Resensi Buku "And The Mountains Echoed"







Judul           : And The Mountain Echoed (Dan Gunung-Gunung Pun Bergema)
Penulis        : Khaled Hosseini
Penerjemah: Berliani Mantili Nugrahani
Penerbit      : Qanita
Tahun          : 2013
Halaman     : 516
ISBN            : 978-602-9225-93-8


“Seruas jari harus dipotong untuk menyelamatkan tangan.”

Selama 58 tahun, dua bersaudara; Abdullah dan Pari terpisah. Mereka terpisah karena keadaan. Pari dijual oleh ayah kandungnya kepada pasangan kaya raya Suleiman dan Nila Wahdati yang tinggal di Kabul. Hal ini dilakukan Saboor untuk menyelamatkan kehidupan anaknya ke depan, karena dia tak ingin melihat Pari menjalani hidup seperti kehidupan yang dijalaninya di sebuah pedesaan di pedalaman Afghanistan, Shadbagh. Saboor difasilitasi Nabi, iparnya yang bekerja di rumah Wahdati untuk menjual Pari. Pari dan Abdullah memanggilnya dengan sebutan Paman Nabi.

“Saya merenggut dua bocah tidak berdaya, perwujudan dari cinta yang paling murni, sederhana, dan memisahkan keduanya.”

Melihat kenyataan itu, Abdullah terpuruk. Seketika cahaya kebahagiaan memudar di segenap jiwanya. Pari adalah saudara kandung satu-satunya yang ia besarkan sepeninggal ibu mereka, walaupun mereka memiliki ibu tiri, Parwana. Selama bertahun-tahun, Abdullah selalu memikirkan Pari, meski sebaliknya Pari tak pernah mengingatnya lagi. Kehidupan mewahnya di Kabul membuatnya lupa akan masa lalunya. Sampai akhirnya ia dibawa ke Paris oleh Nila Wahdati dan tinggal disana sampai menua; menikah, memiliki anak-anak, dan cucu. Pari Wahdati kemudian menjadi dosen dan ahli Matematika di Paris.

“Pari membayangi, tanpa bisa ditahan, sudut mata Abdullah ke mana pun dia melangkah. Dia bagaikan debu yang menempel di baju Abdullah. Dia adalah keheningan yang kian sering mencekam rumah, keheningan yang menjadi jeda setiap kata, terkadang dingin dan hampa, terkadang berisi hal-hal yang sulit terucap, bagaikan awan sarat hujan yang tidak tercurahkan.”

Sama seperti buku Khaled Hosseini sebelumnya yang aku baca; The Kite Runner dan A Thousand Splendid Sun, buku ini juga 'menyihirku'. Narasinya cukup padat, diceritakan dengan sangat indah dan memilukan. Seolah-olah saya ikut terbawa ke pedalaman Afghanistan, sebuah desa yang gersang dengan bangunan-bangunan dari tanah lempung beratap rendah. Desa yang dikelilingi gunung batu yang kering. Afghanistan dan kehidupan disana masih menjadi latar dan inspirasi bagi Hosseini, sama seperti dua buku sebelumnya.

And The Mountain Echoed diceritakan dengan alur campuran; mundur-maju-mundur-maju. Plot cerita buku ini juga berlompatan, tapi tak membuat kita bingung. Buku ini diawali dengan latar waktu yang dijadikan judul dalam bab per bab; Musim Gugur 1952, Musim Semi 1949, Musim Semi 2003, Februari 1974, Musim Panas 2009, Musim Gugur 2010, dan ditutup dengan Musim Dingin 2010. Sudut pandang penceritaan juga menggunakan sudut pandang campuran; di awal buku menggunakan PoV (Point of View) orang ketiga, di bagian tengah menggunakan PoV orang pertama, begitu juga di bagian akhir menggunakan PoV orang pertama.
  
Khaled Hosseini juga membawa kita tidak hanya terlibat dalam situasi mencekam saat Taliban berkuasa di Afghanistan, dimana bom sewaktu-waktu bisa meledak dan menghancurkan orang tak berdosa, tapi juga membawa kita terbang ke Paris, Pulau Tinos Yunani, dan Amerika Serikat sebagai latar tempat novel ini. Amerika, menjadi tempat tinggal Abdullah setelah perang terjadi di negaranya. Sebelumnya ia tinggal di sebuah kamp pengungsian di Pakistan dan bertemu dengan Sultana dan menikah. Ia pun memiliki seorang anak yang juga diberi nama Pari, yang berarti peri dalam bahasa Farsi.

Banyak tokoh di novel ini yang saling terkait satu sama lain. Dan bisa ketahui di akhir-akhir cerita bagaimana tokoh-tokoh ini saling terhubung satu sama lain. Terjemahan buku ini juga sangat baik dan saya sangat menyukainya. Tak banyak typo di buku yang cukup tebal ini, hanya ada beberapa, kurang dari lima sepenghitunganku. Seperi kata ‘tuan’ yang ditulis tuah (halaman 104) dan ‘singa’ ditulis siang (halaman 453).

Menurutku, kedukaan Abdullah saat mengetahui adik satu-satunya dijual tidak terlalu dieksplorasi secara mendalam. Walaupun disebutkan Abdullah cukup hancur, tapi dibahas cukup singkat. Begitu juga pada saat mereka kembali bertemu, 58 tahun kemudian, biasa-biasa saja, tidak terlalu didramatisasi. Mungkin karena Abdullah sudah sangat tua dan pikun. Sehingga tidak digambarkan dengan cukup emosional.

Saya malah paling sedih di bagian awal buku, saat Saboor mendongengkan kisah div, makhluk raksasa yang menghuni gunung batu kepada Abdullah dan Pari. Dongeng ini diceritakan Saboor pada saat mereka istirahat di tengah perjalanan menuju Kabul dengan gerobak dorong dari Shadbagh.

Div selalu datang ke desa dan meminta tumbal salah satu anak untuk dibawa ke gunung sebagai persembahan. Baba Ayub, memiliki lima orang anak; salah satunya Qais yang paling kecil dan paling disayangi sepenuh hati. Pada akhirnya Qais-lah yang harus dipersembahkan Baba Ayub. Hatinya hancur dan hidupnya berubah, tak bersemangat lagi karena cahaya kebahagiaan memudar dari hidupnya. Sampai pada akhirnya ia pergi ke gunung dan menantang div. Tapi apa yang dilihat di dalam gunung?  Ada istana tempat anak-anak yang pernah diculik si raksasa ini bermain dengan riang, hidupnya jauh berbeda dengan anak-anak yang tinggal di kampung, serba berkecukupan.

Div yang awalnya disangka kejam, monster jahat, tapi ternyata mempunyai tujuan yang mulia. Membebaskan anak-anak dari kungkungan kemiskinan.

“Kau monster kejam,” kata Baba Ayub.
“Jika kau sudah hidup selama aku,” jawab sang div, “kau akan mengerti bahwa kekejaman dan kemuliaan hanyalah nuansa berbeda dari warna yang sama.”

Saya suka dengan tokoh sang div, walaupun uraian tentang dirinya hanya singkat dan sebagai pembuka. Novel ini sangat saya rekomendasikan. Empat bintang untuk buku ini.


Comments

  1. Akhirny mampir ke siniii ;)

    Setuju, saya suka banget cerita awal itu, bener-bener antara jahat dan baik ya si div menghapus pikiran si bapak. Dan mungkin ya Khaled sengaja tidak menceritakan bagaimana si Abdullah saat ditinggal Pari, karena beliau tahu itulah yang sangat kita nanti-nantikan, gong sengaja dimunculkan terakhir saat Abdullah ternyata ...... ;)

    Ah, buku ini termasuk buku wajib baca, moga-moga semakin banyak yang baca buku ini ya Non *wink*

    ReplyDelete
    Replies
    1. Thank a lot mbak Mia udah mampir disini.. :) Buku-bukunya Khaled Hosseini memang wajib dibaca mbak.. Penasaran nih buku apa selanjutnya dari beliau :)

      Delete

Post a Comment

Popular Posts