Resensi Buku "Perempuan Di Titik Nol"
Judul :
Perempuan Di Titik Nol
Penulis :
Nawal el-Saadawi
Penerjemah : Amir
Sutaarga
Penerbit :
Yayasan Obor Indonesia
Tahun :
2014 (Cetakan kesebelas)
ISBN :
978-979-461-867-7
Halaman :
176
“Saya seorang pembunuh, tetapi saya
tidak melakukan kejahatan. Seperti kalian, saya hanya membunuh penjahat.”
(Halaman 166)
Setelah selesai membaca buku
bersampul merah ini, saya berpikir: “Gimana ya reaksi para lelaki setelah
membaca buku ini?” Marah kah mereka? Atau mungkin bukunya langsung dilempar?
Perlu survei dulu sepertinya. Hehehe. Seorang kawan yang juga laki-laki
mengatakan tidak 'kuat' melanjutkan baca buku ini. Dia hanya membacanya
setengah lantas dilepas begitu saja. Saya saja yang seorang perempuan kaget
dengan apa yang diceritakan dalam buku ini. Buku ini benar-benar mencengangkan.
Saya suka buku ini walaupun ada bagian atau pemikiran di dalam buku ini yang
tidak saya setujui karena tidak sesuai dengan prinsip yang saya yakini.
Perempuan Di Titik Nol
mengisahkan tentang jalan hidup Firdaus, seorang pelacur kelas atas yang
didakwa hukuman mati karena telah membunuh seorang laki-laki. Di penjara
Qanatir, tempat ia dikurung dan menunggu eksekusi, Firdaus menceritakan kepada
seorang dokter perempuan alasan-alasan ia melakukan tindakan keji tersebut. Seorang
dokter datang menemuinya di penjara Qanatir 10 hari sebelum dia dibawa ke tiang
gantungan.
Sebelumnya sang dokter sempat
frustrasi karena begitu sulitnya menemui Firdaus. Firdaus tidak pernah mau
ditemui siapa pun. Tapi akhirnya sang dokter berhasil menemuinya dan hasil
pertemuan itu dirangkai dalam novel karya penulis Mesir yang juga seorang
dokter ini. Kesan dokter tersebut saat bertemu Firdaus dideskripsikan sebagai
berikut:
“Seakan-akan saya mati di saat matanya
menatap saya. Mata yang mematikan, seperti sebilah pisau, menusuk-nusuk,
menyayat jauh ke dalam, mata itu menatap tanpa bergerak, tetap. Tak berkedip
sedikit pun. Tak ada urat sekecil apa pun pada wajah yang bergerak.”
(Halaman 10)
“Suaranya mantap, menyayat ke dalam,
dingin bagaikan pisau, tak ada getaran sedikit pun dalam nadanya. Tak ada riak
irama sedikit pun.”
(Halaman 10)
Firdaus datang dari desa di
pelosok Mesir dan ia pun kemudian dibawa ke Mesir oleh pamannya dan
disekolahkan disana sampai lulus SMA. Dengan ijazah SMA, ia kesulitan untuk
mendapatkan pekerjaan yang layak. Sampai pada akhirnya ia dijodohkan oleh paman
dan isteri pamannya dengan seorang kakek berusia 60 tahun yang kaya raya.
Firdaus tak kuasa menolak karena ia juga merasa tidak enak hati untuk terus
tinggal di rumah pamannya. Suami Firdaus bernama Syeikh Mahmoud. Sayangnya
walaupun kaya raya, tapi Mahmoud adalah laki-laki kikir. Firdaus juga sering
dipukuli sampai pada akhirnya ia tidak tahan dan kabur dari rumah suaminya.
“Pada suatu peristiwa dia memukul badan
saya dengan sepatunya. Muka dan badan saya menjadi bengkak dan memar. Lalu saya
tinggalkan rumah dan pergi ke rumah paman. Tetapi paman mengatakan kepada saya
bahwa semua suami memukul isterinya, dan isterinya menambahkan bahwa suaminya
pun seringkali memukulnya.”
(Halaman 70)
Saya pun bertanya-tanya,
benarkah semua suami harus memukul isterinya agar sang isteri tetap tunduk dan
patuh? Oh NO! Ini pemikiran tahun
kapan?
Setelah kabur dari rumah
suaminya, Firdaus bertemu dengan Bayoumi yang kemudian mengajaknya tinggal di
rumahnya, tapi perlakuan buruk kembali didapat Firdaus. Ia ditiduri dan kerap dipukuli
Bayoumi. Ia pun kembali melarikan diri. Setelah berhasil kabur dari Bayoumi, ia
bertemu dengan Sharifa Salah el Dine. Pada titik inilah Firdaus kemudian mulai
menjual dirinya. Sharifa mengajarkan kepada Firdaus bagaimana menjual diri
hanya untuk kalangan tertentu dengan harga yang tinggi. Walaupun sebenarnya apa
yang dilakoni sangat bertentangan dengan nalurinya, Firdaus tetap menjalankan pekerjaan
tersebut.
“Dan karena saya seorang pelacur, saya
sembunyikan rasa takut itu di bawah lapis-lapis solekan muka saya.”
(Halaman 14)
Dari Sharifa pula Firdaus
banyak diajarkan falsafah hidup. Bagaimana seharusnya perempuan menempatkan
dirinya pada zaman yang didominasi oleh kuasa laki-laki.
“Setiap orang harus mati, Firdaus. Saya
akan mati, dan kamu akan mati. Dan yang penting ialah bagaimana untuk hidup
sampai mati.”
(Halaman 86)
“Kau harus lebih keras dari hidup itu,
Firdaus. Hidup itu amat keras. Yang hanya hidup ialah orang-orang yang lebih
keras dari hidup itu sendiri.”
(Halaman 87)
“Hidup adalah ular. Keduanya sama,
Firdaus. Bila ular itu menyadari bahwa kau itu bukan ular, dia akan
menggigitmu. Dan bila hidup itu tahu kau tidak punya sengatan, dia akan menghancurkanmu.”
(Halaman 87)
“Lelaki tidak tahu nilai seorang
perempuan, Firdaus. Perempuan itulah yang menentukan nilai dirinya. Semakin
tinggi kau menaruh harga bagi dirimu semakin dia menyadari hargamu itu
sebenarnya, dan dia akan bersiap untuk membayar dengan apa yang dimilikinya.
Dan bila dia tidak memilikinya, dia akan mencuri dari orang lain untuk
memberimu apa yang kau minta.”
(Halaman 88)
“Kau tak memperoleh apa-apa dari
perasaan kecuali rasa nyeri.”
(Halaman 91)
Kemudian Firdaus bertemu
Fawzi yang ingin menikahinya tapi dihalangi Sharifa. Akhirnya ia kabur lagi. Di
jalan ia bertemu polisi yang memerkosanya. Penderitaan tak hanya sampai disitu,
selanjutnya ia bertemu laki-laki kaya dan ditiduri.
Melacurkan diri adalah
pekerjaan yang dilakoni tanpa kesadaran penuh. Ada hal-hal yang mendasari
seseorang untuk terjun ke dunia hitam tersebut, kadang ia sebagai bentuk
pelampiasan atas kekecewaan terhadap hidup dan kaum laki-laki. Seperti yang
dialami Firdaus. Firdaus ingin hidup normal layaknya perempuan. Ia ingin jatuh
cinta dan dicintai dengan sepenuh hati.
“Saya tidak minta apa-apa, kecuali
mungkin satu hal. Untuk diamankan oleh cinta dari segalanya. Untuk menemukan
diri saya kembali, untuk mengenali
diri-sendiri yang telah hilang. Untuk menjadi makhluk manusia yang tidak
dilihat orang dengan caci-makian, atau dengan pandangan rendah, tetapi
dihormati, dan disukai dan dijadikan merasa utuh.”
(Halaman 141-142)
Pada akhirnya setelah ia
berhenti sebagai pelacur, ia bekerja di sebuah perusahaan dan bertemu dengan
Ibrahim. Mereka pun saling jatuh cinta. Ternyata Ibrahim meninggalkannya
bertunangan dengan anak presiden direktur perusahaan tersebut. Ia kecewa dan
kembali memutuskan menjadi pelacur.
“Dia tidak lagi mengharapkan sesuatu
atau mendambakan apa-apa. Dia tidak lagi merasa takut kepada apa pun juga,
karena segalanya yang dapat menyakiti telah dialaminya.”
(Halaman 144)
Ada beberapa bagian yang sangat membuatku tercengang
di buku ini, diantaranya:
“Semua perempuan adalah korban penipuan.
Lelaki memaksakan penipuan pada perempuan, dan kemudian menghukum mereka karena
telah tertipu, menindas mereka ke tingkat terbawah, dan menghukum mereka karena
telah jatuh begitu rendah, mengikat mereka dalam perkawinan dan menghukum
mereka dengan kerja kasar sepanjang umur mereka, atau menghantam mereka dengan
penghinaan, atau dengan pukulan.”
(Halaman 142-143)
“Kini saya sadari bahwa yang paling
sedikit diperdayakan dari semua perempuan adalah pelacur. Perkawinan adalah
lembaga yang dibangun atas penderitaan yang paling kejam untuk kaum wanita.”
(Halaman 143)
“Bahwa lelaki memaksa perempuan menjual
tubuh mereka dengan harga tertentu, dan bahwa tubuh yang paling murah dibayar
adalah tubuh sang isteri. Semua perempuan adalah pelacur dalam satu atau lain
bentuk. Karena saya seorang yang cerdas, saya lebih menyukai menjadi seorang
pelacur yang bebas daripada menjadi seorang isteri yang diperbudak.”
(Halaman 151)
Perempuan Di Titik Nol
diceritakan dengan sudut pandang orang pertama (PoV 1) yaitu si dokter. Selain
itu juga Firdaus menjadi orang pertama yang menceritakan kisahnya kepada sang
dokter. Menurut saya terjemahan buku ini sangat kaku. Dan kurang greget.
Contohnya:
“Saya menunggu sampai ia berangkat, kemudian
berjongkok di bawah dipan kayu, saya ambil sepatu saya, memakainya dan
mengenakan pakaian. Saya buka kopor kecil saya, melipat gaun tidur, lalu
mengemasnya ke dalam kopor, dan saya tempatkan ijazah sekolah menengah dan
surat keterangan penghargaan di atasnya, sebelum saya menutupnya kembali.” (Halaman
62).
Terlalu banyak pemborosan
kata 'saya' dan seharusnya bisa dibuat menjadi lebih ringkas.
Kalimat ini juga membuat saya bingung:
“Barangkali selalu ada di situ, selalu hadir, tetapi
saya belum pernah melihatnya, belum pernah menyadari, bahwa itu selalu telah
ada.” (Halaman 63)
Selalu telah ada?
Ada juga beberapa kata imbuhan yang kurang.
Misalnya: “Tak ada gunanya bicara tentang apa yang
seharusnya dapat lakukan.” (Halaman 55)
Seharusnya setelah kata
'dapat' ada kata 'kita' atau imbuhan di-menjadi
'dilakukan'.
Ada juga beberapa typo yang saya temukan:
Anak-anak jadi
akan-anak.
Ketika,
huruf K besar seharusnya kecil karena ada tanda koma sebelumnya (Halaman 103).
Pukulan jadi
pululan (Halaman 117).
Udara seharusnya
U huruf kecil karena ada tanda koma
sebelum kata udara (Halaman 138).
Dia
seharusnya huruf kecil karena sebelumya koma tapi ditulis huruf besar (menunjukkan
kata ganti orang) (Halaman 154).
Bersedia tapi
ditulis bersedih? “Jika kau menghendaki
saya kawin denganmu, dengan segala senang hati sy bersedih.” (Halaman 154).
Dia menatap mata, saya dan berkata... Seharusnya setelah mata tanpa koma (Halaman 155).
Sebab juga
seharusnya huruf kecil karena berada setelah koma (Halaman 161).
Menggema ditulis
mengema (Halaman 174).
Overall,
walaupun ada bagian-bagian yang tidak sesuai dengan pemikiran saya, saya suka
buku ini karena telah begitu jujur. Saya suka sosok Firdaus yang sangat jujur
dengan dirinya sendiri. Ia seorang perempuan pemberani dan tidak gentar dan
takut dengan siapa pun. Ia pun membunuh karena terpaksa karena merasa terancam,
laki-laki yang dibunuhnya adalah seorang germo. Bagi yang menyukai isu-isu
feminisme, mungkin wajib baca buku ini. Two
stars and half for this book.Keep enjoying book fellas!!!
Comments
Post a Comment