Resensi Buku "From Beirut to Jerusalem"

 


Penulis: Thomas L. Friedman

Bahasa: Inggris

Tahun: 1989

Penerbit: Farrar, Straus & Giroux


"It was in this bizarre city, caught between a Mercedes and a Kalashnikov, that my journey began."


Ini salah satu buku tentang Palestina yang saya baca di 2025. Buku ini sudah terbit cukup lama, ketika Palestina masih dipimpin Yasser Arafat. Jadi tidak terkait dengan genosida yang berlangsung di Gaza, tapi selalu ada benang merahnya karena penjajahan dan kekejaman Israel di wilayah itu masih berlangsung sampai saat ini.

Thomas L. Friedman adalah seorang Yahudi, yang bertugas sebagai reporter dan juga kepala biro The New York Times di Beirut, Lebanon. Beberapa tahun kemudian, dia dipindah ke Yerusalem, Palestina (tapi dia menyebutnya sebagai Israel, gue mah ogah dah hehe). Dalam buku ini, Tom berusaha untuk netral dan seimbang, kendati tetap mengakui ada pendudukan Israel.

Membaca pengalaman Thomas saat bertugas di Beirut itu sangat seru dan terkadang cukup menegangkan karena wilayah tersebut kerap ada serangan bom. Dia berada di Lebanon ketika pasukan Phalangist yang didukung Israel membantai para pengungsi Palestina di kamp Sabra dan Shatila, salah satu kekejaman paling berdarah dalam sejarah. Tak jarang Thomas juga harus berhadapan dengan kondisi membahayakan di mana hotel tempat tinggalnya pernah juga menjadi sasaran bom.

Baginya, liputan di Beirut itu sangat sulit, apalagi ketika harus meminta konfirmasi dari pihak berwenang. Karena, jelasnya, tidak ada pusat pemerintahan yang hadir secara fisik (bangunan) maupun secara politis karena ketika itu tidak ada pemerintahan koalisi yang berfungsi, tidak ada badan otoritas yang bisa dijadikan narasumber bagi para jurnalis. Kata dia, "It was a city without “officials.”

"Beirut was the ideal place to practice journalism, in other ways the most frustrating, but in all ways it was unforgettable."

Salah satu hal lucu menurutnya, orang-orang Lebanon itu, khususnya di Beirut, cuek ketika ada peristiwa seperti serangan bom. Kehebohan hanya sebentar, lalu mereka tetap melanjutkan hidup seperti biasa.

"Even in their darkest moments, and maybe because of them, the Lebanese never forget how to laugh."

Pada 1 Juni 1984, dia pindah ke Palestina. Mengendarai taksi dari Beirut menuju Yerusalem. Thomas mengungkapkan dalam buku ini, banyak orang Israel menolak keberadaan negara Palestina yang sah di wilayah yang mereka rampok itu (rampok ini bahasa saya, bukan penulis). Mereka memandang orang Palestina itu sebagai orang Arab yang menyebar dari Maroko sampai Irak, dan tidak memiliki keterkaitan secara kultural, sejarah, dan etnis dengan tanah Palestina. Ini merupakan mitos yang berkembang di kalangan para Zionis sejak berpuluh-puluh tahun. Pada awal abad 20, mitos inilah yang digunakan untuk meyakinkan warga Yahudi di berbagai negara seperti Rusia, Afrika Selatan, Inggris, Amerika Serikat, dan lain-lain, agar mereka mau meninggalkan rumah mereka untuk kemudian pindah ke Palestina.

Thomas juga menyaksikan Intifada pertama pada akhir 1987. Intifada merupakan gerakan perlawan terhadap penjajah Israel menggunakan batu. Menurut Thomas, gerakan Intifada membuat rakyat Palestina semakin bersatu dan semua kelompok baik fundamentalis, sekuler, Kristen, merasa memiliki musuh bersama dan bangkit melawan penjajah. Intifada memperkuat solidaritas rakyat Palestina. Salah satu nyanyian yang disenandungkan selama masa Intifada ini berbunyi, "Jangan takut, jangan takut, batu telah menjadi Kalashnikov".

"The unity and courage Palestinians demonstrated in challenging fully armed Israeli soldiers with stones gave the West Bankers and Gazans a sense of dignity and self-worth that they had never previously enjoyed."

"Moreover, the West Bankers and Gazans were no longer whining about this or that Israeli arrest or house demolition; they were going out and literally daring the Israelis to arrest them, or shoot them, by the hundreds. They were no longer waiting for others to save them; rather, they were taking responsibility for saving themselves—not as individuals, but as a community."

Gue ngakak banget pas cerita seorang jenderal Israel kalah sama bocah-bocah Palestina. Jadi si penulis dengan cerita dari kameramen CNN, pada Februari 1988, seorang jenderal Israel mendatangi desa Halhul di Tepi Barat untuk menginspeksi anak buahnya yang sedang mengawasi apa yang disebutnya sebagai "riot" atau kerusuhan. Terus muncul lah sekumpulan bocah Palestina dengan ikat kepala keffiyeh membawa ketapel dan salah satu bocah pemberani menembakkanya ke jenderal ini tapi gak kena. Si jenderal ini marah lalu mengejar si bocah ini sendiri. Tapi si bocah hapal desa itu dan tahu jalan-jalan tikus jadi si jenderal gagal mengejarnya dan terjebak di jalan buntu. Lalu dari jarak 15 meter, muncul lagi bocah-bocah yang meneriakkan "Palestina, Palestina" ke jenderal tersebut. Si jenderal ini mengamati ternyata bocah-bocah ini belum masuk usia remaja dan berusia sekitar 12 tahun. Lalu kata kameramen bernama Ze'ev Posner ini, "He (the general) didn’t know what to do. So he just started waving his Motorola walkie-talkie at them and shouting, ‘Go home! Go home! What are you doing here? Go home!’ It was all he could do.” Hahahahah anjay seorang jenderal kalah ma bocah.

Ada hal yang sangat menyedihkan yang dikisahkan dalam buku ini di antara kisah menyedihkan lainnya. Orang Palestina menempelkan poster pemandangan indah dari berbagai negara di rumah mereka sebagai pelipur lara. Hal yang sama juga dilakukan di sekolah dan kampus. Seorang dekan di salah satu kampus di Palestina bernama Atif Radwan yang diwawancarai Thomas mengatakan, mereka melakukan hal itu karena pihaknya ingin memberikan kompensasi kepada para mahasiswanya karena selama ini mereka dikelilingi pemandangan menyedihkan sepanjang hari.

"It is important that when they eat they see something beautiful," kata Radwan.

"Murals of Waikiki or Swiss mountain panoramas can be found almost as frequently as Koranic verses in Palestinian homes in the West Bank. These calendar scenes always struck me as substitute windows on the world for Palestinians; since the Israeli world enveloping them only left them feeling like strangers in their own land, they imported their own panoramas—with landscapes empty of Jews, unthreatening, soothing, and, most important, mute. For the Israeli shadow that followed Palestinians wherever they went was a shadow with a voice, and the voice kept whispering in every Palestinian’s ear, “It’s not yours. Palestine is not yours. It’s ours.”"


Kadang menurutku penulis agak bias ya terhadap isu Palestina-Israel, ya mungkin karena penulis ini seorang Yahudi Amerika. Pada bagian ketika dia datang ke rumah sakit di Gaza dan mewawancarai ibu hamil, seorang perawat protes ke dia kenapa pemberitaan media Barat tuh bias terhadap Palestina, seperti kita ketahui kan media Barat banyak yang menjadi bagian program Hasbara Israel. Tapi si penulis malah jawabnya gini:

“Where are you from?” the nurse asked, with an arched eyebrow.
“I’m from America,” I answered.
“Well, then can you tell me something?” she continued. 
“Why is it that when the Germans were killing the Jews everyone screamed, but when we are being killed by Israelis, the world calls us killers?”
The nurse’s question was clearly spoken out of a deep psychic wound, a grievance that she herself had been nursing for a long time. Who could blame her? As I stood there, one hand on the new mother’s bed railing and the other gripping my clipboard, I wanted to explain to her that the difference in treatment had nothing to do with the Israeli cause being somehow morally superior to that of the Palestinians and that it also had nothing to do with any conspiracy in the media. It had to do with the fact that the Palestinians simply are not part of the biblical super story through which the West looks at the world, and it is the super story that determines whose experiences get interpreted and whose don’t, whose pain is felt and whose is ignored. That is why when it comes to winning the sympathies of the West the Palestinians can never quite compete with the Jews, no matter how hard they try and no matter how much they suffer.

Padahal ya jelas pemberitaan bias itu has to do with conspiracy yang bela Israel wkwkwk.

Penulis juga kerap menyebut tahun 1948 sebagai kemerdekaan Israel dan tak pernah menyinggung pengusiran hampir 1 juta rakyat Palestina dari tanah air mereka setelah pendirian negara Israel. Merdeka dari siapa? Wkwkwkwk. Pathetic!

Buku ini masih terbilang netral dibanding buku propaganda Yahudi sebelumnya yang saya baca haha. Buku yang saya benci banget tapi tetap saya baca. Mungkin penulis (Thomas) berusaha untuk terlihat netral dan tidak bias mengingat profesinya sebagai jurnalis yang harus seimbang. Entahlah. Tapi lumayan lah buku ini memberikan kita pengetahuan tentang dinamika yang sedang berkembang pada masa sebelum saya lahir ke dunia.

Last but not least, free Palestine!

Comments

Popular Posts