djoko Damono atau biasa disingkat SDD yang ditulis dari tahun 1959-1994.

Untuk memahamai puisi-puisi ini, saya harus membaca ulang beberapa kali. Sehingga maknanya sampai. Itulah menurut saya keindahan puisi, bahasa sederhana tapi maknanya mendalam, berkelok-kelok, dan penuh misteri. Itulah seni dalam memahami puisi.

Buku ini dibuka dengan puisi Tangan Waktu, ditulis SDD pada tahun 1959. Berlanjut dengan Sajak Desember yang ditulis tahun 1961 yang menurut analisis saya, puisi ini berkisah tentang kontemplasi seorang hamba Tuhan yang merasa tidak punya apa-apa, sementara Tuhan telah begitu baik memberikan segala dan hamba Tuhan ini merasa berhutang banyak kepada Penciptanya. Deepest!

Tentang Seorang Penjaga Kubur yang Mati adalah puisi yang mengisahkan tentang seorang penjaga kubur. Dalam puisi ini, SDD menonjolkan sisi kemanusiaan bahwa bumi, siapa pun yang meninggal, dari kelas apa pun dia, akan tetap diterimanya. “dan bumi tak pernah membeda-bedakan/tak pernah mencinta atau membenci;/ bumi adalah pelukan yang dingin/ tak pernah menolak atau menanti/tak akan pernah membuat janji dengan langit/. Seharusnya manusia belajar dari bumi, bersikap adil dan menanggalkan sikap diskriminatif.

Buku ini juga berisi puisi-puisi yang banyak bercerita mengenai kematian seperti dalam puisi Saat Sebelum Berangkat, Berjalan di Belakang Jenazah, Sehabis Mengantar Jenazah, Di Pemakaman, Dalam Sakit, Bunga 3, Ajaran Hidup dan lainnya.

Dalam Ajaran Hidup, kematian dianalogikan sebagai sebuah lambang kekalahan diri sendiri, karena manusia tak memiliki kuasa atas dirinya sendiri. Puisi Dalam Sakit, kematian dianalogikan seperti lonceng berbunyi. Setiap manusia sebenarnya sedang menunggu lonceng kematian masing-masing kapankah akan berbunyi.

di ruangan ini kita gaib dalam gema. Di luar malam hari
mengendal, kekal dalam rahasia
kita pun setia memulai percakapan kembali
seakan abadi, menanti-nanti lonceng berbunyi


Puisi yang bertema tentang hubungan laki-laki dan perempuan diantaranya; Pertemuan, Sonet: Y. Saya suka dengan puisi Pertemuan karena sedikit bisa saya tangkap maknanya. Menurut saya, puisi Pertemuan ini bermakna hubungan laki-laki dan perempuan, berasal dari latar belakang, sifat yang berbeda jika memang jodoh pasti bisa disatukan. Perempuan yang bersifat lembut, gampang terbawa perasan. Sementara laki-laki digambarkan merupakan sosok yang keras. Perempuan dianalogikan seperti pelangi dan laki-laki dianalogikan seperti matahari.

perempuan mengirim air matanya
ke tanah-tanah cahaya, ke kutub-kutub bulan
ke landasan cakrawala; kepalanya di atas bantal
lembut bagai bianglala

lelaki tak pernah menoleh
dan di setiap jejaknya; melebat hutan-hutan,
hibuk pelabuhan-pelabuhan; di pelupuknya sepasang matahari
keras dan fana

dan serbuk-serbuk hujan
tiba dari arah mana saja (cadar bagi rahim yang terbuka, udara yang jenuh)
ketika mereka berjumpa. Di ranjang ini.

Beberapa puisi yang berlatar tempat sebuah kota atau daerah, seperti puisi berlatar kota-kota besar di Amerika: Kartu Pos Bergambar: Taman Umum, New York, 1971; Dalam Kereta Bawah Tanah, Chicago; dan Kartu Pos Bergambar: Jembatan Golden Gate, San Fransisco. Ada juga berlatar Bali; Di Banjar Tunjuk, Tabanan; Sungai, Tabanan; dan Kepada I Gusti Ngurah Bagus.

Menurut saya, ada juga puisi yang berkaitan dengan hubungan Tuhan dan manusia seperti dalam Tiga Lembar Kartu Pos dan Tuan. Puisi-puisi bertema hujan: Kuhentikan Hujan; Sihir Hujan, Hujan Bulan Juni; Hujan, Jalak, dan Daun Jambu. Puisi terpanjang; Iring-iringan di Bawah Matahari.  

Membaca puisi Cermin,1 membuat saya berkontemplasi lebih lama. Akankah selama ini apa yang saya lihat di depan cermin bukan diri saya? Apakah selama ini saya pernah berusaha menjadi yang bukan diri saya sendiri? Akankah selama ini cermin yang setia di dalan kamar saya pernah mengeluhkan saya tak seperti diri saya sesungguhnya? Deepest!

cermin tak pernah berteriak; ia pun tak pernah
meraung, tersedan, atau terisak,
meski apa pun jadi terbalik di dalamnya;
barangkali ia hanya bisa bertanya:
mengapa kau seperti kehabisan suara?
Makna yang sama dengan puisi di atas juga bisa saya tangkap dalam puisi Metamorfosis. Mempertanyakan tentang diri kita, siapa kita sebenarnya, apakah sudah menjadi diri sendiri atau belum.

“ada yang sedang menanggalkan pakaianmu satu demi satu,
mendudukkanmu di depan cermin, dan membuatmu bertanya,
“tubuh siapakah gerangan yang kukenakan ini?”

Puisi Yang Fana Adalah Waktu yang ditulis SDD tahun 1978 juga menjadi salah satu favorit saya.

Yang fana adalah waktu. Kita abadi.
memungut detik demi detik, merangkainya seperti bunga
sampai pada suatu hari
kita lupa untuk apa.
  “Tapi,
yang fana adalah waktu, bukan?”
tanyamu. Kita abadi.

Hujan Bulan Juni dan Aku Ingin, dua puisi yang menjadi masterpiece SDD (menurut saya) sama-sama diciptakan pada tahun 1989. Memang tidak semua puisi bisa saya tangkap maknanya. Tapi saya tetap mencintai kata-kata, mencintai puisi. Saya sangat menyukai cover buku ini, air hujan yang mengendap di jendala kaca dengan sehelai daun kering menempel. Romantis sekali. Lima bintang untuk buku ini.

Setelah membuka sampul, kita akan menemukan gambar ini. Sukaaaaaa banget dengan ini
 
Ini juga di halaman paling belakang. Fallin in love!
 
Pembatas buku kece
 
Di balik pembatas buku daun ini ada puisi Narcissus.


Saya persembahkan puisi saya untuk Hujan Bulan Juni:

Puisi 1
Ada hujan, sehelai daun gugur
Tumpah ke bumi
Basah, saling mencumbu pasrah
Tebarkan wangi basah tanah
Semerbak seduhan kopi yang menguap
Daun dan hujan
Antara cinta dan penyerahan diri
Adakah daun yang setegar ini?

Puisi 2
Daun yang tegar
Cokelat serupa senja
Tegak menggantung
Di dahan basah
yang telah lama meranggas
Dua titik air
Mata pengharapannya


Comments

  1. Kak, kalau beli di online ada nggak ya?

    ReplyDelete
    Replies
    1. Ada mungkin dear. Coba aja cari di beberapa toko buku online :)

      Delete
  2. Kak, kalau beli di online ada nggak ya?

    ReplyDelete
  3. Replies
    1. Makasi udah mampir di blogku.. salam kenal :)

      Delete
  4. Kak, itu bisa beli dimana selain Gramed?

    ReplyDelete
    Replies
    1. Mungkin bisa cari di toko-toko online. :)

      Delete
  5. selalu menyenangkan saat menjadikan yang tadinya sederhana menjadi sangat istimewa,.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hi.. makasi udah mampir ke blogku. salam kenal :)

      Delete

Post a Comment

Popular Posts