Betetulak, Tradisi Masyarakat Rembiga Menyambut Tahun Baru Islam
Masyarakat di Kelurahan
Rembiga Kota Mataram memiliki tradisi untuk menyambut tahun baru Islam yang jatuh setiap
tanggal 1 bulan Muharram tahun Hijriah. Tradisi tersebut telah berlangsung
sejak abad ke–XVI sampai sekarang. Betetulak
juga dipercaya sebagai sebuah tradisi untuk menolak bala.
Dituturkan Ketua Panitia
penyelenggaraan Betetulak, Muhaimi kepada Suara
NTB saat ditemui di rumahnya di Sesela, Gunung Sari bahwa upacara dilakukan
selama 21 hari dan dimulai pada tanggal 1 bulan Muharram tahun Hijriah. Acara tersebut
berpusat di empat titik di kelurahan Rembiga yaitu di Rembiga Timur, Utara,
Barat, dan Selatan.
Pada 3 malam pertama
penyelenggaraan, ada prosesi mengarak benda-benda pusaka keliling dari kampung
ke kampung. Benda-benda tersebut seperti Al-Qur’an yang ditulis dengan tangan,
jubah, perkakas makan dan minum kerajaan dan senjata (keris, tombak dan
pedang).
Barang-barang tersebut
dikatakan Emi, panggilannya merupakan peninggalan orang tua zaman dahulu yang
diperkirakan milik para penyebar agama Islam di Lombok.
”Sebelum diarak, diawali
dahulu dengan rowah pembuka sebelum
alat dikeluarkan dari gedeng yang ada
di salah satu rumah penduduk,” ujarnya.
Setelah rowah, kemudian
diadakan pembacaan hikayat yang ditulis dalam daun lontar sambil menunggu waktu
sampai jam 12 malam dimana benda-benda tersebut mulai diarak.
Dijelaskan Emi,
arak-arakan memiliki rute tertentu pada masing-masing hari pelaksanaan. Rute
pertama ialah timur ke utara ke barat, selatan dan kembali ke timur. Pada hari
kedua rutenya berbeda yaitu barat, selatan, timur, utara, barat, selatan dan
timur. Pada hari ketiga rutenya sama dengan hari pertama.
Tujuan dari upacara
tersebut ialah agar masyarakat yang ada di sekitar Rembiga terhindar dari
segala bencana baik bencana alam maupun segala bentuk bencana sosial.
Pada hari keempat,
diadakan pula ritual yang sama tetapi bedanya berlangsung pada sore hari. Tidak
malam hari seperti acara pada hari pertama-ketiga. ”Semua masyarakat datang dan
berkumpul membawa sajian berupa bubur merah dan bubur putih dan melakukan do’a
bersama di sepanjang lorong menuju gedeng pada saat senjakala,” cerita pemilik
sanggar seni Seleparang ini.
Sajian yang dibawa
masyarakat pun berbeda-beda. Pada hari kelima dibawa sajian serabi-jongkong.
Pada hari keenam masyarakat membawa sajian berupa ketupat dan dirangkai dengan
do’a bersama. ”Air yang dido’akan akan diambil masyarakat dan dipercaya bisa
mengobati penyakit, mendamaikan hati dan mendamaikan masyarakat sekitarnya,”
imbuhnya.
Dan pada hari ketujuh
masyarakat membawa sajian nasi dan sayur sebagai lauk pauknya. Tidak ada
lauk-pauk yang berasal dari makhluk hidup. Hal ini sebagai bentuk kerendahan
hati manusia. Semua sajian yang dibawa masyarakat mempunyai makna dan filosofi.
Comments
Post a Comment