Resensi Buku "Diary of Genocide"

 


Judul: Diary of Genocide; Catatan Pembantaian Palestina 7 Oktober-Desember 2023

Penulis: Atef Abu Saif

Penerbit: Noura


"Perang mengubah kalendermu dalam nuansa bernoda darah."


"Segala sesuatu di sekitar kami mati dan senyap. Hanya ada kawanan gagak dan sesekali anjing tersesat yang mengais-ngais reruntuk. Orang-orang Israel ingin Gaza terlihat seperti ini. Tak bisa dihuni. Seperti neraka."



Akhirnya saya berhasil menyelesaikan buku ini setelah sempat jeda beberapa pekan karena membaca buku ini membutuhkan mental yang kuat dan emosi yang stabil. Membaca buku ini bikin naik darah dan emosi melonjak tinggi karena kebiadaban, kebrutalan, kekejaman, dan keganasan penjajah Israel yang tiada tandingannya.

Penulis buku ini adalah mantan Menteri Kebudayaan Palestina di bawah Otoritas Palestina yang tinggal di Ramallah, Tepi Barat. Dia terjebak operasi genosida Israel saat berkunjung ke Jalur Gaza beberapa hari setelah perang pecah untuk menghadiri suatu acara. Atef ditemani putranya yang berumur 15 tahun, Yasser.

Atef sebenarnya orang Gaza. Orang tuanya dan mertuanya serta keluarga besarnya tinggal di Gaza. Sebagaimana judulnya, buku ini berisi catatan Atef tentang apa yang dialami dan disaksikannya langsung di Gaza sejak 7 Oktober 2023, hari pertama Israel memulai serangannya yang mematikan. Dia secara rutin menuliskan catatan harian selama 85 hari. Catatan harian itu berakhir ketika akhirnya dia berhasil keluar dari Gaza pada 30 Desember, melewati perbatasan di Rafah menuju Mesir.

Kendati buku ini dipenuhi kengerian, penderitaan dan ketidakpastian, tapi tidak saya temukan kisah keputusasaan. Ya wajar memang ada yang mengeluh akan keadaan yang mereka hadapi namun selalu disertai sikap husnudzon bahwa Allah menguji mereka dengan cobaan yang sangat besar tentu selalu ada hikmah di baliknya dan ganjaran besar, sehingga saya melihat bahwa orang-orang Gaza ini sangat kuat dan besar sekali sikap tawakkalnya kepada Allah. Saya yang manusia sering mengeluh dan kadang sedikit sekali bersyukur ini jadi tertampar.

Sejak dari kata pengantar, buku ini sudah bikin saya merinding. Salah satunya begini: Mereka menyingkap dusta. Mereka mengutuk para pembunuh, bahkan dari alam kubur. Karena itulah, Israel membunuh sedikitnya 13 penyair dan penulis Palestina beserta sekurangnya 681 jurnalis di Gaza sejak 7 Oktober.

Israel tidak pandang bulu, mereka membunuh siapa atau apa saja yang bergerak. Tidak peduli itu anak-anak, lansia, orang berkebutuhan khusus, perempuan. Sampai saat ini, mereka telah membunuh lebih dari 45.000 warga sipil di Gaza dalam setahun terakhir, sebagian besar anak-anak dan perempuan, menurut data Kementerian Kesehatan Gaza, seperti dilaporkan Quds News Network. Israel juga mengebom sekolah, masjid, gereja, kamp pengungsi, seolah-olah tempat-tempat publik itu adalah arena bermain dan tempat uji ketangkasan, tak peduli itu adalah sarana sipil dan banyak manusia tinggal di sana.

"Pada titik ini, perang, entah bagaimana, sudah menjadi kenormalan. Pada awalnya, kau menghitung setiap serangan dan mencoba mencari tahu di mana setiap serangan dijatuhkan. Namun, setelah beberapa hari, kau berhenti menghitung."

"Namun, dalam setiap gempuran, kenangan tersebar bersama puing-puing, reruntuhan, dan pecahan artileri; sejarah sedang dihapuskan. Dan bersama setiap bunyi sirene ambulans, harapan seseorang pun pupus."

"Naluri tentara Israel tampaknya adalah membunuh sebanyak mungkin manusia. Jumlah korban tewas tidak penting, yang penting Gaza mati. Bagi mereka, kami cuma angka, dan ketika kau berubah menjadi angka, tidak masalah apakah itu 10 atau 10.000. Toh, itu cuma angka. Dunia tetap diam, kecuali beberapa aksi demonstrasi di kota-kota besar dan beberapa ibu kota. Namun, orang Israel tidak peduli dengan demonstrasi."

Dalam kesehariannya di Gaza, Atef tidak hanya berusaha untuk bertahan hidup, tapi juga bagaimana menyemangati orang-orang sekitarnya agar tetap berusaha bertahan hidup di tengah situasi yang sangat buruk dan tidak pasti. Makanan, air yang terbatas, sinyal komunikasi yang buruk, harga kebutuhan yang melonjak puluhan kali lipat, orang-orang yang berpindah dari satu pengungsian ke pengungsian lain agar tetap hidup. Dia juga ikut membantu evakuasi warga yang terjebak di bawah reruntuhan dan bahkan dia juga kehilangan saudara iparnya sekeluarga yang mayatnya tidak juga dapat dievakuasi dari balik reruntuhan.

Dia juga mengkritik kebungkaman dunia atas kekejaman tersebut, di mana tidak ada pihak yang bisa menghentikan kekejaman Israel.

"Berapa banyak dari kami dari kami yang perlu mati sebelum dunia bangkit dari tidurnya?"

"Hidup kami hanyalah siklus pengeboman, penembakan, kehancuran, dan kematian yang tiada akhir."

"Saat ini, kematian pun merupakan hal normal. Angka-angka tersebut seharusnya membuat dunia ngeri, seharusnya dunia terkejut. Sebagai gantinya, semua normal saja. Dan, tidak ada yang mengatakan apa pun."

Sebenarnya semua hal yang diungkap dalam buku ini menyakitkan, tapi salah satu yang membuat hati saya teriris perih adalah kisah warga Gaza menuliskan nama mereka di tangan serta kaki, dengan pena atau spidol permanen, sehingga jenazah mereka dapat diidentifikasi setelah hancur berkeping-keping. Atef mengatakan ini memang mengerikan tapi masuk akal karena cara berpikir yang logis tentang kematian adalah berpikir seperti orang mati.

"Sebagai manusia, kami ingin dikenang; kami ingin kisah kami diceritakan, kami ingin yakin bahwa apa pun alasan kami meninggal atau apa pun justifikasi yang para pembunuh pikirkan mereka miliki, kematian kami akan tetap bermartabat. Setidaknya, ada nama di pusara kami," tulisnya.

Hal yang juga membuat saya sangat sedih adalah kisah penulis bernama Hani Al-Salmi yang terpaksa membakar 200 buku koleksinya karena tidak ada kayu bakar untuk memasak dan membuat roti. "Anak-anakku butuh roti. Apa gunanya buku jika membiarkan mereka mati kelaparan?" 😭😭😭

Atef juga pernah dipenjara oleh Israel karena ikut dalam intifada pertama tahun 1987 ketika dia berumur 14 tahun. Kala itu, dia menyaksikan banyak temannya terbunuh dan dia pun ikut melempar tentara Israel dengan batu.

Ada juga kisah yang membuat saya tertawa sekaligus sedih ketika Atef mendatangi tukang cukur. Dia meminta tukang cukur agar tidak mencukup janggutnya karena janggut itu akan dicukur jika perang berakhir. Balasan tukang cukur itu membuat saya tertawa: Jadi Anda akan memanjangkannya sampai ke lutut?

Selama 85 hari di Gaza, Atef beberapa kali berpindah tempat tinggal untuk mengungsi. Dia sebelumnya tinggal di wilayah utara, namun karena wilayah utara sangat berbahaya, dia pindah ke Rafah bersama Yasser dan mertuanya. Sementara ayahnya dan ibu tirinya tetap tinggal di Jabalia, Gaza utara.

Rumah masa kecil Atef di Gaza utara juga hancur dibom Israel. Kekejaman Israel juga merenggut nyawa kakaknya beberapa tahun sebelumnya. Kakaknya, Naeem, pernah ditangkap dan dipenjara Israel. Setelah bebas dari penjara, Naeem dibunuh tentara Israel.


"Masa depan memang terus mengkhianati kami, tapi masa lalu adalah milik kami."


Buku ini memang bernuansa kengerian, membawa kita ke dalam terowongan panjang penderitaan yang sangat gelap. Tapi saya melihat cahaya kehidupan yang tetap menyala, ada kekuatan, ketabahan, keberserahan diri yang sangat tinggi dan tak tertandingi. Buku ini kendati penuh kabar kematian, tapi juga mewartakan harapan bahwa hari gelap akan berganti terang.

"Matahari berjanji untuk terbit dan memberi kami kehangatan. Dalam hal menjaga harapan tetap hidup, hanya itu yang kami miliki untuk terus melanjutkan."

Kendati dikelilingi kegelapan, namun selalu ada harapan cahaya akan muncul entah dari secercah lubang yang mana.

"Setiap hari ada kabar buruk, dan setiap hari aku memandang masa depan bagaikan orang buta yang menatap ke dalam malam."

Ketika Atef berhasil keluar dari Gaza, pikiran dan hatinya tetap di Gaza. Dia sejenak bisa lega karena bisa menghirup udara kebebaan dan terlepas dari kengerian, namun di satu sisi dia merasa bersalah karena harus meninggalkan ayahnya, mertuanya, saudaranya, sahabatnya dan rekan-rekannya di sana dan apakah akan ada kesempatan mereka akan bertemu lagi itu tidak pasti. Di bagian inilah saya merasakan kegetiran itu dan tak kuasa menahan tangis.

"Itulah dilema orang yang terusir. Kau menderita jika kau tetap tinggal. Kau menderita jika pergi."

Setelah membaca buku ini, saya berjanji akan tetap menulis tentang isu genosida di Gaza. Saya tidak ingin bungkam. Saya tidak ingin hanya menyaksikan kekejaman itu lalu diam saja. Alhamdulillah saya punya privilege untuk itu, menulis isu ini setiap hari di media tempat saya kerja dan kebetulan saya bertugas menulis isu-isu internasional. Kalau pun memang tulisan saya tidak bisa menghentikan perang, setidaknya saya berusaha ikut mendokumentasikan sejarah kelam ini agar orang yang membacanya bisa memahami isu ini dan paham dengan apa yang sedang terjadi.

From the river to the sea, Palestine will be free!

Comments

Popular Posts