Resensi Buku " Sepi Pun Menari di Tepi Hari"
Judul : Sepi Pun Menari di
Tepi Hari (Kumpulan Cerpen Pilihan Kompas 2004)
Penulis : Radhar Panca Dahana, Kuntowijoyo,
Sapardi Djoko Damono dkk
Editor : Kenedi Nurhan
Ilustrasi
Sampul : Gendut Riyanto (alm)
Desain
Sampul : Rully Susanto
Penerbit : Kompas
Tahun : 2004
Halaman : 180
ISBN : 979-709-137-6
“Sunyi itu duka. Sunyi itu kudus. Sunyi
itu lupa. Sunyi itu lampus.” (Amir Hamzah)
Kutipan sajak dari Amir Hamzah tersebut mungkin paling tepat untuk menggambarkan secara keseluruhan kisah-kisah dalam buku ini. Sebagian
besar cerita dalam buku ini temanya memang tak lepas dari kesunyian, kesepian.
Buku ini berisi 16 cerpen dari 15 Penulis yang namanya sudah sangat terkenal dalam
ranah sastra Indonesia. Kata pengantar disampaikan oleh Melanie Budianta,
seorang akademisi Fakultas Ilmu Budaya UI yang mencoba menarik benang merah
dari seluruh cerpen yang ada. Dan ulasan dari Melanie Budianta sangat membantu
saya dalam memahami beberapa cerita dalam buku ini.
1. Sepi pun
Menari di Tepi Hari karya Radhar Panca Dahana
Gulian Putra Ariandaru dan Arsih menikah. Mereka dua
orang dengan latar belakang yang berbeda. Arsih suka dangdut dan India. Gulian
suka film David Hoffman dan Vikran Seth. Orang desa dan orang kota. Setelah
menikah Arsih dibawa ke kota karena Gulian bekerja di sana. Arsih pun berubah,
bergaul bak orang kota. Ke kafe, hobi belanja. Selama tiga tahun pernikahan,
Arsih tak kunjung hamil. Gulian sakit, terkena stroke dan pensiun dini. Rumah
tangga mereka terancam kandas. Sampai pada tepi hari, di atas ranjang, ketika
kesepian menggayuti kehidupan mereka, pilihan tragis pun dipilih. Suami isteri
ditemukan tewas diranjang karena dugaan bunuh diri.
Saya suka sekali dengan cerpen yang diceritakan dengan
sudut pandang orang pertama, secara bergiliran Arsih dan Gulian menceritakan
kisah hidupnya, dengan pola penceritaan Arsih-Gulian-Arsih-Gulian, dan
seterusnya.
“Masihkah ada surga? Betulkah aku
menyimpan harapan? Sedang mimpi pun aku tak lagi bisa.”
2. Jaring
Laba-Laba karya Ratna Indraswari Ibrahim
Dina dan Bram berkenalan di luar negeri saat Dina
menempuh pendidikan beasiswa S2. Mereka saling mencintai dan Dina sangat
mencintai Bram sampai akhirnya mereka menikah dan mempunyai anak. Setelah punya
anak, Dina berubah karena ia menganggap anak dan suami bak jaring laba-laba
yang menjeratnya, membuatnya tak bisa berkembang.
Ia pun ingin memutus jaring laba-laba itu. Anak dan
suaminya dianggap sebagai laba-laba jahat yang siap memangsanya. Dina pun
dianggap depresi, beberapa kali di bawa ke psikolog tapi dia semakin menjadi
dan pada akhirnya dibawa ke rumah sakit jiwa.
“Sebetulnya, Dina tidak ingin peduli,
asal jaring laba-laba itu tidak melingkarinya. Bayangkan, mereka berdua
mempergunakan cintanya dengan menyuruh menyelesaikan seluruh pekerjaan
rumahnya. Tak jarang baik Bram maupun anaknya kesal karena masakannya terlampau
asin atau hambar. Mereka juga tidak bersedia sekali-kali membereskan rumah.
Memang ada ekspresi cinta dari Bram, namun ujung-ujungnya menjadi kebutuhan
seks belaka. Dina jijik, dan sekarang, ketika Dina merasa pusing hebat, mereka
berdua melenggang ke kota lain, membiarkan ibu yang sudah tua dan sakit-sakitan
mengurus dirinya.”
Cerpen bertema feminisme ini diceritakan dengan sudut
pandang orang ketiga dan saya menyukainya.
3. Dua
Wanita Cantik karya Jujur Prananto
Yustina sangat khawatir akan kecantikan anaknya Meta
yang mulai tumbuh remaja. Ia khawatir anaknya akan memanfaatkan kecantikannya
untuk hal-hal yang tidak ingin diulanginya, seperti yang pernah terjadi padanya
25 tahun yang lalu.
Yustin pernah menjadi isteri simpanan orang kaya
karena kecantikannya. Sampai akhirnya laki-laki ini menghilang dan Meta pun
tumbuh tanpa ayah. Sampai pada akhirnya kekhawatiran Yustin memuncak setelah
menemukan lipstik di laci kamar tidur anaknya.
4. Suatu
Hari di Bulan Desember 2002 karya Sapardi Djoko Damono
Marsiyam dihukum penjara karena menganiaya suaminya.
Suaminya yang pencemburu berat dan mandul, kerap mencercanya dengan tuduhan
berbuat serong dengan laki-laki lain. Sekitar dua tahun ia dihukum dan
tiba-tiba ia melahirkan bayi laki-laki di penjara tanpa pernah ada yang tahu
dia hamil. Sampai akhirnya masa hukumannya habis dan ia pulang membawa anak.
5. Bunga
Jepun karya Putu Fajar Arcana
Setelah bom meledak di Legian, pariwisata Bali
mengalami guncangan. Hal ini berdampak pada penghasilan kelompok joged bungbung
Teruna Mekar yang sering diundang dan pentas di hotel-hotel berbintang di
kawasan Nusa Dua. Luh Manik, penari di kelompok tersebut memutuskan untuk pergi
ke Jakarta, mencari sumber penghidupan baru di sana.
“Aku hanya sedang mencoba mencari
kemungkinan baru dari hidup ini. Hidup mesti terus berjalan, kendati kita
hampir-hampir kehilangan sandaran untuk berdiri.”
Gamelan yang dulu menjadi alat paling vital dalam grup
tersebut akhirnya dijual kepada kolektor. Bagi para anggota kelompok tersebut,
gamelan tersebut adalah sandaran bagi mereka. Setelah gamelan dijual, hilanglah
sandaran harapan hidup mereka.
“Lelaki, pikirnya, seringkali terlalu
egois dengan mengatasnamakan kelompok. Padahal sesungguhnya mereka sendiri
takut kehilangan pegangan, takut kehilangan perempuan seperti dirinya yang
selama ini menjadi primadona Teruna Mekar. Mereka juga takut kehilangan
sandaran hidup, hingga semuanya mesti dihadapi bersama-sama.”
6. Surat
Keramik karya Herlino Soleman
Cerpen ini mengisahkan tentang seorang 'aku', yang
bercerita mengenai kehidupannya sebagai pekerja di sebuah pabrik keramik di
Jepang. Ia bercerita melalui surat kepada pacarnya, Isti tentang kejadian bunuh
diri Hiroshi, karyawan pabrik keramik. Hiroshi bunuh diri karena merasa malu
hasil pekerjaannya dinilai tidak bagus oleh Nagayama. Ia pun gantung diri di
pohon kusuno.
Janda Murata, ibu Hiroshi memang bisa merelakan
kematian anaknya. Tapi pada saat berziarah dan berdoa di bawah pohon kusuno
tempat Hirosho gantung diri, ia menjerit dan memanggil-manggil nama anaknya.
Isti dalam suratnya juga menceritakan Gendon, rampok
dan bajingan kampung yang mati dibakar massa. Dalam suratnya Isti menceritakan
bahwa Nyai Sukarti, ibu Gendon merelakan kematian anaknya.
“Aku jadi bertanya, sesungguhnya
benarkah ada orang yang bisa merelakan kematian seorang yang begitu dekat
dengan dirinya?”
“Kehidupan tak pernah mandek. Adalah
kehancuran yang akan didapat jika justru kita yang mandek, berhenti berpikir
atau bahkan hanya setengah-setengah sekalipun. Sudah berulang kali kukatakan,
berhentinya pikiran seseorang berarti berhenti pula kehidupannya.”
“Bahwa hidup memang teramat berharga
untuk hanya diisi dengan impian kosong, kesia-siaan, apalagi oleh perilaku
barbar.”
7. Pelajaran Pertama bagi Calon Politisi karya
Kuntowijoyo
“Sebesar-besarnya keuntungan orang yang
lupa diri, masih beruntung yang ingat dan menjaga diri.”
Sutarjo, mencalonkan diri menjadi kepala desa dan
melakukan kampanye sesuai dengan arahan penasihan politiknya. Lambang padi yang
diusungnya bersaing dengan pensiunan TNI yang mengusung lambang senapan.
Berbagai intrik dilakukan calon dari pensiunan TNI ini. Akhirnya Sutarjo kalah
telak. Ia pun mendatangi penasihat politiknya dan dinasehati bahwa ia kalah
karena kecurangan dan merasa bangga.
Ternyata politik itu memang susah untuk dimengerti dan
itulah pelajar pertama untuk para politisi.
“Ya, itulah politik. Sekali menang,
sekali kalah. Sekali timbul, sekali tenggelam. Sekali datang, sekali pergi.
Begitu ritmenya, tanpa henti. Hadapi ritme itu dengan humor tinggi. Jangan
kalau menang senang, kalau kalah susah. Jangan. Berbuatlah sesuatu hanya pada
waktu yang tepat.”
8. Laki-laki
yang Menusuk Bola Matanya karya Yanusa Nugroho
Kris, seorang pria yang kerap dianggap berhalusinasi
karena sering melihat orang-orang di kantornya berubah wujud, ada yang
berkepala naga, kerbau, babi. Ia pun bingung dengan hal tersebut dan membuatnya
sedih. Untuk itu ia ingin menusuk bola matanya karena ia berpikir mungkin ada
yang salah dengan matanya.
9. Kabar
dari Bambang karya Ratna Indraswari Ibrahim
Dini, seorang wartawati menikah dengan Bambang yang
berprofesi sebagai dokter. Mereka dikaruniai anak perempuan bermata cantik.
Pernikahan mereka pun dinilai sangat bahagia dan ideal. Sampai suatu ketika
Dini menemukan baju perempuan dan perkakas make
up di koper Bambang, yang selalu dibawanya jika praktik di luar kota. Dini
yakin suaminya selingkuh dengan perempuan lain. Tapi sebelum menggugat cerai
secara resmi, ia menyelidiki sendiri kecurigaannya.
Ia menguntit Bambang dan betapa terkejutnya Dini
ternyata yang memakai baju dan perkakas make
up tersebut adalah Bambang. Apakah Dini bisa bertahan dan menerima Bambang
yang ternyata biseksual?
Saya sangat terbawa oleh cerita ini. Saya sangat
mengerti bagaimana perasaan Dini, bagaimana jijiknya melihat suami sendiri
berganti menjadi perempuan. Saya suka dengan cerita ini. Salah satu favorit
saya.
10. Semakin
dan Semakin ke Barat karya Budiarto Danujaya
Tokoh 'aku' mengenang masa kecilnya di sebuah daerah
pinggiran di Kapuk yang dihabiskan dengan kegiatan menjaring burung bersama
teman-temannya. Dulu di masa kecilnya, menjaring burung menjadi mata
pencaharian orang-orang di kampungnya. Tapi seiring dengan perkembangan zaman,
penduduk kampung harus mencari burung semakin ke barat akibat banyak terjadi
alih fungsi lahan di wilayahnya.
Sampai akhirnya tokoh aku tumbuh dewasa dan memiliki
anak, secara kebetulan ia bertemu dengan Pak Buari, pria paruh baya yang dulu
mengajarinya bagaimana cara menjaring burung. Pak Buari menceritakan
kekhawatirannya semakin hari ia mencari burung semakin ke barat karena
banyaknya tumbuh pohon-pohon beton di tengah kota. Jika alih fungsi lahan tak
terbendung, mungkin ia harus menyeberang pulau Jawa, semakin ke barat untuk
menjaring burung.
11. Mati
Sunyi karya Cok Sawitri
Seorang pejuang kemanusiaan yang disebut bibi oleh
tokoh 'aku' meninggal dunia dan dibawa ke Bali, kampung halamannya untuk proses
ngaben. Bibi ini begitu terkenal,
baik di tingkat nasional dan internasional karena kiprahnya memperjuangkan hak
asasi manusia. Tapi sayang di saat kematian kesunyian melandanya, warga kampung
tak pernah menganggapnya ada. Tak ada gerombolan warga yang datang melayat.
Rumahnya sepi. Hanya didatangi tamu dari luar daerah dan para wartawan.
Tokoh yang meninggal ini semasa hidupnya sering
mengkritik adat. Tidak pernah terlibat dalam kegiatan warga. Untuk itulah warga
kemudian mengasingkannya bahkan di saat kematiannya.
“Apa begini namanya keadilan yang
diperjuangkan ibumu itu? Sekarang menuntut perlakuan yang sama. Tetapi apa
pernah ibumu memperlakukan mereka dengan adil?! Ibumu hanya bisa mengkritik
adat! Hanya bisa mengusulkan perubahan. Menyarankan persamaan sikap. Sekarang
mereka telah mematuhi ajaran ibumu. Menjalankan persamaan sikap terhadap sikap
ibumu kepada mereka!”
12.
Keroncong Cinta karya Agus R Sarjono
Madelaine, perempuan 42 tahun jatuh cinta kepada Eric
yang mengenalkannya pada musik keroncong. Bahkan Madelaine rela jauh-jauh
datang ke Indonesia untuk menemui Eric, memastikan hubungan mereka. Ternyata
sangat menyakitkan mendapati kenyataan bahwa Eric hanya menganggapnya teman,
tamu asing yang harus disambut dengan lagu-lagu cinta. Cintanya bertepuk
sebelah tangan.
Akhirnya ia kembali ke Belanda. Ia pun bertemu Peter
yang berhasil meluluhkan hatinya. Tapi ia ingin kembali ke Indonesia dan
memutuskan untuk berangkat. Tapi ternyata sensasi yang dirasakan setelah sampai
di Indonesia tidak sama seperti yang dirasakannya dulu saat ingin bertemu Eric.
“Dulu semua itu
rasanya menakjubkan, tapi sekarang? Belasan jam perjalanan dan sepertiga
tabungan tahunan hanya untuk meninggalkan Peter dan malam-malam indah musim dan
musim dingin yang mengesankan. Ia menduga-duga masih akan adakah lagi sambutan
lagu keroncong selamat datang dengan syair-syair cinta yang mesra dan tak
bertanggung jawab dari Eric?”
“Ketika ia menginjakkan kakinya di
Bandara Soekarno-Hatta, hatinya sudah sepenuhnya berada di Eropa.”
13. Liang
karya Indra Tranggono
Yaa Allah kenapa sedih sekali cerita ini. Itulah
kalimat yang aku gumamkan dalam hati sambil mengusap mataku yang berair setelah
membaca cerita ini. Masih bertema perempuan, tentang Wasti, anak Yu Milah yang
selalu pulang membawa anak. Tak jelas siapa ayah dari anak-anak Wasti ini. Hal
ini pun menjadi bahan gunjingan ibu-ibu di kampungnya.
Kegelisahan pun melandanya, terlebih bagi ibunya, Yu
Milah. Kecukupan hidup yang diberikan Wasti dengan hasil pekerjaannya di kota
tak bisa membuatnya tenteram. Kegelisahan semakin mengguncang batinnya saat dia
mengingat masa lalunya yang ditinggalkan laki-laki yang telah menghamilinya. Yu
Milah tak ingin itu berulang menimpa anaknya.
“Yu Milah ingin Wasti tumbuh sebagai
perempuan yang meniti hidup tanpa kelokan, tanpa tikungan yang penuh tikaman.
Tikaman laki-laki pendusta, yang baginya, tak lebih dari para penyewa liang
kehangatan untuk menitipkan sperma. Begitu benih itu menetas, mereka lenyap
tanpa bekas. Ia ingin Wasti menemukan laki-laki yang, meskipun sangat
sederhana, mampu memberikan sarang yang hangat dan nyaman, syukur punya
keduudkan yang lumayan.”
Akhirnya Yu Milah masuk penjara setelah memukul tukang
gosip bertubuh gempal yang sering menggunjingi anak dan cucu-cucunya.
14. Gadis
Kecil dan Perempuan yang Terluka karya Puthut EA
Cerpen ini diceritakan dengan menggunakan sudut
pandang dua orang yang berbeda. Ada Dila, dan Bu Bertha yang memiliki jalinan
keterikatan. Secara bergiliran dua orang ini berperan sebagai penutur dalam
cerita. Dila, siswi kelas 5 SD adalah anak ketiga Arman yang ditinggalkannya
pergi bersama perempuan lain. Di sekolah ia sering dimarahi gurunya, Bertha
tanpa tahu apa kesalahannya.
Bertha memarahi Dila sebagai pembalasan dendam karena
ia tahu Dila adalah anak Arman. Arman telah meninggalkan duka mendalam di
hatinya. Arman berkhianat dan meninggalkannya menikah dengan ibunya Dila. Gaya
penceritaan ini sama dengan cerpen Sepi Pun Menari di Tepi Hari.
Ini salah satu cerita yang paling saya sukai. Walaupun
memang agak susah mencerna maknanya. Ada dua ruang waktu dalam latar cerita
ini. Ruang dan waktu pertama pada saat peperangan di zaman Rasulullah. Pada
saat itu Hindun mempunyai dendam kepada Hamzah yang telah membunuh ayahnya
dalam peperangan. Sampai pada akhirnya Wahsyi berhasil membunuh Hamzah, merobek
perut dan mengambil hatinya. Hati itu pun diserahkan kepada Hindun dan dilumat
habis sebagai pelampiasan dendamnya.
Ruang waktu kedua beralih ke zaman sekarang dimana ada
juga seorang tokoh bernama Hindun yang memeram dendam atas perkosaan dan
pembunuhan anak perempuannya, Nur. Pembunuhnya adalah Hamzah, anak dari Hindun
sendiri. Setan, yang menjadi tokoh aku di dalam cerita ini terus meneruskan
meniupkan bisikan kepada Hindun agar tidak membunuh Hamzah. Karena Setan telah
berhasil membujuk Hamzah untuk berbuat dosa, membunuh dan memperkosa.
“Kini mengertilah, Hindun, aku memang
setan. Namun, aku pun bisa punya rasa kehilangan yang mendalam. Dan, Hamzah
adalah putra pujaanku. Aku tak mau kehilangan dia. Aku tak ingin sebagaimana
Hindun yang lain kau menyerupai, bahkan melebihi kekejamanku.”
Berhasilkan Hindun membunuh Hamzah? Atau malah
menuruti kata Setan untuk tak membunuh?
16. Cakra
Punarbhawa (Kisah Lima Penjelmaan) karya Wayan Sunarta
Larik-larik dalam cerita ini begitu liris. Walaupun
sebenarnya saya sendiri sulit mencerna makna dari cerita ini. Tapi saya sangat
menyukai gaya berceritanya. Tokoh 'aku' dalam cerita ini telah melintasi
berbagai zaman, mulai dai zaman Gajah Mada, pada masa penjajahan Jepang dan
Belanda, pascakemerdekaan dan peristiwa G-30 S, zaman orde baru sampai pada
zaman reformasi dan memuncak pada perisitiwa bom Bali di Legian.
Di setia zamannya, ia lahir selalu dari rahim
perempuan yang tersakiti. Membawanya menjadi manusia yang penuh dengan
problematika. Dan puncaknya pada saat peristiwa Bom Bali yang membuatnya
kemudian menjadi gelandangan lusuh.
“Kaukah ruh,
asal segala keluh dan jenuh? Atau aku noktah yang akan terhapus dari kenangan.
Atau aku ruh, yang berkisah perihal waktu, yang menumbukku jadi debu?”
Sangat sulit menentukan mana cerpen yang paling
menjadi favoritku karena semuanya aku sukai. Aku begitu masuk ke dalam
cerita-cerita dalam buku ini. Pantaslah buku ini naik cetak lagi, karena memang
sangat bagus. Beberapa waktu lalu aku lihat buku ini di rak New Arrival Gramedia Lombok.
Ada beberapa
typo yang aku temukan di buku ini:
-
tamat ditulis
tamat (xx)
-
jasad ditulis
jasat (xxxv)
-
dahsyat ditulis
dasyat (xl)
-
banyak ditulis
banya (3)
-
jangkrik ditulis
jengkerik (43)
- kekurangan kata
depan -di; Dan lipstik tak pernah ada
daftar itu (Dua Wanita Cantik, 23) seharunya setelah kata 'ada', ada kata depan -di.
-
dua, puluh empat tahun lalu (131), seharusnya tidak ada tanda koma (,) setelah
kata 'dua'
Lima bintang untuk buku dan bibir merah bergigi
taring! Saya sangat suka sampulnya. Epic!
Comments
Post a Comment