Resensi Buku "Asia dan Australia (Kompas Traveller)"
Judul : Asia dan Australia (Seri Kompas
Traveller)
Penulis : Myrna Ratna
Perancang Grafis : A Novi
Rahmawanta
Penerbit : Penerbit
Buku Kompas
Tahun :
2013
Halaman : 126
ISBN :
978-979-709-770-7
Bagi Myrna sebuah perjalanan yang
dilakoninya bukan sekadar melaksanakan tuntutan pekerjaan yang memberinya
kesempatan berkunjung ke berbagai tempat. Tapi perjalanan-perjalanan yang dilaluinya
memiliki arti tertentu, dan tentu perjalanannya ke luar negeri membuatnya
semakin mencintai Indonesia.
“Setiap
perjalanan memiliki arti khusus, karena saya percaya sebuah perjalanan selalu
mengubah. Ketika datang dan pergi, kita tak pernah sama lagi.”
Buku ini dibuka dengan pengalaman
Myrna menyesap senja di Gili Trawangan. Ia begitu terkesan dengan pulau tanpa
kendaraan bermotor tersebut, namun ia juga merasa prihatin melihat warga lokal
yang semakin tergerus dengan maraknya pembangunan fasilitas pariwisata seperti
hotel, resor, dan vila-vila.
“Seiring dengan
pesatnya perkembangan pariwisata di pulau ini--ketika resor, hotel, dan
restoran berebut menjejali lahan pinggir pantai--permukiman penduduk semakin
tergusur ke arah bukit. Warga yang tercecer ini kemudian menjadi seperti "tamu"
di tanah kelahirannya.”
Pembaca juga diajak menyusuri Kampung
Citalahab Sentral yang berada di tengah kawasan Taman Nasional Gunung
Halimun-Salak (TNHS) Jawa Barat. Penduduknya hanya 18 keluarga dan satu sama
lain saling berkerabat. Konon penduduk desa ini juga awet muda dan ada yang
diduga berusia sampai seabad lebih. Tapi sayang di kampung itu tidak ada
sekolah sehingga anak-anak harus menempuh jarak sekitar 3 kilometer untuk
bersekolah (SD).
Beralih ke Jawa Timur, pembaca
diajak merasakan jejak keemasan Kerajaan Majapahit pada abad XIII-XV di
Trowulan, Mojokerto. Situs kota dengan luas 99 kilometer persegi atau 11 kilometer
x 9 kilometer dan menyimpan ratusan ribu peninggalan arkeologis. Ada beberapa
situs yang dikunjungi seperti kolam kuno Segaran yang masih dialiri air.
Wringin Lawang yaitu gapura simetris dari batu bata merah, Candi Brahu dan
Candi Tikus yang merupakan bangunan petirtaan dengan puluhan pancuran, makam
Putri Campa (Permaisuri Raja Majapahit terakhir, Brawijaya), pekuburan Islam
Troloyo, makam Panjang yang menunjukkan adanya penghuni Trowulan sebelum era
Majapahit.
Selanjutnya adalah Taman Nasional
Gunung Gede Pangrango (TNGGP). Di sini penulis menginap dan mendirikan tenda di
padang edelweis alun-alun Suryakencana. Perjalanan berlanjut ke Dusun Pegandon,
Desa Pegandon, Karang Dadap, Pekalongan Timur. Di sini batik tidak seindah
kehidupan para pembatik. Para pembatik banyak yang sudah renta dan tidak ada
penerus lagi.
“Para
pembatik tersebar di rumah-rumah penduduk. Kebanyakan mereka bekerja di bagian
belakang rumah yang pengap dan tanpa penerangan. Bahkan, tak sedikit yang harus
berbagi tempat dengan kandang ayam, sambil menghirup aroma tak sedap dari
aliran limbah rumah dan asap kayu bakar.”
Di Asia Tenggara, penulis
mengunjungi Saigon atau Ho Chi Minh City dan Singapura. Di sini Saigon, ia
mengunjungi terowongan yang dulu dijadikan sebagai salah satu siasat perang
atau simbol perjuangan oleh tentara Vietnam (Vietkong) melawan tentara AS. Terowongan
Cu Chi berada di Desa Phu My Hung, 70 km barat daya Saigon. Selain itu juga
mengunjungi Vung Tau yang berjarak 128 kilometer dari Saigon. Vung Tau pada masa
penjajahan Prancis disebut Cap St Jacques dan menjadi tempat peristirahatan
warga kelas atas Saigon. Pelabuhan di Vung Tau menjadi sorotan dunia ketika
kapal terakhir yang mengangkut pasukan AS meninggalkan Vietnam tahun 1973.
Di Singapura, Myrna mengunjungi
Reservoir MacRitchie yang merupakan reservoir (daerah tangkapan air) tertua di
negara kota itu. Hutan ini berada di utara Orchard Road atau sekitar 10 menit
berkendara. Biasanya dijadikan tempat bagi para joggers untuk berolahrga atau jogging.
Di Asia Selatan, penulis
mengunjungi Mumbai, India. Kota yang cukup paradoks, tempat dimana kaum miskin
dan superkaya berbaur, kemiskinan dan kemakmuran warga kelas atas berkumpul di kota
yang dulu bernama Bombay ini.
“Begitulah,
Mumbai penuh dengan kekontrasan. Sejarah perdagangan India dimulai di kota ini.
Demikian jengan industri film, musik, dan mode. Mumbai mempertemukan beragam
kasta, agama, dan kelas sosial.”
Di Asia Timur, Myrna mengunjungi Nara,
Jepang dan Tiongkok. Nara adalah ibu kota pertama Jepang sebelum dipindahkan ke
Kyoto selama hampir seribu tahun. Ia mengunjungi kuil-kuil, salah satunya kuil
Todai-ji yang menjadi pusat kegiatan agama Buddha sebelum masa kekaisaran
Meiji. Dimana pada saat Meiji berkuasa, kaisar memutuskan pada 1868 yang menjadi
kepercayaan yang diakui secara resmi adalah Shinto.
Di Tiongkok Myrna mengisahkan
pengalamannya bertemu dengan keluarga Muslim dari etnis Hui. Wu Yanxia dan Fang
Hui, suaminya merayakan kelahiran anaknya dengan tradisi Islam, mendoakan
keselamatan untuk bayinya.
Untuk Australia mendapat porsi sedikit
dalam buku ini, hanya dua cerita yang dikisahkan (Meniti Jembatan Lengkung
Sydney dan Menyusuri Samudera, Menuju Purrumbete). Purrumbete, adalah rumah yg
dibangun tahun 1838 oleh Dinasti Manifold yang terletak di pinggir danau dan
dikelilingi taman bunga yang luas. Awalnya luas Purrumbete 100.000 acre dan
diurus 100 pelayan, tapi kini tinggal 400 acre. 1 acre = 4.046 meter persegi.
Dengan tulisan Myrna yang detail
mendeskripsikan suasana di suatu tempat, pembaca seolah-olah bisa merasakan
atmosfer tempat tersebut. Apalagi buku ini dilengkapi dengan foto-foto dan halaman
yang berwarna. Membaca kisah perjalanan dalam buku ini mengasyikkan dan tidak
membuat bosan. Dengan jumlah halaman yang sedikit, buku ini bisa habis dalam
sekali duduk. Membaca buku ini membuat saya ingin mendatangi tempat-tempat
dalam buku ini.
Ada catatan saya tentang buku ini,
satu saja yaitu kesalahan penempatan halaman atau halaman yang tertukar.
Seharusnya halaman 50 di halaman 52. Karena ada kata yang tidak sinkron dengan
kalimat berikutnya di halaman berikutnya. Di halaman 50, diujung halaman
tertulis “jam sudah...” Tapi lanjutannya di halaman 52 awal tidak ada
tertulis jam berapa tapi disambung dengan kata “mengumpulkannya”. Namun penunjuk
jam ada di halaman 53 “menunjukkan pukul 17.00” dan ini tidak sinkron dengan
ujung hal 52 yang tertulis “begitulah,”.
Saya beri 4 bintang untuk buku ini
dan tempat yang paling ingin saya datangi di buku ini adalah padang Edelweis
Suryakencana dan Mumbai, India. Happy
reading folks, XOXO.
Comments
Post a Comment