Resensi Buku "Di Mana Ada Cinta, Di Sana Tuhan Ada" - Petik Nilai Kehidupan dari Leo Tolstoy
Judul :
Di Mana Ada Cinta, Di Sana Tuhan Ada
Penulis :
Leo Tolstoy
Penerbit :
Serambi, 2011
Penerjemah :
Atta Verin
Halaman : 193
Buku ini adalah kumpulan cerita pendek (cerpen)
Leo Tolstoy. Walaupun buku ini hanya terdiri dari lima cerpen, tapi banyak
pesan moral dan nilai-nilai kehidupan yang ditanamkan Tolstoy dalam buku ini.
Khususnya bagaimana hubungan Tuhan dan manusia, jika kita tempatkan Tuhan di
urutan pertama kehidupan kita, kemanapun kita melangkah, bahwa Dia Yang Maha
Segala akan selalu ada.
Lima cerpen di buku ini yaitu; Di Mana Ada
Cinta, Di Sana Tuhan Ada, Tuhan Tahu, Tapi Menunggu, Tiga Pertapa, Majikan dan
Pelayan, dan Dua Lelaki Tua. Kebiasaanku jika membaca buku, selalu menandai
pesan-pesan atau kata-kata yang bisa aku jadikan motivasi diriku. Seperti
beberapa pesan yang aku kutip di bawah ini:
1. “Kita harus hidup untuk Tuhan, Martin. Tuhan
yang memberimu hidup, dan demi kuasa-Nya-lah kau hidup. Ketika kau mulai hidup
untuk-Nya, kau tidak akan berduka atas apa pun, dan segalanya akan terasa mudah
bagimu.” (Di Mana Ada Cinta, Di Sana Tuhan Ada. Halaman 10).
2. “Bekerjalah yang keras dan Tuhan akan
memberikan sisanya kepadamu. Bila Ia memberi kesehatan dan kekuatan kepadamu,
itu saja sudah cukup.” (Majikan dan Pelayan. Halaman 119).
3. “Tuhan memberikan pertolongan kepada mereka
yang menolong diri sendiri, tapi tidak kepada orang yang tak bekerja, para
pemalas, dan orang-orang bodoh.” (Majikan dan Pelayan. Halaman 120).
4. “Apa gunanya menyeberang lautan untuk mencari
Tuhan, bila selama itu aku kehilangan kebenaran yang ada dalam diriku.” (Dua
Lelaki Tua. Halaman 171).
5. “Bahwa di dunia ini Tuhan memerintahkan
kepada setiap orang agar bekerja keras menebus utang kewajiban hidupnya dengan
jalan kasih sayang dan melakukan pekerjaan-pekerjaan yang baik sampai ia mati.”
(Dua Lelaki Tua. Halaman 193).
Cerpen yang paling mengena di benakku adalah
cerita terakhir dari buku ini yaitu Dua Lelaki Tua. Dua orang kakek, Elisha dan
Efim merencanakan perjalanan ziarah dengan berjalan kaki. Tapi setelah sampai
di suatu tempat, Elisha tak melanjutkan perjalanan ziarahnya. Ia lebih memilih
menolong orang-orang miskin kelaparan dan membantu mereka memperbaiki hidup.
Setelah itu ia kembali pulang ke rumahnya. Sementara Efim, yang merupakan orang
kaya tetap melanjutkan perjalanan hingga ia sampai di tempat tujuan. Tapi di
sebuah tempat ziarah, pada sebuah acara, Efim melihat Elisha yang dikiranya
telah mendahuluinya sampai disana. Tapi Elisha tak pernah sampai di tempat
ziarah tersebut. Ia berada di rumahnya, melanjutkan pekerjaannya sebagai
pembuat sepatu.
Pengorbanan Elisha membantu sesamanya dengan
penuh keikhlasan dan kasih sayang, telah membuatnya sampai ke tujuan hidup yang
sebenarnya. Itulah kebajikan hidup. Ia rela menundukkan keinginannya, dan lebih
memilih untuk mendermakan miliknya, harta bendanya untuk sesama yang
membutuhkan. Sehingga walaupun fisiknya tak pernah sampai pada tempat ziarah,
tapi hatinya yang sampai kesana. Jiwanya, seperti yang terlihat oleh kakek
Efim.
Comments
Post a Comment