Review Film "Kya Dilli Kya Lahore", Perang dan Pertaruhan Rasa Kemanusiaan






Judul        : Kya Dilli Kya Lahore
Pemain       : Vijay Raaz, Manu Rishi, Raj Zutshi, Vishwajeet Pradhan
Sutradara    : Vijay Raaz
Durasi       : 1 Jam 38 Menit
Tahun        : 2014



Film ini dibuka dengan sebuah video dokumentasi tentang kemerdekaan India dan Pakistan, setelah kedua negara bertetangga ini terpisah. Partisi kedua negara ini dipenuhi dengan banyaknya darah tertumpah sebagai sebuah konsekuensi.

Di awal pemisahan India dan Pakistan, penduduk kedua negara ini bermigrasi dari perbatasan kedua negara. Ribuan penduduk dari Pakistan ke Delhi, begitu juga sebaliknya, orang India banyak yang kemudian pindah ke Pakistan. Dengan jumlah yang hampir sama, penduduk dari Uttar Pradesh, Haryana, Punjab, Himachal Pradesh, dan wilayah-wilayah lainnya pergi ke beberapa daerah di Pakistan seperti Karachi, Lahore, Mirpur, dan Sukul.

Biarkan garisnya tetap seperti itu
Mungkin seseorang sedang tersulut kemarahannya
Pergilah ke lapangan dan mainkanlah 'Kabaddi' (sebuah permainan di India)
Biarkanlah garisnya tetap seperti itu
Kau datang ke hadapanku dan menantangku
Memukul tanganku dan lari
Aku akan mendekapmu, akan menarik tanganmu
Dan tidak akan melepaskanmu
Di saat aku datang ke hadapanmu, kau juga menangkapku
Tidak membiarkanku menyentuh garis batasmu
Seseorang yang sedang tersulut kemarahannya
Pergilah ke lapangan dan mainkanlah Kabaddi
Biarkanlah garisnya tetap seperti itu
Biarkanlah garisnya tetap seperti itu

Puisi di atas adalah karya Gulzar, sekaligus menjadi narator pembuka di film ini. Kya Dilli Kya Lahore bersetting tahun 1948 ini mengambil tempat di India bagian utara, perbatasan India dan Pakistan.

Partisi dua negara yang sempat dihiasi dengan peperangan tak berujung ini membuka pikiran kita bahwa peperangan selalu membawa kepahitan, kehilangan, dan perpisahan. Film ini bercerita tentang dua orang tentara, Rehmat Ali dari kubu Pakistan (Vijay Raaz) dan Samarth (Manu Rishi) dari kubu India yang dipertemukan dalam satu pertempuran di daerah perbatasan. Rahmat diperintahkan komandannya yang diperankan Vishwajeet Pradhan untuk mencari peta yang menunjukkan dimana letak terowongan yang menghubungkan Delhi dan Pakistan. Peta ini disinyalir disimpan di markas tentara India.

Di markas tentara India, hanya ada seorang tentara yang bertugas, ia adalah juru masak, Samarth. Interaksi Rehmat dan Samarth yang menjadi fokus utama cerita film ini. Interaksi layaknya dua kubu yang berperang, mereka saling mengancam, mengeluarkan tembakan. Tapi meski kondisinya demikian, di tengah desing peluru yang mereka tembakkan, kedua musuh ini bercerita kenapa mereka sampai terlibat dalam perang yang seharusnya tak pernah terjadi.

Rehmat Ali, seorang Muslim pernah tinggal di Delhi. Namun karena partisi terjadi, kemudian memaksanya kembali ke Pakistan dan menjadi tentara untuk membela kedaulatan negaranya. Dalam obrolan tersebut, ia mengenang masa-masa tinggal di Delhi.

Pun demikian dengan Samarth. Ia seorang penganut Hindu dan bersama keluarganya ia lama tinggal di Lahore, Pakistan. Masa kecilnya dihabiskan disana. Pascapartisi, ia kembali ke India dan menjadi juru masak tentara yang berperang melawan Pakistan.

Selama dialog berlangsung, mereka menjadi merasa memiliki kedekatan emosional. Dan disinilah sisi kemanusiaan mereka dipertaruhkan. Apakah mereka harus saling membunuh atau tetap memelihara rasa kemanusiaan mereka atas dasar kedekatan emosional yang cukup erat di antara mereka.

Tidak pernah ada keuntungan dari peperangan kecuali darah, menjauhkan yang dekat, memisahkan ikatan yang telah terjalin erat, dan menggerus empati kemanusiaan. Film ini syarat nilai dan pelajaran berharga. Walaupun adegan dalam film ini hanya berpusat pada dua pemain; Rehmat dan Samarth, sementara porsi untuk Barfi Singh (Raj Zusthi) dan Viswajeet tidak terlalu banyak, namun film ini tidak membosankan. Film ini menguras airmata saya, dan akhir ceritanya menjadi bahan perenungan. Good job!

Saya juga terkesan dengan syair penutup di film ini:

Kau bukanlah seperti yang dikatakan. Kau tidak terlihat seperti yang dilihat. Kau bilang, itu semua bohong. Kau bukanlah seperti yang dikatakan. Kamu melukai kami, dan juga mengobatinya. Tanyakan padaku, bukan pada dirimu. Kau melakukan seharusnya yang tidak kau lakukan. Kau pembohong.

Lagu ini juga cukup menyentuh dan menjadi backsound sebelum Rehmat tertembak tentara India dan jatuh di pelukan Samarth. It was touching me deeply.

Cerita yang panjang. Percakapan diselesiakan dengan peluru, kata-kata menyakitkan. Cerita yang aneh. Darah bercampur lumpur. Pendeta kehilangan hidup mereka. Orang gila berkeliaran di perbatasan. Sebuah kapak melukai hatinya. Pintu yang tertutup. Darah tumpah di perbatasan. Tak ada kesempatan untuk hidup. Sedikit harapan ditemui. Menancap keras di kepala. Takdir tertulis di perbatasan. Tak ada kesempatan untuk hidup. Sedikit harapan ditemui.

 

Comments

Popular Posts