Resensi Buku "A Man Called Ove"
Judul: A Man Called Ove (En Man Som Heter Ove) - Pria Bernama Ove
Penulis: Fredrik Backman
Penerjemah: Lulu Wijaya
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Rencana mau nonton film yang diadaptasi dari buku ini. Tapi mau baca bukunya dulu sebelum nonton, biar afdol. Hehe
Akhirnya nemu buku ini di koleksi Perpustakaan Nasional dan aku pinjam deh bawa pulang.
Seperti review orang-orang kalau film A Name Called Ove ini sedih, the book as well. Bikin nangis di endingnya.
Sebagaimana judulnya, tokoh sentral dalam buku ini adalah Ove, seorang pria berumur 59 tahun, seorang duda yang ditinggal meninggal istrinya, Sonja. Ove seorang yang sangat-sangat introvert sampai dia dituding orang yang antisosial.
Sonja adalah perempuan kedua setelah ibunya dan satu-satunya dalam hidup Ove. Sonja adalah cinta pertama dan terakhirnya. Sonja diibaratkan sebagai warna yang datang dalam hidup Ove yang kelabu.
"Ove melihat dunia ini hitam dan putih. Tapi gadis itu penuh warna. Satu-satunya warna yang dimiliki Ove."
Sejak kecil Ove dikenal sebagai seorang pendiam, jarang berbicara, tidak punya teman. Tapi dia juga anak yang jujur, pekerja keras, dan gak neko-neko.
Ove sejak kecil yatim piatu. Ibunya meninggal waktu umur 7 tahun. Ayahnya meninggal waktu Ove umur 16 tahun. Sejak saat itu dia hidup sebatang kara, tidak punya keluarga.
"Ove, cuma orang bodoh yang menyangka ukuran dan kekuatan itu sama. Ingat itu." (Ayah Ove)
Bagi tetangga-tetangganya, Ove adalah sosok menyebalkan, pemarah, emosian, antisosial. Tapi tidak bagi pasangan suami istri Parvaneh dan Patrick, yang baru pindah ke kompleks peruamahan di mana Ove tinggal.
Kendati sering diketusi Ove, Parvaneh tidak pernah mengambil hati. Dia selalu menganggap Ove orang baik. Sementara Ove selalu menjaga jarak dengan siapapun.
Ove bermusuhan dengan Rune, tetangganya. Padahal dulu mereka bersahabat. Sonja dan Anita, istri Rune, bersahabat sejak dulu. Ove membenci Rune setelah pria itu mengkudetanya sebagai ketua Asosiasi Warga.
Rune kini sudah tua dan mulai mengidap alzheimer. Anggota dewan kota ingin mengambilnya dari Anita dan dirawat di panti khusus, tapi Anita menolak.
Di balik kesinisan, keangkuhan, dan amarah Ove, ada hal-hal yang tidak dipahami oleh orang-orang sekitarnya. Menurut Ove, hanya Sonja satu-satunya yang memahami dia dan bisa menerimanya. Mungkin bagi orang-orang dia menyebalkan dan tidak asyik, tapi tidak bagi Sonja.
"Kau hanya perlu satu sorot cahaya untuk menghalau seluruh kegelapan."
"Dalam hidup setiap orang, ada waktunya dia memutuskan akan menjadi orang macam apa. Apakah dia akan membiarkan orang lain menindasnya atau tidak."
Ove juga sebenarnya kesepian sejak kematian Sonja. Warna warni kehidupannya telah hilang dan tinggal hanya warna abu-abu bahkan gelap.
Karena itulah dia memutuskan untuk menyusul Sonja, dengan bunuh diri.
Buku ini menggunakan alur maju-mundur. Ada beberapa plot di pertengahan cerita ketika mengikuti upaya Ove untuk bunuh diri, walaupun ujungnya bikin ngakak.
Ada sedih, tawa, lucu, dalam buku ini. Untuk orang yang jadi caregiver, punya ortu lansia yang dirawat di rumah, mungkin ini bisa dibaca untuk memahami kondisi psikis orang tua yang memasuki usia senja.
Ending buku ini bikin nangis. Sedih banget.
"Kematian itu aneh. Orang menjalani seluruh hidup mereka seolah kematian itu tidak ada, padahal sering kali itulah salah satu motivasi terbesar untuk hidup. Beberapa dari kita lambat laun amat menyadari kematian sehingga kita hidup lebih gigih, lebih keras, lebih dahsyat. Beberapa orang butuh terus menerus dikelilingi kematian itu. Yang lain begitu sibuk memikirkan kematian sehingga mereka masuk ke ruang tunggu, jauh sebelum kematian mengumumkan kedatangannya. Kita takut akan kematian, namun yang paling ditakuti sebagian besar dari kita adalah kematian itu akan mengambil seseorang yang bukan diri kita. Sebab ketakutan terbesar akan kematian adalah bahwa kematian itu akan melewati kita. Dan meninggalkan kita sendirian."
If you want a good cry, this is highly recommended!
Jangan lupa baca buku! Xoxo
Comments
Post a Comment