Resensi Buku "Memory for Forgetfulness"

 


Penulis: Mahmoud Darwish

Penerjemah: Barokah Ruziati

Penerbit: Gramedia Pustaka Utama


"Mereka tak berhenti mengebom barang sekejap pun. Mereka membajak langit."


Ini perkenalan pertama saya dengan Mahmoud Darwish. Buku pertama beliau yang saya baca. Saya menemukan buku ini di Perpustakaan Nasional dan boleh dipinjam untuk dibawa pulang.

Buku ini merupakan catatan Darwish atas pengalaman getir menyaksikan Beirut, Lebanon, dibombardir pasukan Israel pada tahun 1982. 

Darwish adalah penyair Palestina, yang kemudian mengungsi dan tinggal di Beirut. Dia bersama jutaan warga Palestina lainnya adalah korban dari penjajah Israel, yang terusir tanah air mereka dan mencari kehidupan di negara lain.

Selama dua bulan lebih, dari 14 Juni sampai 23 Agustus 1982, Beirut dikepung dan diserang Israel dan pendukung Falangis atau sekutu mereka. Mereka menyasar Beirut untuk melumpuhkan gerakan kelompok perlawanan Palestina dan sekutu-sekutu nasionalis mereka yang ada di Lebanon. Pasukan Israel bahkan menyasar apartemen atau permukiman warga sipil, menewaskan ratusan orang.

Setelah peristiwa berdarah itu, Darwish menyusuri jalan-jalan di Beirut. Menyaksikan kehancuran di sekelilingnya. 

"Tidak ada yang bebas dari pengeboman, dan hari ini sepertinya takkan pernah berakhir. Agustus adalah bulan paling kejam. Agustus adalah bulan terpanjang. Dan hari ini adalah hari paling kejam di bulan Agustus, dan paling panjang. Apakah hari ini tidak akan berakhir?" (halaman 181)

"Agustus bulan yang rendah, kejam, agresif, benci, dan khianat. Agustus, tega menyuplai simbol dengan semua mayat yang dibutuhkannya dan meredakan kelesuan tubuh dengan kemurungan beruap atau kelembapan panas dan pekat apa pun yang mungkin ingin dikencingi alam." (halaman 252)

Buku ini ditulis dengan gaya puisi prosa. Dalam memoar ini, kita dibawa untuk merasakan rasa sakit, kehancuran, kesedihan, ketakutan orang-orang Palestina yang terusir dari tanah air mereka sendiri. Di pengungsian pun mereka tetap menjadi sasaran, di tempat yang mereka kira aman dan bisa menjanjikan kehidupan yang lebih baik bagi mereka.

Pada hari Mahmoud Darwish keluar melihat kehancuran yang disebabkan Israel, dia bertemu dengan banyak orang, berdialog dengan teman sesama penyairnya, bertemu pejuang dan pemimpin Palestina, perempuan yang membuatnya jatuh cinta, dan juga bertemu hantu pejabat Palestina yang diduga diracun Israel saat berkunjung ke Prancis.

Beirut sangat berarti bagi Mahmoud Darwish, dan juga orang-orang Palestina. Dan penyerangan Israel pada 1982 terhadap kota ini adalah salah satu serangan paling brutal penjajah Israel yang pernah tercatat dalam sejarah.

"Beirut adalah kota tempat informasi dan ekspresi politik bangsa Palestina berkembang. Beirut adalah tempat kelahiran ribuan orang Palestina yang tak mengenal kampung halaman lain. Beirut adalah pulau tempat para imigran Arab yang memimpikan dunia baru mendarat." (halaman 200)

Dia juga mengungkapkan kerinduan akan tanah airnya. Dia mengkritik negara-negara Arab yang enggan menerima pengungsi Palestina. Baginya, rakyat Palestina berada di wilayah abu-abu. Di tanah airnya mereka terusir, di tempat lain mereka tidak dianggap. Dia juga mengkritik pemimpin Lebanon yang bersekutu dengan Israel.

"Ya, seekor tikus punya kekuatan untuk mengevakuasi seisi kota dan memimpin seisi negeri." (halaman 251)

Buku ini adalah upaya melawan ketakutan dan penghancuran. Menurut Mahmoud Darwish, sejumlah karya tulis bangsa Palestina tidak berani mengakui perasaan ketakutan mereka. Dan buku ini bertujuan untuk melawan fakta akan ketakutan, kekerasan, dan penghancuran.

Membaca buku ini adalah cara lain menikmati buku sejarah soal Palestina. Buku ini ditulis tahun 1985, ketika Mahmoud Darwish mengasingkan diri di apartemennya di Paris selama sekitar 90 hari. Tahun itu adalah tiga tahun setelah pengeboman dan setelah kepemimpinan Palestina terusir dan pasukan Israel memasuki Beirut.

Comments

Popular Posts