Resensi Buku "Perempuan Mimpi-Mimpi" Gabriel Garcia Marquez
This pict was taken by me |
Judul : Perempuan
Mimpi-Mimpi (Kumpulan Cerpen)
Penulis : Gabriel Garcia Marquez
Penerjemah : Mahdi Husin dan IIm I.
Padmanegara
Penerbit : Sumbu
Tahun : 2002
ISBN : 979-96448-9-5
Buku ini adalah buku pertama yang
saya baca di awal 2016. Saya baru membeli buku ini di sebuah toko daring (dalam
jaringan) dan beruntung tidak perlu menunggu bertahun-tahun di lemari langsung
saya baca, tidak seperti buku-buku lain yang saya beli. Dan ini adalah karya
Gabriel Garcia Marquez yang pertama kali saya baca.
Membaca Perempuan Mimpi-Mimpi,
satu hal yang saya suka adalah terjemahannya. Meskipun ada ungkapan atau
istilah-istilah bahasa Spanyol di dalamnya yang tidak dijelaskan apa artinya
sehingga agak membingungkan saya. Seperti misalnya; Bouna sera, giovanoto (p.
80), Mi manda il tenore (p. 80), Mi is gelo il culo (p. 81), dan masih
ada beberapa lainnya.
Buku ini cukup tipis, hanya 91
halaman dan berisi hanya delapan cerpen yaitu Perempuan Mimpi-Mimpi, Margarito,
Hantu Bulan Agustus, Seseorang Telah Merusak Mawar-Mawar, Selasa Waktu Seista, Penyerahan Diri Ketiga, Janda Montiel, dan Malam Burung Hantu.
Hal yang saya tangkap setelah selesai
membacanya adalah kekelaman, sisi gelap yang mendominasi hampir semua cerita. Misterius, tapi tidak menyeramkan namun
menyeret kita ke dalam cerita untuk tahu apa yang sebenarnya terjadi. Latar
tempat atau kota ataupun pedesaan yang ada dalam buku ini juga jauh dari
keriuhan, tapi lebih banyak digambarkan dengan kesunyian. Dan saya menyukainya.
Misalnya ketika seorang perempuan dan anak gadisnya dalam Selasa Waktu Siesta mengunjungi sebuah rumah pendeta untuk meminta
kunci kuburan. Saya menyukai penggambaran tempat-tempat yang dilintasi kereta
ini.
“Di
jalan sempit yang paralel dengan rel terdapat pedati-pedati bermuatan tandan
pisang berwarna hijau. Di luar jalan itu, pada tempat-tempat lapang tak
beraturan, lahannya kosong tanpa tanaman dan berdiri di kantor-kantor berkipas
angin, bangunan-bangunan berwarna merah, dan di antara pohon-pohon palem dan belukar
mawar yang berdebu terdapat rumah-rumah dengan kursi dan meja kecil putih di
teras-teras.”
Hantu
Bulan Agustus bercerita
tentang keluarga yang menginap di sebuah kastil di sudut kota Tuscan yang
terkenal dengan keangkerannya. Satu dari delapan puluhan kamar dalam kastil itu
salah satunya pernah digunakan tiga abad silam oleh Ludovico untuk bercinta
dengan seorang perempuan yang kemudian dibunuhnya dengan sadis. Tapi suami
isteri yang diundang oleh pemilik kastil, Miquel Otero Silva, seorang seniman
kaya raya, tidak mempercayai adanya hal-hal gaib seperti hantu. Konon pada saat
tengah malam, Ludovico akan berjalan-jalan di depan kastil dan berusaha
menemukan kedamaian di dalam tempat penyucian dosa.
Janda
Montiel menceritakan
tentang kehidupan isteri mendiang Jose Montiel setelah ditinggal mati suaminya.
Kesan yang saya tangkap dalam cerita ini adalah begitu sunyi dan penuh
kemalangan. Kondisi politik pada masa lalu dimana banyak orang dibunuh karena
alasan politis juga dimasukkan dalam cerita. Hal itulah yang membuat anak-anak
Montiel enggan pulang ke negaranya karena takut dibunuh.
Dalam Margarito, mengisahkan Margarito Duarte yang adalah seorang bapak
yang hidupnya merana karena selain ditinggal isterinya yang meninggal dunia,
anak gadisnya yang berusia 11 tahun juga meninggal. Dan setelah beberapa tahun
kompleks pemakaman tempat anak dan isterinya dikubur dipindah karena sebuah
pembangunan. Dan ternyata setelah dibongkar, mayat anaknya masih utuh dan ia pun
ingin hal ini mendapat pengakuan dari Vatikan untuk mendapatkan pengesahan
bahwa anaknya adalah santo. Ia pun berjuang selama bertahun-tahun membawa peti
mati yang berisi jenazah anaknya ke Vatikan.
Malam
Burung Hantu. Jujur saja
saya kurang bisa menangkap makna yang ada dalam cerita ini. Surealisme magis.
Bukan realisme magis, sebagaimana yang kerap disematkan kepada tulisan-tulisan Marquez.
Ada tiga orang pria yang terjebak dalam sebuah tempat yang dikelilingi tembok
tinggi. Mereka tidak bisa pulang karena tidak seorang pun yang mau mengantarkan
mereka pulang. Mereka mengatakan bahwa mereka adalah korban dari burung-burung
hantu yang telah mematuki mata mereka.
“Pancaran
mentari terasa begitu gaib, menghangatkan kami. Anehnya tak nampak sama sekali
sinarnya. Kami rasakan pancarannya bertebaran di mana-mana, setelah itu pikiran
kami seolah berjarak dengan waktu dan tujuan. Beberapa suara melesat terdengar.”
Hal yang sama saya dapatkan saat
membaca Perempuan Mimpi-Mimpi. Saya
menangkap nuansa kekelaman dan kesunyian. Saya tenggelam dalam cerita ini dan
membuat saya sedih. Entahlah, mungkin beginilah perasaan yang sedang dirasakan
Gabo saat menulis cerita ini. Perempuan itu disebut sebagai mata seekor anjing
biru (eyes of a blue dog) yang kerap
hadir dalam mimpi atau pun di dekat tokoh aku dalam cerita ini. Perempuan itu selalu hadir walaupun tak pernah
benar-benar nyata.
Penyerahan
Diri Ketiga adalah
cerpen yang paling panjang dalam buku ini, selain Margarito. Saya membaca
cerita ini dua kali untuk bisa memahami maknanya. Hal yang berhasil saya
tangkap adalah mengingatkan kita tentang sebuah kematian. Banyak orang yang mengalami
kematian yang hidup; hidup tapi mati dan mati tapi ada hal yang membuatnya
terus hidup. Tokoh dalam cerita ini adalah seorang anak yang divonis penyakit
sejak usia tujuh tahun dan sejak itu dia hidup dalam sebuah peti mati dan terus
tumbuh sampai usia 25 tahun sampai ia benar-benar menemui kematiannya.
“Kita
akan menyaksikan hidupnya terus tumbuh, dan terus berlanjut hingga mencapai
sebuah bentuk yang normal. Singkatnya, itulah 'sebuah kematian yang hidup'.
Sebuah kematian yang sejati, yang sesungguhnya....”
Seseorang
Telah Merusak Mawar-Mawar
mengisahkan tentang seorang perempuan yang menyayangi bunga mawar yang
ditanamnya di dekat altar. Bunga itu kerap dipetik oleh para peziarah yang akan
datang ke sebuah pekuburan yang ada di atas bukit. Ia selalu menjaga mawar ini
agar tidak dipetik sembarangan. Tapi mawar-mawar yang ditanamnya telah dipetik
dan ia mengira itu adalah ulah angin yang berdesir kencang.
Saya akan kembali membaca
buku-buku penulis Kolombia ini karena saya menyukai cerita-cerita dalam buku ini
walaupun belum mengerti seutuhnya tentang makna dalam kisah-kisah ini. Buku ini
cukup banyak typo-nya. But anyway, I do like it.
Comments
Post a Comment