Resensi Buku "Niskala"
Judul :
Niskala
Penulis :
Daniel Mahendra
Penyunting :
Indradya SP
Penerbit :
Qanita
Tahun :
2013
Halaman :
388
ISBN :
978-602-9225-86-0
Semua dan segala sesuatu yang sudah,
sedang, dan akan terjadi selalu menyimpan alasan tertentu bagi kehidupan.
(Halaman 61)
Niskala
adalah buku kedua Daniel Mahendra yang aku baca setelah Perjalanan ke AtapDunia. Latar tempat di novel ini juga berlokasi di Tibet, khususnya Everest Base
Camp.
Niskala
mengisahkan tentang Galang, seorang penulis yang memutuskan untuk merandai
negara impian untuk memenuhi janjinya kepada sang kekasih, Sanggita yang batal
dinikahinya. Perjalanan yang dilakukan Galang juga dalam rangka mengobati
kegalauan hatinya karena Sanggita mengalami amnesia parsial akibat abses otak
pascakecelakaan. Padahal sebelumnya pernikahan mereka telah ada di depan mata.
Tapi siapa yang bisa menduga, rencana Tuhan berkata lain.
Walaupun
sub judul buku ini disebutkan “Kisah tentang Cinta, Keyakinan dan Perjalanan
Keliling Dunia”, tapi kisah yang paling banyak dieksplorasi adalah kisah
percintaan Galang dan Sangggita, mulai dari proses perkenalan, kedekatan,
sampai akhirnya mereka memutuskan untuk melangkah ke gerbang pernikahan. Bagian
perjalanan keliling dunianya tidak banyak dibahas, menurutku hanya sebagai
pelengkap saja. Khususnya di bab awal dan terakhir, pada saat Galang berada di
Everest Base Camp bersama beberapa pejalan dari berbagai negara seperti Juan
(Kolombia), Joshua (Israel), Eva (Denmark), Erick (Prancis), Tan (Malaysia),
dan Dan (Kanada).
Galang
berkenalan dengan Sanggita pada saat acara peluncuran bukunya berjudul Epitaph.
Sejak pertemuan pertama itu, Galang menyukai Sanggita. Sanggita digambarkan
sebagai perempuan yang sederhana, cerdas, membumi, dan pecinta buku. Tak
disangka sebelumnya ternyata Sanggita juga seorang dosen di University of Stuttgart,
Jerman, disamping juga dosen tamu di beberapa negara Asia. Itulah yang menambah
kekaguman Galang pada Sanggita. Meski memiliki karier yang cemerlang, di
Indonesia, Sanggita juga dosen di Universitas Indonesia, ia tetap sederhana dan
beda dari perempuan umumnya.
Sanggita
berasal dari keluarga yang menganut sebuah aliran Sahitya. Disebutkan di buku
ini, Sahitya adalah sebuah aliran dalam agama Islam. Saya sempat googling apa
itu Sahitya, tapi nggak nemu, mungkin itu cuma rekaan di novel ini. Tapi ternyata
yang mengagetkan Galang, Sanggita adalah seorang agnostik, dia tetap percaya
eksistensi Tuhan, tapi tidak melakukan ibadah atau ritual yang diajarkan agama
manapun. Hubungan Galang dan Sanggita tak disetujui orang tua Sanggita.
Sanggita hanya diizinkan menikah dengan laki-laki yang berasal dari golongan Sahitya. Disinilah hubungan
mereka diuji.
“Tak ada cinta yang tak konyol. Setiap
orang yang jatuh cinta, selalu terjerembab ke dalam kekonyolan. Tetapi itulah
satu-satunya pertanda bahwa ia masih pantas disebut manusia.”
(Halaman 162)
Surprisingly, latar
tempat novel ini tak hanya Jakarta, Bandung, dan Tibet, tapi juga Lombok lho. Pada saat Galang bimbang dan
bingung dengan kelanjutan hubungannya dengan Sanggita, ia datang ke Lombok dan
mendaki Rinjani sekaligus memotret ritual Mulang Pekelem di Danau Segara Anak
yang merupakan ritual tahunan umat Hindu. Galang mendaki Rinjani bersama
rombongan bule yang merupakan tamu dari trekking organizer temannya, Ganes.
Mereka menaiki Rinjani melalui pintu masuk Senaru. Pendakian singkat ini juga
diwarnai cinta lokasi antara Galang dengan cewek Prancis, Blendine. Cinta
lokasi di tengah perjalanan disebut Blendine sebagai “Romantika perjalanan di
kala kesepian.” Ada dua bab dalam buku ini yang menjadikan Lombok, Rinjani
khususnya sebagai latar tempat yaitu Pranama dan Wisapaha.
Buku
ini diceritakan dengan plot campuran, dimana kisah dimulai ketika Galang
bercerita kepada Juan pada saat di Everest Base Camp alasannya melakukan
perjalanan atau flash back kisah
Galang-Sanggita (Bab Pawana). Bab penutup (Wasana) adalah pada saat Galang usai
bercerita dan berpisah dengan Juan bersama rekan perjalanan lainnya setelah
turun dari Everest Base Camp dan masing-masing mereka melanjutkan perjalanan ke
negara lain dan ada yang kembali ke negara asal.
Sama
seperti buku Daniel Mahendra sebelumnya, di buku ini aku banyak menemukan
kosakata baru. Pada saat membaca buku ini
beberapa kali aku harus bolak balik buka KBBI. Misalnya seperti kata bumantara (awang-awang), pagan (kuat, teguh, kukuh), jumantara (langit, udara), takrif (pemberitahuan, pernyataan), raksi (wangi), berkecandan (bersenda gurau), nyenyat
(sunyi, senyap, hening), mencelat
(terpelanting jauh), macis (korek
api), ripuh (repot), sekubit (sedikit sekali), lemau (lunak), dan lenyai (lemah, kendur, lembek). Bab di buku ini juga dinamai
dengan kata dari bahasa Sansekerta, dan di bagian belakang ada glosarium yang
menerangkan arti bab-bab tersebut. Ada beberapa typo yang aku temukan seperti mbah tapi ditulis Mbak Kakung (174),
mdpl ditulis mdpi, dan putus asa ditulis putus aja (368).
Buku
ini aku baca seharian, dari pagi sampai sore. Sempat juga diselingi tidur siang. Karena penasaran
dengan kisah Galang-Sanggita, akhirnya cepet deh tamatnya. Tapi masih penasaran
gimana kisah Sanggita-Galang selanjutnya. Ada lanjutannya nggak yah? Colek mas
Daniel Mahendra. Hehehe. Oh iya, di buku ini aku malah jatuh cinta sama sosok
Juan, suka cara ngomongnya dan dia cowok yang baik. Buku ini dipersembahkan
penulisnya sebagai mahar pernikahan untuk isterinya Lita Soerjadinata. So sweet.
Saya pun penikmat novel niskala.....
ReplyDeleteBagus sih bukunya.. salam kenal mbak.. thanks udah mampir :)
ReplyDeleteAku baru nemu di 2020. Wahh jam terbang tiap org benar2 beda
ReplyDelete