Rinjani; A Dream Came True
“Mungkin cukup sekali seumur
hidup aku ke tempat ini. Cukup kali ini saja,” kataku pada diri sendiri di
dalam tenda sambil meluruskan kakiku yang pegalnya luar biasa. Otot kakiku
rasanya keras dan mau putus, bahkan untuk berdiri dan duduk pun harus dengan
hati-hati sambil meringis menahan sakit. Bagaimana aku tak berkata demikian,
sepanjang hidupku selama dua puluh tujuh tahun, berjalan dua hari dengan trek
yang curam, menaiki bukit demi bukit yang melebihi tinggi pohon kelapa baru
kali itu aku lakukan.
Terpenting, mimpi masa kecilku
dulu telah berhasil aku wujudkan. Iya, aku bangga karena aku telah berhasil
sampai ke Danau Segara Anak, danau yang berada di kaki puncak Rinjani, gunung
tertinggi ketiga di Indonesia ini. Keberhasilan menaklukkan bukit demi bukit
dan trek curam juga aku dedikasikan untuk almarhum bapak. “Pak, lihat anakmu.
Hari ini bisa menyaksikan keindahan Segara Anak yang dulu bapak selalu
ceritakan. Anakmu berhasil sampai sini. Membanggakan bukan?” kataku sambil
memandang ketenangan air Segara Anak. Tak terasa mataku basah.
Kebiasaan warga di kampungku
minimal satu tahun sekali secara berombongan akan pergi ke Rinjani. Tujuannya
bukan untuk menaklukkan puncak 3.726 mdpl Rinjani, melainkan ke telaga air
panas yang ada di kaki puncak Rinjani, yang berada tak jauh dari danau Segara
Anak.
“Mau berendam di air panas, biar
sehat,” kata bapak setiap kali berencana pergi. Bahkan sebelum berangkat haji
tahun 2004 lalu, bapak juga berangkat ke Segara Anak untuk berendam agar
badannya bisa lebih bugar pada saat menjalani ibadah haji yang perlu kesiapan
fisik kuat. Pada saat bapak akan berangkat treking, ibu selalu sibuk
mempersiapkan segala keperluan bapak pada malam harinya. Karena bapak beserta
rombongan akan berangkat jam tiga pagi ke Sembalun, salah satu jalur pendakian
menuju Rinjani.
Bapak dan saudara sepupuku kerap
bercerita tentang keindahan Taman Nasional Gunung Rinjani, tentang eksotisme
Segara Anak, tentang pemandian air panas dan ramainya tempat itu dengan
kedatangan turis asing. “Pokoknya indah,” katanya.
“Pak, aku ikut ya. Aku kuat
jalan, aku nggak akan nyusahin siapapun,” pintaku. “Kamu ndak akan kuat jalan. Nanti baru setengah jalan minta pulang gimana? Repot kan. Kamu tahu, jalan yang harus kami naiki lebih tinggi dari pohon
kelapa,” sambung bapak. Bayangan tentang keindahan Rinjani selalu tergambar
dalam imajinasiku. Aku bertekad dalam hati suatu hari nanti aku akan sampai di
tempat itu.
Pada bulan Mei 2014 lalu, aku
bersama enam orang temanku berangkat ke Segara Anak melalui jalur pendakian
Sembalun, Lombok Timur. Dalam rombongan ini, ceweknya dua orang; aku dan
temanku, Indri. Berhubung kami yang cewek newbie
dalam pendakian ini, kami hanya membawa ransel kecil yang berisi keperluan
kami saja. Empat cowok kawan kami bertugas memanggul carrier yang penuh dengan bekal kami.
Dari pintu masuk menuju Taman
Nasional Gunung Rinjani menuju Pos Dua, kami berjalan setengah hari dan sampai
disana pada sore harinya. Trek yang kami lalui masih lumayan ringan, walaupun
terus mendaki melewati padang savana yang sering disebut orang bukit
Teletubbies karena mirip tempat tinggalnya Tinky Winky, Dipsi, Lala dan Po itu.
Setelah berjalan sekitar tujuh
jam, diselingi beberapa kali istirahat akhirnya kami sampai di Pos Dua. Di
sebuah jembatan di bawah Pos Dua, kami bertemu dengan beberapa pendaki yang
sedang istirahat dan mengambil air di sebuah pancuran kecil di bawah jembatan.
Ada beberapa laki-laki dan perempuan muda yang beristirahat duduk di dekat
jembatan itu. Selain itu ada seorang perempuan paruh baya, aku menebak umurnya
lebih 50 tahun. Aku kagum, dia yang setua itu bisa menaklukkan puncak Rinjani
dan trek berat yang harus dilalui sebelum sampai di pelawangan (pintu menuju Segara
Anak dan puncak Rinjani). Si nenek bercerita medan Rinjani ini cukup berat.
Darahku berdesir. Besok aku harus melewati trek itu menuju pelawangan.
Kekhawatiranku membuncah aku takut tidak kuat mendaki, akhirnya sakit dan
merepotkan kawan-kawanku. Sepanjang malam hanya itu yang aku pikirkan. Apalagi
malamnya banyak kami lihat pendaki yang akhirnya turun pada malam harinya
karena fisiknya tidak kuat, ada yang sakit, ada yang kakinya terkilir. Akupun
semakin tak nyenyak tidur.
Di pos dua, ada kejadian aneh
menimpa kami, khususnya aku dan temanku, Indri. Kami tidur berdua di dalam
tenda. Sementara yang cowok tidur di luar tenda. Walaupun aku sudah membungkus
diri dengan empat lapis baju beserta jaket, tiga celana panjang, dua kaos kaki,
dua sarung tangan, sarung dan masuk ke dalam sleeping bag, dingin pegunungan tetap saja menembus tulang. Ditambah
kaki yang rasanya seperti ditarik karena otot pegal luar biasa.
Baru saja aku terlelap, aku
terbangun karena suara gemerisik disamping tendaku. “Kali saja ada teman yang
tidur di samping tenda,” pikirku. Tapi tak lama suara itu makin berisik dan
pindah ke atas kepala. Aku sudah berusaha menutup telinga dan tak kuhiraukan
tapi masih saja suara itu terdengar. Aku komat kamit baca doa.
Ternyata si Indri juga terbangun
dan mendengar suara itu. “Suara apaan?” kataku. “Nggak tahu, dari tadi aku nggak
bisa tidur gara-gara suara itu,” katanya. “Terus gimana nih? Bangunin Dwi aja
ya, suruh liatin ada apa.”
Aku pun membuka tenda dan membangunkan
Dwi. “Suara apaan sih disamping tenda. Coba liatin. Takut nih gak bisa tidur,”
kataku. Beberapa teman cowok terbangun dan memeriksa sekeliling. “Aah itu suara
angin. Nggak ada apa-apa,” kata seorang teman. Aku kembali membenamkam diri
dalam sleeping bag dan tertidur.
Amazing scenery around Segara Anak Lake |
Pagi harinya, aku semakin
deg-degan. Khawatir apakah aku bisa melewati trek yang paling berat ini. Hatiku
semakin berdegup kencang. Sebelum langkah kaki pertama melangkah menuju pendakian
Pos Tiga, aku berdoa dan terus berdoa
agar diberi kekuatan. Konon di Bukit Penyesalan, bukit yang berada setelah pos
tiga itu banyak pendaki yang menyesal ke Rinjani. Merasa tak sanggup lagi dan
ingin pulang. Aku takut juga menyesal setelah berjalan jauh.
Memang inilah perjalanan terberat
dalam hidupku. Bukti yang tinggi, menanjak
dan terus menanjak, di bawah adalah jurang yang tak kelihatan mana dasarnya. Sampai
pada akhirnya aku sampai di Bukit Penyesalan, tapi alhamdulillah tak ada penyesalan sedikit pun. Perasaan yang ada hanya
optimisme bahwa aku akan bisa sampai di tujuan akhir.
Setelah sampai di Pelawangan pada
sore hari sekitar setengah lima sore, perjalanan kami berlanjut menuju Danau
Segara Anak. Kami menuruni bukit curam dengan jalan setapak sempit dan beberapa
tangga yang disusun dari batu seadanya. Sekitar empat jam kami berjalan. Danau
itu terasa dekat di mata, tapi jauh di kaki. Perlu beberapa jam sampai disana.
Kepalaku pusing dan merasa tak
kuat lagi berjalan. Ketakutanku berada di ketinggian kumat. Aku menangis karena
tak sanggup lagi rasanya menuruni jalan setapak yang dibawahnya jurang yang entah
dimana dasarnya. Kami berjalan sampai malam dan hanya diterangi senter dari
ponsel yang jangkauan cahanya hanya bisa menerangi satu langkah kaki.
Perjalanan berat belum usai. Kami harus berjalan pelan di malam buta. Gelap
sepanjang pandangan mata. Mungkin hanya kami ronbongan yang berjalan malam itu.
“Jalannya agak ke kanan. Jangan terlalu ke kiri karena ada jurang,” pesan
temanku sepanjang perjalanan di malam gulita itu. Setelah sekitar empat jam
berjalan, kami pun sampai di Segara Anak dan segera mendirikan tenda. Akupun
bisa menikmati eksotisme itu yang beberapa tahun lalu hanya bisa aku
imajinasikan.
Banyak yang underestimate aku nggak bakalan sanggup sampai ke Segara Anak.
Banyak yang meragukanku. Wajar saja, karena badanku kurus dan terlihat lemah
dan tak lincah sama sekali. “Emang kamu kuat?” begitu kata beberapa teman yang
tahu aku akan ke Segara Anak. Aku tetap menanam optimisme dalam diriku.
Optimisme itu aku tambah dengan
doa yang tak pernah terputus. Setiap melangkah, tak lupa berdoa. Apalagi saat
tak lagi ada tenaga. Mungkin Tuhan bosan mendengar doaku saat itu. Untuk menuju
puncak, jangan lihat puncak itu. Berjalan pelan, setapak demi setapak. Lihatlah
bawah agar kita bisa melihat tanah yang kita pijak. Satukan tekad dan keyakinan
kita dengan tanah yang kita pijak. Berjalanlah dengan tenang. Dan setiap
langkah, tak lupa aku selalu merapal doa. Setiap langkah dalam setiap tanjakan,
selalu aku awali dengan Bismillah.
Perjalanan mendaki ini penuh
dengan falsafah kehidupan. Begitulah mungkin seharusnya kita hidup. Jika kita
terus berusaha, berlelah-lelah, diiringi doa, kita akan sampai pada tujuan
kita, puncak gunung itu. Seperti kata Edmun Hillary, mendaki itu bukan untuk
menaklukkan puncak gunung, tapi menaklukkan diri sendiri. Karena kekuatan itu
berasal dari dalam diri kita sendiri.
Oh iya, pada saat itu aku bilang
ke diri sendiri cukup sekali ke Rinjani. Tapi setelah sampai rumah, kata-kata
itu aku cabut dan langsung merindukan Rinjani. Aku pun berencana untuk kembali,
menaklukkan puncak Rinjani.
terimakasih kepada pemilik blog..
ReplyDeletesaya mohon izin untuk menyimpan link di halaman komentar,
semoga anda semakin sukses...
obatamandel.utamakansehat.com
obatflekparuparu.utamakansehat.com
obathipertiroid.utamakansehat.com
obatglaukoma.utamakansehat.com
Ngiri berat baca ini. Belum kesampaian naik Rinjani meski udah 3 kali ke Lombok :'(
ReplyDeleteHayuk ke Lombok lagi.. hehe
Delete
ReplyDeleteDEWASTREAMING .COM
DEWASTREAMING .COM NONTON MOVIE TERBARU
DEWASTREAMING .COM DOWNLOAD MOVIE ONLINE
DEWASTREAMING .COM DOWNLOAD TERBARU ONLINE
DEWASTREAMING .COM FILM HOROR TERBARU
======================