Resensi Buku - Puisi yang Mengingatkanku Pada Anak-Anak Gaza

 


Judul: The Poems of Rowan Williams

Penulis: Rowan Williams

Penerbit: Carcanet Press

Tahun: 2014 (e-book edition)


Sebulan terakhir saya kangen banget baca buku puisi dan memilih beberapa buku puisi dalam daftar bacaanku, salah satunya buku ini.

Buku ini ditulis mantan Uskup Agung Canterbury dan kaget ternyata seorang uskup juga menulis puisi. Karena itulah puisi ini sangat mengisahkan beberapa tempat suci umat Katolik yang pernah dikunjungi penulis.

Rowan Williams lahir tahun 1950. Dia merupakan Uskup Agung Canterbury ke-104, dari 2002–2012. Tak hanya seorang pemimpin agama, dia juga seorang akademisi yang pernah mengajar di Universitas Cambridge dan Oxford.

Buku ini merupakan gabungan dari karya-karya Williams yang pernah diterbitkan sebelumnya yaitu After Silent Centuries (1994) dan Remembering Jerusalem (2001), juga puisi-puisi terbarunya yang khusus diterbitkan dalam buku ini. Selain karya sendiri, Williams juga memasukkan puisi karya sejumlah penulis seperti Rainer Maria Rilke dan Waldo Williams (penyair Welsh) yang dia terjemahkan sendiri.

Sebagaimana puisi yang memang sulit dipahami, ya begitu juga dengan banyak puisi di dalam buku ini. Apalagi ini ditulis dalam bahasa Inggris di mana kemampuan bahasa Inggris saya pas-pasan haha. Tapi ya prinsip saya, tetap lanjut membaca, di tengah jalan atau di akhir nanti pasti ada saja hal-hal seru yang bakal saya temukan. Dan ya saya memang menikmatinya.

Dalam bab "Remembering Jerusalem", Williams membagikan pengalamannya berziarah ke tempat suci tersebut. Yerusalem tidak hanya situs penting bagi umat Islam, tapi juga Kristen dan Yahudi. Salah satu puisi yang saya suka dalam bab ini berjudul "Jerusalem Limestone", seakan-akan ikut membawa saya menyusuri jalanan dan bangunan bersejarah di kota tersebut.

Salah satu puisinya, Twelfth Night (bukan di bab Remembering Jerusalem) mengingatkan saya pada penderitaan anak-anak di Jalur Gaza, tempat yang tidak terlalu jauh dari Yerusalem, yang menjadi korban kebrutalan Israel. Puisi ini memang tidak ditulis untuk anak-anak Palestina di Gaza, tapi apa yang dikisahkan dalam puisi ini membawa pikiran saya ke sana.

Where has the child gone?
is the watched sky a single cenotaph for dead simplicity,
the stars a moss-grown requiescat
in half-remembered alphabets?

And we, conscripted mourners for the funeral,
hands full of soil, left sleepless
with the small corpse, until grey dawn
summons us out?

And we, the prisoners of a narrative
of deaths and soiling, heavy as the world,
of stale and endless air, of age,
scents of senility?

The child says, True, this market does not sell
forgetfulness. In a still pool
I hold a glass to all your storms,
to all your eyes.

The child says, True, for nothing is undone
beyond the stars, the tree that grows tonight
is hung with all the lives of men and women,
all your deaths.

You still are children, innocence not gone,
what memories of yours are worth the name?
where were you when the world’s foundations
set in children’s blood?


Menurut saya puisi tersebut sangat relatable dengan apa yang sekarang terjadi di Gaza. Dari sekitar 45.000 korban tewas genosida Israel di Gaza dalam 1 tahun lebih, sebagian besar anak-anak dan perempuan. Jika ada anak-anak yang selamat, banyak dari mereka kehilangan anggota tubuh seperti tangan dan kaki dan cacat seumur hidup.

Perang masih berlangsung dan tidak ada yang bisa menghentikan kekejaman tersebut. Anehnya, melihat orang dibunuh dengan semena-mena di belahan dunia lain, kebanyakan manusia tidak peduli dan sebegitu tidak berharganyakah nyawa sesama manusia lainnya? Kadang saya sampai pada satu titik di mana saya merasa hopeless dan benci dengan dunia. Bumi, di mana dunia yang kita hidupi ini berada, beserta isinya memang teks yang sulit dibaca, seperti kata Williams dalam puisinya Die Bibelforscher; For the Protestant martyrs of the Third Reich

"Earth is a hard text to read;
but the king has put his message in our hands,
for us to carry sweating,
whether the trumpets of his court
sound near or far."

Saya beri tiga bintang untuk buku ini di Goodreads. Saya suka dan menikmati cara penulisannya but i think it's not that compelling.

Membaca buku puisi adalah salah satu cara melatih konsentrasi dan reading comprehension. More than that, reading poetry soothes your heart and soul.

More poetry books in 2025! Xoxo!



Comments

Popular Posts