Too Much Worry Will Kill You (Trip Kuala Lumpur-Singapore Part 2)
Rencana traveling
ke Kuala Lumpur-Singapura sebenarnya cukup dadakan dan tidak aku persiapkan
dalam waktu yang lama. Pada awalnya Kuala Lumpur dan Singapura bukan tujuan
utamaku. Sejak membeli tiket one way
akhir tahun 2014 jurusan LOP (Lombok)-Kuala Lumpur, aku sangat ingin ke India,
negara yang lama masuk dalam bucket list-ku
dan memang menjadi negara impianku. Tapi sayang, karena alasan budget yang kurang mendukung, terpaksa
aku batalkan ke India. Huhuhu. So sad.
Akhirnya daripada tiket LOP-Kuala Lumpur itu hangus,
sekitar dua bulan sebelum keberangkatan aku putuskan untuk traveling ke Malaysia dan Singapura. Mulailah aku browsing berbagai informasi tentang
kedua negara tersebut. Temanku, Indri pengen juga ikutan dan kami pun menyusun schedule berdua. Karena dia belum dapat
tiket, aku yang dimintanya untuk memesan online
sesuai tanggal keberangkatan yang sudah kupesan. Setelah berdiskusi kami
memutuskan untuk pulang dari Singapura via Surabaya ke Lombok, salah satu
pertimbangannya tentu harga tiket yang cukup murah dibandingkan kami harus
kembali lagi ke Malaysia dari Singapura. Lagian Indri juga pengen lihat Bandara
Changi yang sangat kesohor dan canggih itu.
Tiket pulang sudah di tangan. Kami kemudian memesan
tiket hostel, dan itu pun kami cari yang paling murah. Tiket hostel dan hotel
kami pesan sekitar empat hari sebelum berangkat. Bukti booking hotel sudah ditangan. Kami pun siap mengembara ke negeri
jiran.
Jadwal keberangkatan kami hari Kamis, 28 Mei 2015
pukul 12.15 WITA. Tentu sebelum berangkat muncul kegelisahan tepatnya kekhawatiran-kekhawatiran
yang mengganggu di kepala. Maklum ini baru pertama kali ke luar negeri. Segala
sesuatu telah aku persiapkan. Termasuk belanja obat-obatan.
Hari Rabu malam, 27 Mei 2015 aku harus pulang ke
Lombok Timur karena harus berangkat ke bandara dari rumah. Bukan dari Mataram,
tempat aku tinggal dan bekerja empat tahun terakhir ini. Ibu ngotot ingin
mengantar kami ke bandara, sebenarnya aku nggak ingin membuat beliau repot.
Tapi ya sudahlah, demi anak tercinta. Mungkin beliau bangga lihat anaknya
berangkat liburan ke luar negeri. Hahaha
Aku pun janjian pulang bareng ke Lombok Timur sama
Indri. Baru berangkat, dia tiba-tiba telepon. Dia berondong diriku dengan
kekhawatiran-kekhawatiran gimana besok kalau kita nggak lolos di imigrasi
Singapura karena susah banget masuk negara itu. Ia mendapat wejangan dari om
dan tantenya yang beberapa kali ke Singapura dan mengalami beberapa kesulitan
di sana. Malam itu kami batal pulang ke Lombok Timur dan kami harus nginap di
rumah mbahnya Indri mendengar wejangan dari om dan tante. Aku pun mulai
khawatir tapi ya sudahlah, harus tetap jalan. Masa gara-gara itu harus batal?
Ntar gimananya di sana saja kataku. Jadi kita nggak usah ribet dan terlalu
khawatir, slow saja kataku ke Indri.
Malam itu aku tidur cukup pulas. Kami harus pulang ke
Lombok Timur subuh-subuh karena butuh waktu 1,5 jam perjalanan dan kami harus
berangkat ke bandara jam 9. Orang belum turun dari masjid shalat subuh
berjamaah, kami sudah berangkat pulang. Dingin menusuk tulang sepanjang
perjalanan. Harus ngebut dan secepatnya sampai rumah karena belum packing barang-barang. Jam 7 pagi aku
sampai di rumah dan langsung packing.
Jam 9 kami berangkat ke bandara diantar
ibu dan keponakanku.
Belum terhapus kekhawatiran-kekhawatiran tadi malam,
kembali kekhawatiran baru muncul dan ini lebih dahsyat. Saat kami check in, tiba-tiba kami dipanggil sama
petugas Air Asia. Kami diinterogasi mau kemana, ngapain, dan berapa uang tunai
yang kami bawa. Petugas ini menurutku sih hanya menakut-nakuti kami, ia bilang
kalau beberapa waktu lalu ada dua orang perempuan nggak diizinin masuk Malaysia
karena nggak bisa membuktikan uang tunai yang mencukupi yang ia bawa untuk
berlibur. Duileeee. Susah amat yak. Uang kami memang pas-pasan, dan uang tunai
yang kami bawa hanya Rp 1 juta di dompet. Akhirnya saya bilang ke petugasnya, “Mas
memang uang tunai yang kami bawa nggak banyak. Tapi masih ada di ATM!”
Petugas yang lumayan cakep ini bilang, “Mbak bukannya
gimana-gimana, tapi ini untuk jaga-jaga. Imigrasi di Malaysia itu ketat dan
galak-galak. Mbak-mbak harus bisa membuktikan dengan bawa uang tunai
secukupnya. Ambil aja sekarang uang yang di ATM semuanya. Sayang daripada nanti
disuruh balik lagi. Apalagi ini paspornya baru, belum ada capnya.” Lagi-lagi ia
menakuti kami.
Terpaksa kami pun keluar mencari ATM. Setelah
nunjukkin uang yang cukup. Masnya mempersilahkan kami lanjut ke konter check in. Ia pun berpesan; “Jangan lupa
pakai Bahasa Inggris di Malaysia.”
Katanya petugas imigrasi Malaysia sering underestimate kepada orang Indonesia,
apalagi yang masuk ke negara mereka dari Lombok. Pasti anggapannya sebagai
TKI/TKW di sana. Karena orang Lombok sangat banyak mengadu nasib ke Malaysia. Jadi
kalau kita ngomong pakai Bahasa Inggris, mereka jadi hormat sama kita. Ealaah.
Baiklah sekalian praktik kemampuan Bahasa Inggris yang sangat pas-pasan ini,
nggak apa-apalah.
Setelah check in
rampung, kami pun berpamitan dengan ibu. Sedih sih. Ingin rasanya mengajak
ibu ikut liburan. Kami kemudian naik ke ruang tunggu. Setelah imigrasi ngecap
paspor, kami pun masuk dan bergabung dengan penumpang lainnya yang didominasi
para TKI. Nggak lama, kami masuk pesawat dan tinggal landas.
Sesaat sebelum mendarat aku tanya ke penumpang di
seberang seat-ku yang kebetulan TKI
tentang bagaimana imigrasi di Malaysia. Bapak ini membenarkan kata petugas Air
Asia tadi yang katanya imigrasi Malaysia galak apalagi kepada para TKI. Duuuh.
Makin khawatir dan nggak tenang. “Tapi kalau dilawan (ngomong) pakai Bahasa
Inggris, mereka akan hormat sama kita,” kata si bapak itu.
Alhamdulillah, kami pun mendarat dengan selamat di KLIA 2 setelah
menempuh perjalanan selama 3,5 jam. Detik-detik menuju imigrasi semakin menegangkan.
“Duuh, takut say,” kata Indri. “Aku
juga, tapi selooow aja deh. Keep calm, everything’s gonnna be ok,” kataku. Kami
pun mengantri bersama deretan para TKI. Indri berada di depanku. Kami sengaja
pilih deretan yang petugas imigrasinya laki-laki. Karena biasanya perempuan
lebih galak.
Indri berhasil lolos. Deg. Giliranku tiba. Aku pun
maju dan mencoba tersenyum ke petugas imigrasi yang mukanya datar. Aku serahkan
paspor dan tiket menginapku. Dia nggak tanya apa pun dan menyuruhku menempelkan
dua jari di mesin scan. Ia mengecap pasporku dan langsung menyerahkannya.
Yeaaaay. Berhasil.
Aku dan Indri ketawa dan saling cerita apa saja tadi
yang ditanyakan petugas imigrasi. Ketegangan seketika hilang. Plong. Dan kami
pun siap menjelajah Kuala Lumpur. Lesson
learned number 2: too much worry
will kill you. Ternyata rasa khawatir yang berlebihan bisa ‘membunuh’.
Maksudnya kita jadi nggak tenang dan nggak bisa menikmati perjalanan karena
memikirkan kekhawatiran, memikirkan apa yang belum terjadi. Akhirnya kita hanya
fokus pada rasa khawatir itu, padahal ada banyak hal yang harus dinikmati. Dan
alhamdulillah, Allah memberikan kemudahan-kemudahan. Kami pun dalam perjalanan
banyak bertemu orang baik.
Di KLIA 2, kami berkenalan dengan orang Lombok Timur
yang sering bolak-balik Lombok-Kuala Lumpur. Mas itu yang saya lupa namanya
membelikan kami tiket bus KLIA 2-KL Center. Lumayan kan bisa ngirit. Hehehe.
Alhamdulillah. Wait for the next story, Yanet will be back! hahaha
Selfie di toilet KLIA 2 sesaat setelah mendarat. Selfie untuk menghilangkan ketegangan. |
Pose dulu sebelum menuju ke konter imigrasi Malaysia.. |
Langit Kuala Lumpur. Foto diambil dari dalam bus perjalanan dari KLIA 2 ke KL Center. Hey, could you see a plane over there? |
Comments
Post a Comment