Resensi Buku “Layar Terkembang” - Feminisme dalam Roman Klasik Indonesia
Judul : Layar Terkembang
Pengarang : Sutan Takdir Alisyahbana
Penerbit : Balai Pustaka
Cetakan : 20
Tahun : 1990
ISBN : 979-407-065-3
“Tiap-tiap manusia harus menjalankan
penghidupannya sendiri, sesuai dengan deburan jantungnya, bahwa perempuan pun
harus mencari bahagianya dengan jalan menghidupkan sukmanya.”
“Lautan yang dalam apabila
bergelombang, besar pula gelombangnya.”
(Yusuf, Halaman 101)
Buku Layar Terkembang adalah buku yang tak asing bagi
para pelajar di Indonesia. Buku ini kerap disebut dalam pelajaran Bahasa dan
Sastra Indonesia. Saya pun tak asing dengan buku ini, tapi baru-baru ini saya
membacanya. Saya suka dengan buku ini, terlebih dengan pemikiran-pemikiran
modern para tokohnya dalam buku ini, salah satunya adalah feminisme.
Di zaman dulu, sebelum kemerdekaan Indonesia,
gagasan-gagasan feminisme telah masuk ke Indonesia dilihat dari tema yang
diusung dalam buku ini. Buku ini pertama kali dicetak pertama kali pada tahun
1937. Tokoh Tuti, perempuan muda yang mulai melawan dominasi laki-laki melalui
gerakan Puteri Sedar, sebuah organisasi yang beranggotakan perempuan Indonesia.
Tuti melalui gerakannya berjuang untuk kesetaraan laki-laki dan perempuan.
“Diakuinya bahwa ada bedanya antara
sifat-sifat rohani dan jasmani laki-laki dan perempuan, tetapi di sisi itu
terutama sekali ditunjukkannya, bahwa lain daripada perbedaan itu amat banyak
persamaan. Hingga sekarang orang terlampau banyak mengingat perbedaan sifat itu
dan berdasarkan itu kepada perempuan diberikan orang pekerjaan yang sangat
kecil lingkungannya, yaitu pekerjaan menyelenggarakan rumah dan mendidik anak.
Dalam lingkungan pekerjaan yang demikian perempuan mesti, tiada boleh tidak
menjadi bergantung kepada laki-laki. Kepada jiwanya tiada diberi kesempatan
untuk tumbuh dengan sempurna, puncak kecerdasan dan kemajuan yang boleh dicapai
oleh perempuan telah diwatasi. Oleh itulah maka berabad-abad perempuan takluk
kepada laki-laki, dalam segala hal ia bergantung. Dan kecakapan perempuan yang
tiada pernah diasah, tiada pernah diberi kesempatan yang sebaik-baiknya untuk
tumbuh itu, menjadi kerdil dan tiada berdaya. Itulah sebabnya maka Puteri Sedar
berjuang merebut kesempatan yang sebesar-besarnya bagi perempuan untuk
mengembangkan segala sifat dan segala kecakapan yang dikaruniakan oleh alam
kepadanya, yang sebaik-baiknya untuk tumbuh itu, menjadi kerdil dan tiada
berdaya, pekerjaan laki-laki, yang dapat dilakukan oleh perempuan. Dalam dunia
pengetahuan, teknik, perdagangan, perempuan harus mengembangkan segala
kecakapannya dan kesanggupannya. Kepada perempuan baru harus diberi gelanggang
yang lebih lebar dari lingkungan rumah dan kerabatnya saja. Cap kurang harga,
cap mempunyai kecakapan yang terwatas, lebih terwatas dari laki-laki harus dilenyapkan
daripadanya. Hal ini bukan berarti, bahwa perempuan akan melepaskan segala
pekerjaan yang sudah ditunjukkan oleh alam kepadanya. Jauh sekali-kali; hal itu
hanya akan berarti, bahwa lain daripada pekerjaan yang telah selaras dengan
koderatnya, kepadanya akan diberikan pula kemungkinan mengembangkan
rohani-jasmaninya sesempurna-sempurnanya.”
(Halaman 116-117)
Layar Terkembang bercerita tentang dua bersaudara, Tuti
dan Maria, anak dari Raden Wiriaatmaja, bekas wedana di daerah Banten. Tuti dan
Maria memiliki sifat berbeda. Tuti adalah perempuan yang keras, tegas, dan
melakukan apapun berdasarkan keputusan hatinya. Ia juga lebih pendiam
dibandingkan Maria yang ceplas ceplos dan ceria.
Kedua perempuan ini pun bertemu dengan Yusuf, di sebuah
akuarium yang menjadi objek wisata. Sejak awal bertemu, Yusuf jatuh hati pada
Maria. Yusuf adalah mahasiswa Sekolah Tabib Tinggi atau di zaman sekarang
sekolah kedokteran. Sementara Maria adalah mahasiswi di H.B.S. Carpentier Alting Stichting.
“Berbahagia ialah berbahagia, senang
ialah senang, dan yang lain dari itu bukan berbahagia dan bukan senang namanya.”
(Halaman 26)
Pokok pemikiran feminisme yang diusung dalam buku ini
juga dapat dilihat ketika Tuti melihat Maria yang dimabuk asmara pada Yusuf,
Tuti menasihati adiknya bahwa perasaan yang terlampau jatuh pada laki-laki
menyebabkan laki-laki memanfaatkan perempuan.
“Kalau demikian mungkin mabuknya
perempuan dibuat oleh laki-laki, sehingga tiada ada yang lain lagi yang
teringat dan terpikir kepadanya, maka telah selayaknya benarlah perempuan
menjadi hamba sahaya laki-laki. Perempuan hendak takluk, hendak bergantung
kepada laki-laki. Itulah sebabnya, maka ia menjadi takluk, menjadi bergantung
pada laki-laki. Itulah sebabnya, maka laki-laki dapat berbuat sekehendak hatinya
atas perempuan.”
(Halaman 60)
“Oleh cinta yang berlebih-lebihan,
yang tiada tahu watasnya lagi seperti engkau inilah, maka perempuan menjadi
permainan laki-laki. Laki-laki melihat, bahwa perempuan sangat bergantung
kepadanya. Kesempatan itu dipakainya untuk keuntungannya, perempuan
diperhambanya.”
(Tuti, Halaman 63)
Tuti pernah bertunangan dengan Hambali tapi putus
karena Hambali tak bisa menerima sikap Tuti yang menomorduakan dirinya. Dan
Tuti menganggap organisasinya lebih penting dari Hambali.
“Tidak, ia tidak akan menghambakan
dirinya kepada laki-laki serupa itu. Percintaan harus berdasar atas dasar yang
nyata: sama-sama menghargai. Perempuan tidak harus mengikat hati laki-laki oleh
karena penyerahannya yang tiada bertimbang dan bertangguh lagi. Perempuan tiada
boleh memudahkan dirinya. Ia harus tahu di mana watas haknya terlanggar dan
sampai ke mana ia harus minta dihormati dari pihak yang lain. Kalau tidak
demikian perempuan senantiasa akan menjadi permainan laki-laki. Dan daripada
menjadi serupa itu, baginya baiklah ia tiada bersuami seumur hidupnya.....
Belum lagi ia menjadi istri Hambali dahulu, ia sudah hendak mengatur hidupnya.”
Supomo, rekan guru di tempat mengajar Tuti juga
menyukainya. Tapi ia menolak karena tak bisa mencintai Supomo. Di tengah umur
yang semakin bertambah dan belum memiliki pasangan, seperti Maria yang telah
bertunangan dengan Yusuf, tentu menambah kegelisahan hati Tuti, walaupun
perasaan itu tetap dihalaunya. Ia tidak ingin menikah karena terpaksa dan
terdesak usia, apalagi dengan orang yang tak dicintainya.
“Tetapi meski
bagaimana sekalipun ngeri dan sedihnya bunyi jiwa saya meratap dalam kegelapan
dan kesepian ini, satu pasal tetap dan pasti bagi saya: biarlah sepi dan gelap
tidak berharapan serupa ini selama-lamanya daripada saya menipu diri saya,
mendurhaka kepada asas saya dan mempermainkan engkau.”
(Tuti dalam surat balasannya kepada Supomo, halaman 108).
Hal yang juga menjadi sorotan dalam buku ini adalah
jauhnya manusia dari ajaran agama, khususnya pada kalangan muda. Pada masa itu,
kehidupan beragama hanya melekat pada orang-orang desa. Sementara kaum priyayi
mengabaikan soal agama dan banyak dari mereka baru mendalami dan menjalani
ajaran agama saat sudah tua bau tanah, seperti yang terjadi pada Raden Wiriaatmaja.
Begitu juga Yusuf yang tak pernah menjalankan perintah agama.
“Bahwa agama itu
pekerjaan orang yang telah pensiun. Saya pun menanti saya pensiun dahulu, baru
akan sembahyang,” kata Yusuf. (Halaman 29)
“Ya, itulah hakekat yang sebenarnya
pada kebanyakan kaum priyayi atau kaum terpelajar. Agama itu dikerjakan,
apabila tak ada suatu apa lagi yang diharapkan dari hidup ini. Jika sudah
berputus asa akan hidup, barulah mencari agama. Pada agama diredakannya
perasaan takutnya akan mati, yang datang mendekat tiada terelakkan lagi.”
(Halaman 29)
Di buku ini dikritisi pula sikap para pribumi yang
mencontoh gaya hidup Barat atau Eropa dimana warga pribumi lebih suka
mengadopsi hal remeh temeh seperti pakaian, mobil, dan sebagainya daripada
mencontoh kegigihan orang Barat dalam bekerja menggapai cita-cita mereka.
Maria menderita sakit malaria dan TBC. Ia dirawat di
Pacet, rumah sakit perempuan khusus pengidap TBC yang berada di atas bukit.
Akhirnya setelah berbulan-bulan dirawat, Maria meninggal pada usia 22 tahun dan
Yusuf akhirnya menikah dengan Tuti. Akhir kisah dalam buku ini adalah ketika
Tuti bersama Yusuf berziarah ke kubur Maria di Pacet, lima hari sebelum
pernikahan mereka. Tuti dan Yusuf pada saat menengoki Maria sempat tinggal di
rumah Saleh dan Ratna di Sindanglaya, karibnya yang menjadi petani bunga yang
juga sama-sama aktif di Puteri Sedar. Dari kebersamaan saat bolak balik
Sindanglaya-Pacet, tumbuh kedekatan di hati Tuti dan Yusuf. Dan sebagai wasiat
terakhir, Maria meminta Yusuf menikahi kakaknya.
Comments
Post a Comment