Resensi Buku "Sutan Takdir Alisjahbana 1908-1994"
Judul: S. Takdir Alisjahbana 1908-1994; Perjuangan Kebudayaan Indonesia
Penyusun Naskah: Muhammad Fauzi
Penerbit: Dian Rakyat
Tahun: 2011 (Cetakan Kedua)
"Teman-teman saya cuma tukang buah dan toko buku." (STA)
Saya mengenal Sutan Takdir Alisjahbana sebagai seorang sastrawan. Layar Terkembang adalah salah satu karya beliau yang menjadi favoritku dan menurutku salah satu karya sastra klasik Indonesia yang wajib dibaca sebelum mati. Pemikiran beliau yang tertuang dalam buku itu melampaui zamannya. Ketika buku itu ditulis, gerakan feminisme mungkin belum populer di Indonesia, tapi tulisan beliau telah mengusung perjuangan kaum feminis dan bagaimana perempuan harus mandiri dan tidak menggantungkan hidupnya pada laki-laki.
Saya menemukan buku ini sudah sangat lama dan waktu itu saya beli di toko buku di Epicentrum Mall Mataram tapi baru saya baca di 2025 hehe. Buku ini memperkenalkan kita tentang siapa sosok seorang Sutan Takdir Alisjahbana atau STA. Dan ternyata STA adalah ayah dari pendiri Femina Group, Sofjan Alisjahbana atau mertua dari ibu Pia Alisjahbana yang menjadi pimpinan perusahaan media tersebut. Nama ibu Pia gak asing bagi saya karena sering membaca nama beliau di majalah Gadis, Femina, Seventeen, majalah yang menemani masa remajaku dulu.
STA lahir di Natal, daerah di Sumatera Barat pada 11 Februari 1908. Dia anak kedua dari lebih dari 10 bersaudara, dari pasangan Raden Alisjahbana dan Poetri Samiah. STA atau biasa dipanggil Takdir, punya hubungan keluarga dengan Soetan Sjahrir. Mereka adalah keturunan Soetan Kabidoen, putra raja ketujuh Kerajaan Natal, Toeankoe Besar Si Intan. Nenek STA, Poeti Malelo, dan nenek Soetan Sjahrir, Poeti Djauhar Malligan, adalah kakak beradik putri Soetan Kabidoen.
Raden Alisjahbana pernah akrab dengan Soekarno ketika ia dibuang pemerintah kolonial ke Bengkulu pada 1938. Ayah STA berprofesi sebagai kepala sekolah dan STA mengikuti jejak ayahnya sebagai seorang guru setelah lulus dari Kweekshcool (sekolah guru) pada 1928. Dia juga aktif dalam gerakan pemuda sejak masih sekolah, menjadi ketua Jong Sumatranen Bond.
Karya pertamanya, Tak Poetoes Diroendoeng Malang pertama kali diterbitkan pada 1929 oleh Balai Pustaka. Penulisan naskah ini sempat terhenti ketika ibunya meninggal pada 1928. Ketika menjadi guru di Palembang, STA menulis novel Dian jang Tak Koendjoeng Padam, terinspirasi seorang gadis yang menjadi tetangganya.
Novel favorit saya, Layar Terkembang, diselesaikan pada 1937. Novel ini dikembangkan dari sebuah cerita pendek. Achdiat Kartamihardja menilai roman ini bukan sekadar karya berbentuk dan bergaya sastra, tapi berisi idealisme untuk mengangkat perempuan dalam kaitannya dengan emansipasi bangsa, serta merupakan uraian ide dan pandangan Takdir tentang perempuan.
Buku ini mengungkap bahwa STA seorang yang sangat condong dengan Barat dan mengusulkan bangsa Indonesia harus berkiblat ke Barat dan melakukan modernisasi. Menurut Takdir, bangsa Indonesia harus mengubah sejarahnya karena sejarah yang membuat kita dijajah. Karena gagasan inilah dia dituduh tidak nasionalis dan banyak mendapat kritik, yang kemudian menjadi debat publik terbuka dan dikenal dengan Polemik Kebudayaan.
STA adalah salah satu tokoh yang mendirikan majalah Poedjangga Baroe, yang kemudian berhenti terbit pada masa pendudukan Jepang. Pada 1944, Takdir juga sempat dipenjara penjajah Jepang karena menulis sebuah manifesto berisi pedoman perjuangan mencapai Indonesia yang demokratis. Dia dibawa ke penjara Tanah Abang dan dimasukkan ke sel sempit berukuran 2 meter yang penuh kutu busuk.
Penerbit Dian Rakyat awalnya bernama Poestaka Rakjat. Sebagian besar majalah pada masa itu dicetak di sini, termasuk buku-buku dari penerbit lain. Femina dan Gadis, majalah yang kubaca sejak dulu, juga dicetak di sini. Percetakan ini dipimpin Sofjan Alisjahbana, putra STA. Majalah Gadis dan Femina di bawah Femina Group di kemudian hari dipimpin Pia Alisjahbana, istri dari Sofjan. Nama Bu Pia tak asing bagi saya karena sering baca nama beliau saat membaca majalah terbitan Femina Group.
Anak-anaknya Pak STA ini keren-keren sih. Bahkan salah satu putrinya, putri sulung dari istri pertamanya, Samiati, bekerjan untuk Profesor John M. Echols saat menyusun kamus Bahasa Inggris-Indonesia, kamus yang sangat terkenal dan ikonik itu.
Hal yang saya salut dari Pak STA adalah semangat belajarnya yang sangat tinggi. Beliau selalu tertarik untuk menggali pengetahuan dan membongkar esensinya. Beliau sibuk membaca, menulis, dan berdiskusi. Mereka juga memimpin Jurusan Bahasa Melayu di Universitas Malaya. Selain sebagai ahli bahasa, STA juga memiliki minat besar terhadap ideologi dan mitos. Baginya, mitos berasal dari suasana agama, sedangkan ideologi dari suasana kehidupan modern yang rasional. Mitos adalah semacam ideologi. Mitos adalah ideologi dalam suasana kepercayaan dan perasaan keagamaan. Logika di sini adakah logika mistis. Sedangkan logika ideologi adalah logika ilmu pengetahuan.
Takdir sempat dituduh berpihak pada Malaysia saat terjadi konfrontasi dengan Indonesia pada 1960-an, mengingat pada saat itu STA tinggal dan mengajar di Malaysia. Pemerintah Indonesia kemudian menyita sejumlah asetnya, termasuk percetakannya. Akhirnya perusahaan bisa kembali ke tangan keluarga STA setelah besannya, Ny. Soerjomihardjo (ibu dari Soepia Alisjahbana) bernegosiasi dengan Bung Karno di Istana Bogor. Bahkan anak Pia dan Sofjan, Svida Sekar Piarini merupakan nama pemberian Bung Karno.
Karena beliau sama seperti saya, suka membaca buku dan makan buah, semoga kecerdasan beliau menular hehe. STA sangat menyukai buah karena menurutnya buah adalah kue buatan Tuhan.
STA meninggal di Rumah Sakit Jantung Harapan Kita Jakarta pada hari Minggu, 17 Juli 1994 dan dimakamkan di rumahnya di Tugu, Bogor.
Buku ini membawa kita benar-benar mengenal sosok STA dan pemikiran-pemikiran beliau yang melampaui zamannya dan bahkan ada pemikiran yang terkesan utopis, seperti ingin dunia ini punya satu bahasa saja. Sayang buku ini tuh banyak typonya.
Anyway, terima kasih banyak Pak Takdir, karena sering membaca majalah Gadis, Seventeen, Femina sejak kecil dulu saya jadi bisa menulis sedikit dan membawa saya ke profesi jurnalis. Semoga itu tercatat sebagai amal jariyah buat bapak.


Comments
Post a Comment