Resensi Buku "Berjalan di Atas Cahaya"






Judul                          : Berjalan di Atas Cahaya
Penulis                        : Hanum Salsabila Rais, dkk
Desain Sampul           : Hendy Irawan
Tata Letak Isi            : Suprianto
Penerbit                      : Gramedia Pustaka Utama
ISBN                           : 978-979-22-9359-3


Buku ini adalah buku kedua Hanum Salsabila yang saya baca setelah 99 Cahaya di Langit Eropa. Cerita yang disuguhkan dalam buku ini juga tak jauh berbeda dengan buku pertama, berkenaan dengan pengalaman Hanum saat tinggal di benua biru Eropa. Walaupun dalam buku ini Hanum tidak bercerita sendiri, ada dua orang Indonesia yang pernah tinggal di Eropa juga terlibat. Tapi tulisan Hanum mendominasi dari keseluruhan isi buku.

Cerita bermula ketika Hanum diutus untuk melakukan peliputan program Ramadhan ke Eropa dengan biaya terbatas. Biaya yang disediakan stasiun televisi tempatnya bekerja hanya USD 3.000 untuk 18 hari dan 3 orang dengan tujuan beberapa negara. Hanum pesimis bisa melakukan perjalanan dengan biaya yang serba terbatas, sementara negara di Eropa terkenal supermahal. Tapi pada akhirnya ada banyak kemudahan ditemukan Hanum.

Hanum bersama dua orang kru berkunjung ke Ipsach, sebuah desa di Swis bertemu dengan Bunda Ikoy atau Khoiriyah yang menikah dengan bule dan bekerja di perusahaan jam merek dunia. Bunda Ikoy adalah orang Aceh dan menikah dengan Yah Cut (paman kecil Bahasa Aceh) atau Marco Kohler yang mualaf. Selain itu Hanum juga bertemu dengan Nur Dann, gadis Austria keturunan Turki. Nur Dann adalah muslimah berjilbab dan menggunakan kemampuannya ngerap untuk berdakwah.

Di desa Neerach di Swiss, Hanum bertemu mualaf yang beristeri orang Singapura, Markus Klinkner. Markus tinggal bersama siterinya Siti Zubaida Klinkner dan anaknya yang berumur lima tahun bernama Aisha Maria. Di desa Neerach, konsep kejujuran dan kepercayaan kepada orang lain sangat dijunjung tinggi. Kios atau kedai di desa itu kebanyakan tidak memiliki penjaga. Semua kosong. Jika ingin membeli barang di salah satu kios, pembeli harus meletakkan uang di tempat khusus dan mengambil kembalian di tempat yang khusus juga yang telah disediakan. Jika uang kembalian tidak ada, notes disediakan untuk menulis nama, alamat, dan jumlah kembalian. Nanti pemilik kios akan datang ke rumah setiap pembeli mengantarkan kembalian. Salut banget.

Perempuan yang juga turut ambil bagian di buku ini adalah Tutie Amaliah. Tutie pertama kali ke Eropa, tepatnya Wina, Austria menyusul suaminya Ali yang bertugas di sana. Pada saat landing di Bandara Wina, Tutie bertemu dengan wanita bercadar yang pada akhirnya diketahui bernama Layla. Tutie saat itu membawa bayinya berusia enam bulan, karena ribet dan terburu-buru, tas yang akan diambil dari kompartemen pesawat menjatuhinya dan saat itulah Layla banyak membantunya dan memberi kemudahan. Bagi Tutie, wanita bercadar yang sering mendapat stigma negatif oleh masyarakat luar menjadi pahlawannya saat itu. Saya sangat terkesan dengan Layla.

Tutie berteman dengan Stefania, perempuan Italia yang pindah ke Wina. Stefania bersuamikan muslim asal Bihar, India. Suaminya berhenti dari pekerjaan sebagai asisten manajer di perusahaan IT di New Delhi dan pindah ke Austria menjadi loper koran. Ia tidak bisa mendapat pekerjaan yang layak karena dia muslim. Tapi Stefania banyak belajar keikhlasan dari suaminya dan dia pun memutuskan jadi mualaf.

Penulis lainnya di buku ini adalah Wardatul Ula. Ia menceritakan kisahnya saat belajar di Turki. Tapi bagian Wardatul Ula tidak banyak, hanya dua cerita. Buku ini bertema bagaimana para Muslim dan Muslimah menjalani kehidupan sebagai minoritas di benua biru. Bagaiamana mereka tetap istiqomah dan menjadi agen Muslim/Muslimah yang baik di tengah gencarnya stigmatisasi negatif terhadap umat Islam. Cerita-cerita yang disuguhkan dalam buku ini sungguh inspiratif dan banyak nilai positif yang bisa kita ambil bagaimana seharusnya bersikap sebagai Muslim/Muslimah yang baik.

Saya juga sangat terkesan dengan epilog buku ini. Dimana Hanum Salsabila mengisahkan pengalamannya berhaji di tahun 2010. Ia berangkat haji bersama rombongan jamaah Indonesia dari Austria. Pada saat melakukan tawaf wada, ia bertemu dengan orang asing, perempuan Iran yang tiba-tiba memberinya sebuah pulpen. Pulpen ini disebutnya sebagai isyarat agar ia tetap menulis.

Buku ini minim typo, hanya beberapa kata saja. Sayangnya foto di buku ini disajikan black and white dan tidak jelas. Seandainya berwarna, pasti lebih semarak. Empat bintang untuk buku ini.


Comments

Popular Posts