Resensi Buku “Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas”
Judul :
Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas
Penulis : Eka Kurniawan
Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama
ISBN : 978-602-03-0393-2
Halaman : 243
Tahun : 2014
“Lelaki
yang tak bisa menyetubuhi perempuan seperti belati berkarat. Tak bisa dipakai
untuk memotong apapun.” (Halaman 62)
Aku suka buku ini. Suka banget. Begitulah ekspresiku ketika membuka halaman
demi halaman buku ini. Pokoknya aku suka. Walaupun penulis cukup vulgar di buku
ini, vulgar menyebut nama alat vital laki-laki dan perempuan, banyak adegan
ranjang di dalamnya, banyak kata-kata kasar seperti umpatan, tapi aku suka.
Menurutuku novel stensilan yang dulu aku baca sembunyi-sembunyi (nemu punya
kakak) *ehh* ketauan deh, jauh lebih vulgar dan membuat panas dingin dibanding
buku ini. Karena mungkin menurutku gaya berceritanya kocak, polos, apa adanya,
dengan bahasa sederhana yang sering kita dengar sehari-hari.
Oke kembali ke buku dengan cover menarik ini, alasan aku suka buku ini
bukan karena kevulgarannya. Tapi aku suka gaya berceritanya Eka Kurniawan.
Lepas, jujur, dan tak jaim. Cerita dengan tema yang sederhana, tapi banyak
melibatkan tokoh, dan dengan plot yang melompat, tak membuatku kebingungan.
Buku ini menurutku page turning,
selalu tak sabar untuk melanjutkan membacanya halaman demi halaman. Akhirnya
buku ini bisa aku selesaikan dalam waktu kurang dari 24 jam.
Alkisah, Ajo Kawir, seorang laki-laki yang burungnya tak bisa berdiri atau
ngaceng seperti yang disebut dalam buku (aku baru dengar istilah ini hahahah).
Ajo Kawir hampir frustrasi karena perkara burung ini. Sampai ia pernah mencoba
memotong burungnya dengan kapak, tapi digagalkan Si Tokek, karibnya.
Ajo Kawir telah mencoba berbagai cara untuk membuat burungnya bisa berdiri
kembali seperti mengoleskan cabe rawit segar di burungnya, menggunakan sengatan
lebah, membaca buku stensilan, dicumbu pelacur, dan mendatangi tiga belas dukun
berbeda. Tapi upaya-upaya itu gagal. Sampai akhirnya Ajo Kawir berdamai dengan
keadaan, menerima burungnya yang tertidur pulas.
“Tetap
tak berdiri meskipun dua belas pelacur telanjang di depannya, dan segala hal
telah dicoba untuk membangunkannya.” (Halaman 30)
Pada saat umur belasan, Ajo Kawir bersama Si Tokek termasuk pemuda nakal,
suka berkelahi dan mengintip orang bercinta dan perempuan yang sedang mandi.
Sampai petaka itupun datang. Tokek mengajak Ajo Kawir mengintip Rona Merah,
janda gila yang ditinggal mati suaminya, Agus Klobot yang mantan perampok.
Pada saat mengintip ternyata dua orang polisi datang dan menggagahi Rona
Merah. Pada saat mengintip adegan pemerkosaan itu, Ajo Kawir jatuh terjerembab
dan akhirnya kepergok. Ia pun dipaksa untuk melihat adegan tersebut secara
langsung di depan matanya dan pelipisnya ditodong dengan pistol. Setelah Rona Merah digilir polisi
itu, polisi dengan luka menyilang di dagu memaksa Ajo Kawir memperkosa Rona
Merah, tapi burungnya tak bisa berdiri, dari sanalah petaka burung tidur itu
menghampiri hidupnya.
Perkara burung yang tak bisa berdiri inilah yang mendatangkan setiap
persoalan dalam hidup Ajo Kawir. Isterinya, si Iteung pun selingkuh dan hamil
oleh Budi Baik, teman sang isteri. Walau awalnya Iteung sudah tahu perihal
burung Ajo Kawir, karena cinta ia tetap mau menikah dengannya. Awalnya Ajo
Kawir pun berniat untuk membalas dendam kepada polisi dengan luka menyilang di
dagu yang telah membuat Si Burung tertidur sangat pulas, siapa tahu dengan
dendam yang terbayarkan, burungnya kembali bangun dan bisa membahagiakan
isterinya.
Beberapa tahun berlalu, setelah keluar dari penjara karena Ajo Kawir
membunuh Si Macan, Ajo Kawir menjadi supir truk lintas Jawa-Sumatera. Dari
situlah titik balik kehidupannya. Ia berhenti berkelahi dan menantang orang, ia
pun tak lagi memikirkan burungnya. Ia menyebut burungnya telah menempuh jalan
para pencari ketenangan, jalan sunyi seperti para sufi.
“Hidup dalam kesunyian. Tanpa kekerasan, tanpa kebencian.
Aku berhenti berkelahi untuk apa pun, aku mendengar apa yang diajarkan Si
Burung.”(123)
Sampai akhirnya Ajo Kawir bertemu dengan Jelita, wanita yang digambarkan
tidak sesuai namanya, dan semua akhirnya berubah. Oh iya, “Seperti Dendam,
Rindu Harus Dibayar Tuntas” adalah tulisan di bak belakang truk Ajo Kawir.
Selain tulisan itu, ada juga gambar seekor burung yang tertidur pulas. Mungkin
mirip seperti gambar di cover buku ini yang didesain sendiri oleh Eka
Kurniawan.
“Kemaluan
bisa menggerakkan orang dengan biadab. Kemaluan merupakan otak kedua manusia,
seringkali lebih banyak mengatur kita daripada yang bisa dilakukan kepala. Tapi
kemaluan juga bisa memberimu kebijaksanaan.” (Halaman 126)
Banyak sekali tokoh yang disebutkan dalam buku ini. Walaupun tak semuanya
berkaitan satu sama lain. Aku suka dengan Si Tokek, sahabat Ajo Kawir. Tokek
adalah sahabat yang baik, selalu mendampingi Ajo dalam keadaan apapun, bahkan
saat menghadapi musuh walaupun kadang mereka saling mengumpat satu sama lain.
Bahkan Tokek merasa bersalah sepanjang hidupnya karena dia yang mengajak Ajo
untuk mengintip Rona Merah sehingga menyebabkannya impoten. Bahkan Tokek
berjanji tidak akan menggunakan burungnya ke perempuan manapun sebelum burung
Ajo bisa bangun dan berdiri layaknya pria normal. Tokek juga yang menyemangati
Ajo pada saat akan menikahi Iteung untuk tidak takut soal burungnya.
“Syarat
pernikahan hanya ada lima. Paling tidak itu yang kuingat pernah kudengar dari
corong masjid. Satu, ada kedua mempelai. Dua, ada wali perempuan. Tiga, ada
penghulu. Empat, ada ijab kabul. Lima, ada saksi. Tak pernah kudengar
pernikahan mensyaratkan burung yang berdiri.” (Halaman 91)
Aku juga suka tokoh si Iteung. Dia perempuan kuat dan pemberani, ia suka
berkelahi dan jago bela diri. Ia pernah dilecehkan gurunya, Pak Tono dan ia pun
membalas dendam, mendatangi gurunya setelah memiliki ilmu bela diri,
menelanjangi Pak Tono dan menghajarnya sampai pingsan.
Mono Ompong. Kenek Ajo Kawir yang berumur 20 tahun, walaupun anaknya nakal,
suka berkelahi, tapi ia pantang
menyerah, tak pernah takut menghadapi siapapun dan terus berupaya mencapai keinginannya.
Tokoh yang paling aku benci adalah Pak Lebe, juragan
tambak yang suka menggoda Janda Muda yang tinggal di kontrakannya. Karena tak
bisa bayar kontrakan, Pak Lebe memaksa untuk dilayani nafsu bejatnya. Janda
Muda tak bisa menolak, karena jika menolak konsekuensinya akan diusir dari
kontrakan. Ini adegan yang membuatku sedih:
“Pak
Lebe membuka kedua kaki perempuan itu, Pak Lebe memasuki dirinya, ia memejamkan
mata, tapi airmatanya tetap keluar dari celah kelopak matanya, ia merasa sakit.
Tak hanya di dalam kemaluannya, tapi terutama di dalam dadanya.” (Halaman 46)
Karena aku jatuh cinta dengan buku ini, dengan ceritanya, gaya
berceritanya, plotnya, tokoh-tokohnya, covernya yang lucu dengan gambar timbul
dan warna yang manis, 5 bintang untuk buku ini. Highly recommended deh, tapi buku ini untuk 21+ lho ya, di sampul
belakang juga diberi tanda 21+, kategori sastra/fiksi/novel dewasa. Aku harus
baca buku Eka Kurniawan yang lain. Semoga seasyik buku ini.
Dapet rekomendasi baca buku ini dari teman yang suka nulis. 'Ntah apa maksudnya. Aku cari.
ReplyDeleteTerimakasih review-nya :)
Hai Tyrza.. kembali kasih.. salam kenal.. :)
DeleteIni salah satu buku favoritku. Selamat membaca :)
aku malah takut merekomendasikan buku ini sama teman-teman aku. hahhahahaahaa
ReplyDeleteKalau untuk teman2 di bawah 21 tahun mending gak usah, kak. hehehe
DeleteJadi kalau ada laki" yg tak mau menikah,bisa jadi karena ini alasannya. Heuheu..
ReplyDeleteHehehe.
DeleteHallo, mas yanet apakah buku tersebut masihkah dimiliki? Kalau boleh saya ingin menanyakan apakah buku itu dijual yah?
ReplyDeleteHalo, kak. Saya masih punya bukunya. Tapi di toko buku ada kok bukunya kak. Tapi yg edisi sampul baru.
Delete