Resensi Buku "Habis Gelap Terbitlah Terang"

 


Penulis: RA Kartini

Penerjemah: Armijn Pane

Penerbit: Balai Pustaka


Sejak lama pengin baca buku ini. Dan akhirnya kesampaian setelah nemu buku ini di Perpustakaan Nasional. Langsung deh saya pinjam bawa pulang.

Selama ini saya hanya sebatas tahu Ibu Kartini. Tapi saya tidak benar-benar paham pemikiran beliau selain beliau memperjuangkan emansipasi atau kesetaraan perempuan.

Melalui buku ini, kita bisa lebih mengenal sosok Kartini dan pemikiran-pemikirannya yang sangat maju dan melampaui zamannya.

Walaupun buku ini bergaya bahasa Indonesia klasik, tapi cukup asyik dan enak dibaca. Gaya bahasanya sama dengan karya sastra Indonesia klasik, zaman Pujangga Baru.

Habis Gelap Terbitlah terang adalah rangkuman surat-surat Kartini yang dikirim ke sahabat-sahabatnya di Belanda. Surat-surat ini berisi curahan hati Kartini yang sangat ingin sekolah ke Belanda atau minimal ke Betawi. Tapi impiannya itu pun kandas, karena pada zaman itu perempuan jarang sekolah tinggi dan jauh dari rumah. Kartini juga punya impian mendirikan sekolah untuk anak perempuan, yang kemudian terwujud sebelum beliau menikah.

Dalam surat-suratnya kita bisa merasakan kegalauan Kartini, kekesalannya atas sistem patriarkal yang merugikan perempuan, kritiknya terhadap kaum bangsawan dan pejabat yang haus hormat, dan kritik terhadap Belanda dan poligami.

Kartini sangat menentang poligami, karena bapaknya poligami dan punya istri banyak. Berikut kritikannya terhadap poligami:

"Saudaraku si kulit putih, yang sangat pengasih penyayang, yang luas pemandangan, yang berpikiran tajam, tolonglah kami, angkatlah kami daripada lumpur derita sengsara ini, tempat kami didorong dibenamkan oleh loba laki-laki. Tolonglah kami, melawan loba laki-laki yang ganas, yang semata-mata memikirkan dirinya sendiri itu, sifat loba iblis yang sepanjang masa mengazab menindas perempuan, sehingga, karena biasa disiksa, tiadalah lagi memandang siksaan itu lalim, melainkan menerimanya dengan hati tunduk dan tawakal, memandangnya jadi hak laki-laki, yang sesungguhnya, jadi pusaka, penderitaan setiap perempuan."


Kendati memiliki privelege sebagai anak bupati, tapi kehidupan Kartini juga tidak mudah sebagai perempuan. Dia harus dipingit, jika tidak, orang tuanya yang akan disalahkan oleh masyarakat. Walaupun bapaknya, RM Adipati Ario Sosroningrat berpikiran maju, tapi masih juga menjalankan tradisi pingit ke anak perempuannya karena takut jadi bahan omongan orang kalau anaknya sekolah jauh-jauh.

Bapak Kartini juga sangat mengedepankan pendidikan. Menurutnya, pendidikan dapat memberdayakan seseorang dan itu harus disediakan oleh pemerintah. Seperti yang disampaikan dalam surat kepada Stella Zeehandelaar.

"Daya upaya itu ialah pengajaran. Memberi anak negeri pengajaran yang baik, sama halnya seolah-olah Pemerintah menyerahkan suluh ke dalam tangannya, supaya dapat ia mencari jalan yang benar, yang menuju ke tempat nasi itu.." konteksnya di sini, bapaknya Kartini bilang dia gak sanggup memberi makan orang Jawa, tapi pendidikan adalah cara agar bagaimana orang Jawa bisa mencari tempat makanannya sendiri.

"Bapak akan berusaha sekuat tenaganya akan mengajukan anak negeri, dan aku pun akan turut membantunya."

Kartini sangat ingin sekolah dokter ke Betawi, tapi tak diizinkan bapaknya. Bapaknya lebih pengen dia sekolah guru. Dia juga tadinya ingin sekolah bidan, tapi juga ditentang karena pada masa itu, menjadi bidan atau dukun beranak dianggap pekerjaan hina bagi bangsawan.

Kartini itu sangat sayang sama bapaknya. Dia gak bisa mengecewakan bapaknya, meski hatinya menolak keinginan bapaknya, tapi dia lebih sakit jika melihat bapaknya menderita.

Bagian tersedih adalah ketika dia menceritakan dilema hatinya kepada Stella Zeehandelar, antara harus tetap berjuang agar dia bebas bisa sekolah atau harus menuruti keinginan bapaknya.

"Manakan aku akan menang, bila tiada aku berjuang? Manakan aku akan mendapat, bila tiada aku cari? Tiada berjuang tiada menang; aku akan berjuang, Stella, aku hendak merebut kebebasanku."

Kenapa surat-surat Kartini begitu puitis? Karena ternyata beliau suka sastra.

"Segala yang murni dan indah dalam kehidupan manusia, ialah puisi. Cinta, pengorbanan, setia, kepercayaan, seni, semuanya barang sesuatu yang meninggikan budi, menjadikan murni, baik dan indah, ialah puisi." -- dalam surat ke Stella, 15 Agustus 1902.

Membaca buku ini perasaan saya campur aduk. Sedih sekaligus terharu tapi juga bangga dengan sosok ibu Kartini. Karena sama-sama Taurus, saya seperti berkaca dengan teguhnya pendirian beliau. Dia berusaha sekuat-kuatnya untuk mencapai cita-citanya walaupun tidak semua terwujud.

Terima kasih, ibu Kartini atas sumbangsih pemikiranmu. Lapang dan terang selalu kuburmu. Aamiin.



Comments

Popular Posts