Resensi Buku "Great Books Written in Prison"

 



Judul: Great Books Written in Prison; Essays on Classic Works from Plato to Martin Luther King Jr.


Editor: J. Ward Regan

Penerbit: McFarland & Company, Inc., Publishers

Tahun: 2015

Bahasa: Inggris


Awalnya agak skeptical dengan buku ini dan mikir bakal lama saya bacanya karena pasti bahasanya sulit banget seperti bahasa akademis gitu, mengingat ini esai dan ditulis para akademisi. Sebagian besar atau bahkan hampir semua esai dalam buku ini ditulis akademisi dari New York University (NYU).

Tapi dugaanku salah. Bahasanya mudah dipahami awam seperti saya dan saya punya banyak wawasan baru setelah membaca buku ini.

Ada 15 esai yang disuguhkan buku ini dan menurut saya semuanya menarik. Tapi sebenarnya memang tidak semua buku tersebut ditulis dalam penjara, tapi tetap ada kaitannya dengan penjara atau proses hukum. Esai berjudul Trial and Death by Execution ini ditulis Farzad Mahootian. Esai ini berkutat pada buku yang mengisahkan tentang proses peradilan dan eksekusi terhadap Socrates, ditulis salah satu muridnya, Plato.

Esai ini memaparkan proses peradilan Socrates yang diambil dari dua sudut pandang berbeda; Xenophon dan Plato.  Socrates menganggap penangkapannya adalah sesuatu yang tidak adil.

Socrates ditangkap karena mengkritik pemerintahan Athena ketika itu.

Xenophon dan Plato memang sama-sama murid Socrates, tapi Xenophon tidak seterkenal Plato. Ketika menyaksikan persidangan dan menuliskan pendapatnya, tulisan Xenophon lebih condong menjadi semacam apologi bahwa Socrates mengakui apa yang didakwakan kepadanya.

Sementara itu, Plato menulis adegan yang terjadi di dalam persidangan, ketika Socrates menggugat dan melawan dakwaan yang dijatuhkan padanya yang dianggap tidak adil di hadapan pengadilan yang tidak adil. Tulisan Plato semacam penghormatan kepada gurunya. Termasuk juga bagaimana tanggapan Socrates atas kematian yang akan dihadapinya setelah vonis eksekusi mati dijatuhkan padanya.

Esai ini juga membahas hal-hal berkaitan dengan filsafat, dan memang agak susah dicerna otak yang pas-pasan ini haha.

Selanjutnya ada esai Boethius’s Consolation of Philosophy: Why Do the Innocent Suffer? yang ditulis Heidi White. Anicius Boethius adalah seorang ahli teologi kuno yang mempertanyakan kenapa kejahatan ada di dunia dan orang-orang yang berbuat jahat cenderung menang atau mendapat banyak kenikmatan duniawi. Dalam bukunya yang ditulis dalam penjara, Consolation of Philosophy, Boethius mempertanyakan kenapa Tuhan membiarkan ketidakadilan terjadi di dunia ini.

Boethius dipenjara setelah tidak lagi disukai oleh penguasa saat itu, raja Ostrogoth Theodoric, dan akhirnya dieksekusi.

Boethius dalam bukunya menuliskan percakapannya dengan Ibu Filsafat, tokoh rekaan dalam kepalanya, di mana dia mengajukan berbagai pertanyaan.

He seeks to understand why evil exists in the world, and he seeks to understand it in terms of reason and common sense, not blind faith.

Boethius is particularly distressed that the wicked so often seem to enjoy prosperity.

Di dalam bukunya, Boethius menyampaikan kepada Ibu Filsafat, dia menganggap dirinya sebagai manusia paling tidak bahagia dan berharap segera mati. Namun demikian dia tetap berusaha untuk bahagia di tengah segala hal yang dia alami dan ketidakadilan yang dia saksikan.

One of Lady Philosophy’s key contentions, drawn from the ancient Stoic tradition, is that we truly control only our own will—not the external world. Our conduct and our attitude are within our power, but all external things are ultimately beyond our power. If we then seek to found our happiness on things that we cannot control, we will ultimately be defeated—and unhappy.


Poetic Justice: The Civilization of the Heart in Malory’s Morte Darthur adalah esai yang ditulis Stephanie Kiceluk. Esai ini membahas buku Le Morte Darthur atau dikenal sebagai Legenda Raja Arthur karya Sir Thomas Malory.

Arthur adalah salah satu karakter termasyhur dalam dunia sastra. Tidak hanya menjadi subjek penelitian akademi tapi juga telah menjadi bagian budaya populer.

Buku ini ditulis dari dalam penjara ketika Malory sedang menunggu eksekusi matinya. Malory, pada abad ke-15 di Inggris, terjebak dalam kekacauan perang yang disebut War of the Roses.

Menurut editor buku ini, Malory sama seperti penulis dalam buku ini, dia tidak dipenjara karena berbuat kriminal, melainkan karena afiliasi politik dan permainan kekuasaan.

Selanjutnya adalah esai tentang buku Don Quixote yang ditulis Cervantes dari dalam penjara. Ini salah satu buku termasyhur dan sayangnya saya belum baca, mungkin segera bakal saya baca. Esai berjudul A Prisoner of Circumstance: Cervantes, Don Quixote and Literary Self-Authorship in the Early Modern Period
ditulis Sean Eve.

Cervantes dipenjara bukan karena aktivitas politiknya, sebagaimana para tokoh atau penulis yang dibahas dalam buku ini. Tapi dia dipenjara akibat dari perang dan ekonomi. Kisah dalam Don Quixote adalah sebuah refleksi kehidupan Cervantes saat berada di Aljazair dan Spanyol. Dia pernah menjadi tentara dan tawanan di Aljazari dari tahun 1575 sampai 1580.

Cervantes dikenal setelah Don Quixote terbit pada tahun 1605, ketika dia berusia 57 tahun. at which point the author was already fifty seven. Making matters worse, Cervantes chose to share very little about his life in Spain, concentrating his autobiographical efforts on the years he spent as a soldier and captive in Algiers from 1575 to 1580.

"Cervantes’ life, as it has come down to us, is a story of empire and corruption, of a soldier’s sacrifice and a veteran’s disappointments,"


Selanjutnya adalah membahas karya Thomas Paine dalam esai Thomas Paine and The Age of Reason yang ditulis J. Ward Regan.

Thomas Paine adalah pahlawan revolusi Amerika kelahiran Inggris. Dia lahir pada 29 Januari 1737 di Norfolk. Paine kemudian bermigrasi ke koloni Inggris di Amerika Utara. Dia kenal dan berteman dengan Benjamin Franklin, berkenalan di London. Saat berlayar ke Amerika, dia membawa surat dari Franklin dan tiba di Philadelphia pada akhir 1774.

Kemudian muncul revolusi di AS melawan koloni Inggris. Di sini Paine menulis Common Sense, mengutarakan pendapatnya tentang kemerdekaan Amerika. Tulisan laris dan terjual ratusan ribu kopi, membuat Paine terkenal.

Setelah Revolusi Amerika, dia pindah ke Eropa, karena merasa tidak ada pekerjaan yang menghasilkan gaji besar di AS. Dia berada di Inggris pada 1787 ketika Revolusi Prancis pecah, yang sekali lagi membawanya pada transformasi politik.

Pada 1792, dia pindah ke Prancis dan terlibat politik praktis di sana.

Dia juga dianggap sebagai penulis politik sangat kontroversial dan juga aktif dalam dunia politik sejak 1774. Dia pernah hidup di pengasingan di Prancis pada 1792 ketika divonis hukuman mati oleh Inggris.

Di mana pun dia hidup, Paine selalu melawan ketidakadilan yang disaksikannya. Di Prancis, dia kemudian menjadi target faksi-faksi di dalam pemerintah Revolusi Prancis selama masa Reign of Terror (Kekuasaan Teror). Dia hidup di pengasingan selama 10 tahun dan termasuk 10 bulan di dalam penjara. Ketika di penjara inilah dia menulis The Age of Reason, di mana dia menyerang langsung institusi keagamaan di dunia serta berisi seruan kembali ke moralitas. Dia merevisi buku ini saat berada di dalam penjara Luxembourg, menunggu hukuman mati tapi kemudian batal dihukum mati.

Paine berpendapat Alkitab itu bukan sejarah, tapi produk dari proses kultural yang menciptakan mitos-mitos.

The Age of Reason banyak dijadikan teks acuan dasar oleh para pemikir bebas dan radikal. Buku ini dianggap berbahaya oleh elit penguasa dan pemimpin agama pada abad ke-18. Karena dianggap berbahaya, buku ini dibredel. Penerbit dan penjual buku di Inggris dipersekusi selama bertahun-tahun setelah buku ini terbit.

Pada 1791, Paine juga menulis The Rights of Man, Part I, tanggapan atas buku Reflections on the French Revolution, yang menentang Revolusi Prancis, ditulis oleh orang Inggris,  Edmund Burke pada 1790.


Penulis yang sejak dulu sangat ingin saya baca karyanya adalah Henry David Thoreau. Namun sampai saat ini belum kesampaian. Esai Thoreau’s Rhetoric of Resistance yang ditulis Peter Diamond ini memberi insight baru buat saya tentang sosok Thoreau dan semakin ingin membaca buku-bukunya.

Saya salut oleh sikap Thoreau melawan pemerintah karena menentang perbudakan yang didukung pemerintah. Bukunya,
“Resistance to Civil Government” (1849), adalah salah satu yang paling berpengaruh.

Thoreau menolak bayar pajak karena pemerintah terlibat dalam perbudakan. Ini membuatnya ditangkap dan dijebloskan ke penjara. Thoreau pernah tinggal di rumah Ralph Waldo Emerson, seniornya, 14 tahun lebih tua dari dirinya.

He regarded politics as an essentially sordid business, which a virtuous citizenry must learn to transcend (Ia memandang politik sebagai bisnis yang hakikatnya kotor, yang harus dipelajari untuk diatasi oleh warga negara yang berbudi luhur).

Menyalaaah bapak Thoreau!


Saya baru tahu Oscar Wilde seorang gay setelah membaca esai ini, Epistle from Prison: Oscar Wilde’s De Profundis [Epistola in Carcere et Vinculis] yang ditulis Joseph J. Portanova.

Oscar Wilde (1854–1900), dipenjara karena penyimpangan seksualnya. Pada 1981, dia dekat dan menjalin hubungan dengan pria bangsawan, Lord Alfred (“Bosie”) Douglas. Bosie berusia 21 tahun dan putra dari Marquess of Queensberry. Hubungan terlarang ini memicu masalah keluarga dan membuat Wilde dipenjara.

Marquess of Queensberry melarang putranya berhubungan dengan Wilde tapi Bosie menolak. Lalu Wilde dilaporkan ke polisi dan ditangkap. Sebelumnya Wilde kerap diancam dan dipersekusi keluarga Bosie.

Sampai segininya:

In June of 1894 Queensberry appeared at Wilde’s home with a prizefighter and threatened the author. Wilde threw Queensberry and his associate out. On February 14th of the following year, Queensberry was prevented from attending the opening of Wilde’s The Importance of Being Earnest, which the Marquess had planned to disrupt with a basket of vegetables that he intended to throw at the stage. On February 18, 1895, Queensberry left a visiting card at the private gentlemen’s club to which Wilde belonged inscribed “To Oscar Wilde posing [as a] somdomite” (In his anger, or out of ignorance, Queensberry misspelled “sodomite”).

Wilde berniat meninggalkan Bosie, tapi kemudian Bosie mengancam bunuh diri. Namun demikian, Bosie juga telah memakan habis hidup Wilde dan menyalahkannya atas kehancuran hidupnya. Seperti tertulis dalam suratnya:

“Having made your own of my genius, my will-power, and my fortune, you required, in the blindness of an inexhaustible greed, my entire existence."

Wilde juga sempat menggugat Queensberry terkait pencemaran nama baik. Wilde disebut tidak hanya berhubungan dengan Bosie, tapi banyak pria muda lainnya dan itulah yang dimanfaatkan Queensberry untuk menjebloskan Wilde ke penjara dan mengaitkannya dengan kasus sodomi.

Pada 1861, sodomi antara pria dilarang di Inggris dan pelakunya bisa dihukum mati. Namun kemudian diubah hukumannya menjadi penjara 10 tahun sampai seumur hidup disertai kerja paksa.

Hukuman penjara menghancurkan karir Wilde, membuatnya bangkrut dan diduga sebagai penyebab dia mati di usia muda.

"The British prison system at this time was designed to punish rather than to rehabilitate. The food was deliberately inadequate; the labor monotonous. Conversation with other prisoners was forbidden. No personal property was allowed in the ill-ventilated, poorly-lit cells."

Buku “Epistola: In Carcere et Vinculis” [Letter/Epistle: In Prison and in Chains] atau yang juga disebut De Profundis adalah surat-surat Wilde kepada Bosie atau Douglas. Buku ini juga disebut sebagai surat cinta, perlawanan terhadap kehidupan penjara, hukuman bagi Douglas, himne penderitaan, individualisme, rehabilitasi, dan Kristus.

"It has also been called a self-serving mythology, an apologia and confession, a movement from adoration of Douglas’ physical body to adoration of Christ’s spiritual body, a refusal to reform, a repudiation of his former life, an affirmation of his former life, and a cynical comedy aimed at deceiving society."

Setelah Wilde keluar penjara, dia bersatu kembali dengan Douglas tapi kemudian putus lagi karena Wilde kembali diancam keluarga Queensberry dan juga karena masalah keuangan.

"De Profundis, combines his suffering, homosexuality, Christianity, Paganism, humor and wit, with a description of his tempestuous relationship with Douglas."

Filsuf Bertrand Russel juga pernah dipenjara dan menulis karya-karyanya dari balik jeruji besi. Dia dipenjara karena opininya mengkritik penguasa di Inggris yang kerap mengobarkan perang. Dia dipenjara selama enam bulan karena mengkritik pemerintah. Hal tersebut diungkapkan Phil Washburn dalam esainya Bertrand Russell, World War I and Analytic Philosophy.

Dipenjaranya Russell ini mengejutkan banyak pihak. Ketika itu, memenjarakan seorang demonstran atau pengkritik dan orang yang anti perang adalah hal yang aneh atau tidak biasa.

Russell terkenal karena salah satu bukunya yang ditulis bersama Alfred N. Whitehead, Principia Mathematica. Ini adalah sebuah risalah tiga volume yang berpengaruh tentang hakikat matematika dan filsafat.

Pada 1914, Russell diundang sebagai dosen di Universitas Harvard, AS dan berkeliling negara tersebut memberikan kuliah umum.

Russell berasal dari keluarga aristokrat di Inggris. Kakeknya,
Lord John Russell, dua kali menjabat perdana menteri di bawah kekuasaan Ratu Victoria, dan juga perancang RUU Reformasi 1832.

Russell menentang perang sejak Agustus 1914. Dia memaparkan gagasannya secara jelas dalam bahasa yang mudah dipahami semua kalangan. Ketika mengkritik kebijakan perang pemerintah Inggris, dia juga dipecat sebagai pengajar di Universitas Cambdrigde dan dijauhi rekan-rekannya.

Bagi Russell, ada perang yang dapat dibenarkan. Tapi tidak dengan perang Inggris melawan Jerman ketika itu. Dia juga sebenarnya menentang perang karena benar-benar menolak kekerasan, tapi dia sempat mendukung revolusi di Rusia, karena itulah dasar pandangannya ini dinilai rumit.

Di dalam penjara, dia menulis Introduction to Mathematical Philosophy, yang sangat jauh dari pandangannya terkait perang. Buku ini, yang bersama dengan karya-karyanya yang lain membantu menciptakan filsafat analitis, model filsafat yang dominan di Inggris dan AS. Buku ini bukan soal perang, politik, kebijakan tetapi sifat dasar matematika. 

"In one way, then, we can think of Introduction to Mathematical Philosophy as a complete about-face, a flight from the emotional, messy work of persuasion and advocacy into a realm of impersonal, eternal concepts and pure thought. Russell himself spoke of his prison experience as a kind of rest, and his book as a refreshing return to his original vocation of philosophy."

Buku ini juga dianggap sebagai perlawanan terhadap asumsi konvensional dalam bidang filsafat. Menurut Washburn, aktivisme anti perang Russell tetap ada kaitannya dengan buku tersebut:

Russell believed his philosophical work was as valuable as his political work. He explains the value of philosophy in the concluding passage of his earlier book, The Problems of Philosophy. He says,Philosophy is to be studied, not for the sake of any definite answers to its questions, … but for the sake of the questions themselves; because these questions enlarge our conception of what is possible, enrich our intellectual imagination and diminish the dogmatic assurance which closes the mind against speculation; but above all because through the greatness of the universe which philosophy contemplates, the mind also is rendered great and becomes capable of that union with the universe which constitutes its highest good [Russell, The Problems of Philosophy 161].


“All this madness, all this rage, all this flaming death of our civilization and our hopes, has been brought about because a set of official gentlemen, living luxurious lives, mostly stupid, and all without imagination or heart, have chosen that it should occur rather than that any one of them should suffer some infinitesimal rebuff to his country’s pride.” Ray Monk, Bertrand Russell: The Spirit of Solitude, 1872–1921 (New York: The Free Press, 1996), 369. 

Pada 1950, dia dianugerahi Nobel Sastra karena "karya-karyanya yang beragam dan penting di mana ia memperjuangkan cita-cita kemanusiaan dan kebebasan berpikir", menurut Komite Nobel Sastra.

Dalam buku ini juga mengulas karya dua pejuang India yang melawan kolonialisme Inggris yaitu Mahatma Gandhi dan Jawaharlal Nehru. Martin F. Reichter menulis esai fokus pada Satyagraha yang dianjurkan Gandhi, His Majesty’s Hotels:
Gandhi’s Satyagraha in South Africa.

Satyagraha in South Africa (1924) ditulis Mohandas Karamchand Gandhi ketika di dalam penjara Afrika Selatan. Gandhi sempat menetap dan bekerja di Afrika Selatan sebelum kemudian pindah ke India memimpin perlawanan terhadap Inggris melalui jalan nirkekerasan.

Dalam buku tersebut, Gandhi meminta pengikutnya menjadikan atau menganggap sebagai "hotel Yang Mulia" (His Majesty’s hotels) dan penderitaan sebagai "kebahagiaan yang sempurna" (perfect bliss).

Gandhi lahir pada 2 Oktober 1869 di Porbander, India. Dia berasal dari keluarga kasta pedagang Gujarat. Dia menghabiskan 2.327 hari dalam hidupnya di dalam penjara.
Satyagraha adalah istilah yang dicetuskan Gandhi dengan bantuan seorang pengikutnya; istilah ini secara kasar diterjemahkan sebagai “kekuatan kebenaran,” “keteguhan dalam kebenaran,” atau “kekuatan jiwa.”

Dalam pandangan Gandhi, dunia ini diliputi kekerasan dalam berbagai aspek. Bahkan ketika manusia makan dan bercinta juga melibatkan kekerasan. Karena itulah kemudian dia memilih jalan melawan tanpa kekerasan.

Dalam Satyagraha, dia mengajarkan para pengikutnya mereka perlu dilatih agar tidak takut pada kematian dan tidak perlu menggunakan kekerasan di dalam melawan. Keberanian semacam itu di tengah penderitaan malah akan membuat musuh gentar.

Jawaharlal Nehru adalah pejuang lain yang menentang sistem kolonial Inggris yang dikenal karena perjuangan panjangnya untuk penentuan nasib sendiri negaranya, tulis Tilottama Tharoor dalam esainya, Jawaharlal Nehru’s Discovery of India: The Writing of History, Fighting for Freedom in Ahmandnager Jail.

Nehru adalah perdana menteri pertama India, ketika India baru merdeka dari Inggris. Dia diangkat sebagai PM hanya dua tahun setelah dia keluar penjara.

Di dalam penjara, Nehru menulis buku Discovery of India, tentang pandangannya terkait sejarah, rakyat, politik dan masa depan India.

The Discovery of India is a culmination of Nehru’s explorations of history, India and himself, and a preparation for India’s self-governance and his assumption of power. In “discovering India,” he was delineating its past, dissecting its colonial present and determining its independent future.

Buku tersebut tujuan utamanya adalah untuk memahami dan menjelaskan penyebab, keadaan dan konsekuensi penjajahan India oleh Inggris.

Saya juga baru tahu ternyata salah satu penjahat perang terkejam setelah Benjamin Netanyahu, Adolf Hitler pernah dipenjara. Mein Kampf, tulisannya yang terkenal ditulis ketika di dalam sel. Esai dalam buku ini Drifter’s Escape: Adolf Hitler and the Writing of Mein Kampf yang ditulis Rolf Wolfswinkel, mengulas kehidupan Hitler di dunia militer sampai politik.

Adolf Hitler lahir pada tanggal 20 April 1889 di kota perbatasan Austria, Braunau-am-Inn, tempat ayahnya, Alois, bekerja sebagai petugas bea cukai. Tahun-tahun awal kehidupan Hitler menjadi bahan spekulasi, karena bukunya sendiri merupakan satu-satunya sumber. Akibatnya, ada berbagai macam rumor yang terkadang menggelitik seputar leluhurnya.

Kekalahan Jerman pada November 1918 dalam perang di Eastern Front menjadi awal mula kebencian Hitler terhadap orang Yahudi. Jerman pernah menang setahun sebelumnya, lalu kalah. Kekalahan ini dianggap peran dari politikus sosialis dan komunis, yang sebagian besar Yahudi. Dari sinilah kemudian muncul anti-Semitisme Hitler.

Setelah mundur dari tentara, Hitler masuk politik dan bergabung dengan Partai Buruh Jerman (DAP) yang kemudian berubah menjadi NSDAP (Nasionalis Sosialis) yang disingkat menjadi Nazi. Dia diangkat menjadi führer atau pemimpin partai. Dia kemudian dipenjara atas dugaan makar setelah melakukan gerakan Munich March yang terinspirasi Musollini di Italia. Demo untuk menjatuhkan pemerintah gagal, Hitler ditangkap dan di dalam penjara dia menulis Mein Kampf (My Struggle).

Dia keluar penjara dan membangun kembali partainya, yang kemudian menjadikan Nazi berkuasa.


Selanjutnya adalah esai berjudul Antonio Gramsci’s The Prison Notebooks: A Humanist Reconstruction of Marxism yang ditulis Brendan Hogan.

Antonio Gramsci lahir dari keluarga yang ternama di Ghilarza, Sardinia, pada 1881. Bukunya, The Prison Notebooks, berisi kritik terhadap kapitalisme dan organisasi politik, juga kekuasaan politik.

Dia pernah menjadi anggota Partai Komunis Italia dan menjadi anggota parlemen dan menjadi wakil Partai Komunis. Dia ditangkap pada 8 November 1926 di Roma dan berpindah-pindah dari dan ke berbagai penjara selama 11 tahun dan meninggal di penjara pada 1937.

Gramsci ditangkap ketika diktator fasis Benito Mussolini berkuasa dan ketika itu memerintahkan anggota parlemen dari Partai Komunis agar dimasukkan dalam daftar orang-orang yang dipecat karena dianggap mengabaikan tugas-tugas parlemen.

"The list of expelled parliamentarians had been created as punishment for setting up an alternative government known as the Aventine Secession, in protest to the increasingly authoritarian and dictatorial methods of Mussolini. Up for specific targeting were those groups who championed the causes of worker rights and organized labor, often self-proclaimed socialists and communists, and those who had criticized the Fascists."

Gramsci ditangkap atas tuduhan "konspirasi, mendorong perang sipil, menjustifikasi tindakan kriminal, dan menimbulkan kebencian kelas".

The Prison Notebooks merupakan kumpulan catatan, tulisan, dan komentar Gramsci atas berbagai topik dan masalah.

Ini adalah satu-satunya buku fiksi yang ditulis di dalam penjara yang diulas dalam esai Afrodesia E. McCannon berjudul Jean Genet: Our Lady of the Flowers in Prison.

Jean Genet tidak seterkenal figur-figur lainnya dalam buku ini. Dia juga dipenjara bukan karena aktivitas politiknya, melainkan karena kasus pencurian. Our Lady of the Flowers adalah novelnya yang sangat terkenal, ditulis ketika dia dipenjara pada 1941 dan mengisahkan tentang kehidupan di dalam penjara. Tahun tersebut Genet ditangkap untuk 10 kalinya, sebagian besar dia dipenjara karena menggelandang dan mencuri, seringkali karena mencuri buku.

Buku tersebut menggambarkan kehidupan kaum queer atau homo seksual. Dia juga mengaku sebagai seorang queer.

Our Lady of the Flowers menarasikan fantasi seorang banci, Divine (lahir dengan nama Louis Culafroy). Divine adalah seorang drag queen dan PSK, tinggal di lingkungan Montmartre, Paris.

Pada kurun 1930-an, kaum queer ini dianggap hina, kotor dan terpinggirkan. Namun Genet memilih fokus mengangkat kisah mereka.

"Beauty is redefined in the way that language is re-invented in this context as well. Genet introduces us to 1930s Montmartre queer slang, poetic and foreign, central in the text but marginal in the society: tantes-filles, tantes-gars, tapettes, pédales, tantouzes, macs, macquereau (girl-queens, boy-queens, aunties, fags, nellies, pimps, hustler)."


Ini adalah salah satu esai yang paling saya suka. Dengan esai ini, saya mengenal pemikir Islam seperti Sayyid Qutb. Esai berjudul In the Shadows of Prison: Sayyid Qutb’s Visions of a Perfect World ini ditulis oleh Peter C. Valenti.

Esai ini mengulas perubahan pandangan Qutb dari seorang sekuler atau moderat menjadi garis keras atau radikal dalam pandangan Barat.

Sayyid Qutb adalah guru, penulis, kritikus sastra, dan aktivis yang menentang pemerintah Mesir. Dia dianggap berbahaya dan berkali-kali dipenjara dan terakhir dia dieksekusi mati pada 1966.

Perubahan Qutb dari seorang penulis novel dan cerpen, pengkritik sastra, dan dari persuasi politik nasional sekuler menjadi fokus membahas topik seputar keislaman bermula sejak 1939. Hal ini dipengaruhi sejumlah perkembangan yang terjadi di Mesir maupun di luar negeri. Salah satunya adalah disrupsi politik, sosial dan ekonomi yang disebabkan Perang Dunia II. Ketika itu, Mesir masih dijajah Inggris. Inggris menjanjikan perubahan di Mesir jika orang Mesir mendukung Inggris dalam Perang Dunia II, namun janji itu tak pernah ditepati.

"Qutb, always distressed by social injustice, poverty, political ineptitude and corruption, saw the war exacerbate these conditions greatly. Also, the 1930 and ’40s were witness to a revival of intellectual interest in Islamic history in tandem with an evolving dissatisfaction with the unfulfilled promises of liberal and nationalist political parties and institutions."

Selain itu, perubahan Qutb disebabkan penjajahan Israel di Palestina, yang bermula dari dukungan Inggris atas gerakan Zionisme di Palestina. Ini kemudian memicu peristiwa Nakba, ketika 750,000 orang Palestina terusir dari tanah airnya pada 1948 negara Israel terbentuk.

"Prior to 1948 he believed that Zionism (post–1948, Israel) was another example of Western imperialism in the Middle East; later he added that Israel represented a historical enmity of Jews toward Islam. Qutb, like Arabs in general, was dismayed by what he saw as the U.S. abandoning its role as champion of justice, democracy, and anti-imperialism by ignoring Palestinian pleas for self-determination."

Ada juga alasan yang lebih personal, seperti kematian ibunya pada 1940 dan pertunangannya yang gagal pada 1943.

"These events plus his health problems, which continued to plague him throughout his life, caused periods of depression and a reason to “turn to his religion for refuge”."


Sayyid Qutb terinspirasi pemikir Islam asal India, salah satunya  Sayyid Abu al-‘Ala Mawdudi ketika menulis In The Shade of Alquran (ISQ) atau Al Zalzilul Quran.

Sayyid Qutb pernah satu gerbong dengan Gamal Abdul Nasser saat sama-sama menggerakkan revolusi melawan monarki Mesir. Namun ketika monarki berhasil digulingkan, Nasser ingin menjadikan Mesir negara berbasir nasionalisme sekuler. Qutb dan ikhwanul Muslimin merasa dimanfaatkan oleh Nasser dan anggota gerakan revolusionernya.

"Actually Qutb still maintained a moderate Islamist position even in his first few years in jail. His ideas at this point could be best described as social reformism. It is only over the accumulating years in jail that Qutb moved to a radical position."

Di dalam penjara, Qutb menulis ISQ, tafsir Alquran sebanyak 30 volume. ISQ disebut sebagai pernyataan Qutb bagaimana kita membaca Alquran juga apa yang harus dilakukan seorang Muslim berdasarkan ayat-ayat di dalam Alquran.

Selain ISQ, Qutb juga menulis Milestones ketika di dalam penjara. Dia sempat keluar dari penjara dan ketika itu kesehatannya memburuk. Namun kemudian dia masuk penjara lagi karena dituduh merencanakan pembunuhan Gamal Abdul Nasser dan dihukum gantung. Sebelum dieksekusi, dia sempat bersalaman dengan eksekutornya.


Martin Luther King, Jr., “Letter from a Birmingham Jail”
and Nonviolent Social Transformation ditulis Joyce Apsel adalah esai penutup dalam buku ini.

Saya dulu pikir Martin Luther King ini adalah tokoh agama Kristen yang mendirikan Protestan atau mungkin anaknya, ternyata saya salah. Mereka hidup di era yang berbeda dan jaraknya cukup jauh. Saya juga mengira Martin Luther King Jr ini adalah pendeta, tapi bukan. Tapi memang ayahnya adalah seorang pendeta.

Letter from a Birmingham Jail (1963) ditulis Martin Luther King, Jr saat dipenjara. Buku ini merupakan deskripsi klasik dan pembelaan atas pembangkangan sipil dan penanda Gerakan HAM Sipil AS.

Buku ini juga merupakan manifesto universal soal kemerdekaan dan kesetaraan.

Martin Luther King, Jr. (1929–1968) bersama ribuan aktivis dijebloskan ke penjara karena berulang kali memprotes UU dan praktik segregasi di AS, yang merupakan akar dari rasisme atau bentuk dukungan pemerintah terhadap rasisme. Gerakan Hak-Hak Sipil ini mulai melakukan protes dalam kurun waktu 1950-an dan 1960-an.

Rasisme di AS kala itu sangat parah. Sampai saya tercengang. Gila.

Martin Luther King Jr pernah dipenjara di Birmingham pada 1963, saya pikir ini Birmingham Inggris tapi di AS. Birmingham, Alabama, berdiri pada 1871, enam tahun setelah Perang Sipil berakhir. Kota ini sangat rasis karena pemerintahnya memberlakukan praktik dan kebijakan segregasi, mirip apartheid di Afrika Selatan dan Israel saat ini.

"In Birmingham in the early 1960s, discrimination against African Americans—who made up 40 percent of the population—continued with segregation in public and private institutions and spheres, employment access limited to low-paying jobs without benefits, and obstruction of voter registration."

Letter from a Birmingham Jail pada pendeta dan orang awam baik berkulit hitam atau putih, agar mendukung gerakan anti rasisme untuk menghapuskan segregasi dan kesetaraan rasial.

Dalam aktivismenya, Martin Luther King Jr terinspirasi Yesus, Thoreau sampai Gandhi.

"Oppressed people cannot remain oppressed forever. The yearning for freedom eventually manifests itself."

“Racial prejudice and misunderstanding will be lifted from our fear-drenched communities, and in some not too distant tomorrow the radiant stars of love and brotherhood will shine over our great nation with all their scintillating beauty."


Buku ini membawa saya pada satu kesimpulan bahwa menulis adalah sebuah bentuk perlawanan.

Next baca apalagi ya?



Comments

Popular Posts