Resensi Buku "The White Tiger"





Penulis        : Aravind Adiga
Penerjemah : Rosemary Kasauly
Penerbit      : Sheila, 2010

Buku ini pernah aku baca tahun lalu, tapi yang aku baca versi Bahasa Inggris. Pada saat berkunjung ke Perpustakaan Kota Mataram beberapa waktu lalu, aku melihat buku ini dan langsung aku pinjam, aku memutuskan untuk kembali membaca yang versi terjemahan.

Membaca buku ini membuatku syok. Ternyata di tengah zaman yang cukup maju, dimana orang-orang kerap berteriak lantang memperjuangkan hak asasi manusia, masih ada di belahan dunia ini perlakuan diskriminatif seperti yang diceritakan dalam buku ini. Walaupun buku ini fiksi, tapi aku yakin pengarang menuliskannya berdasarkan realita yang ia saksikan sendiri di sekelilingnya. Separah itukah perlakuan manusia ke manusia lainnya di India sana? Negeri impianku. Oh God. I was shocking while reading every words in this book.
Buku ini menceritakan kisah seorang Balram Halwai atau Munna yang berasal dari Kegelapan. Kegelapan merupakan sebutan bagi warga yang berasal dari keluarga miskin dan kasta terendah. Orang dari Kegelapan ini hanya diberikan kesempatan bekerja sebagai buruh atau pekerja kasar. Mereka yang berasal dari Kegelapan ini dianggap generasi setengah matang karena tidak pernah menamatkan sekolah. Berbeda dari golongan orang-orang kaya yang bersekolah di tempat yang bagus dan bahkan melanjutkan sekolah ke luar negeri.

Harimau putih atau White Tiger adalah julukan untuk Balram dari seorang pejabat yang datang ke sekolahnya. Ia dinilai memiliki semangat belajar yang lebih besar dan lebih pintar dibandingkan kawannya yang lain. Walaupun pada akhirnya Balram tak pernah menyelesaikan sekolahnya dan mengikuti kakaknya menjadi penjaga kedai teh.

Setelah beranjak dewasa, Balram bekerja sebagai seorang sopir. Ia bekerja sebagai sopir di rumah keluarga Ashok Sharma, seorang pengusaha kaya yang beristerikan wanita Amerika, Pinky Madam. Sampai pada akhirnya, Balram mengikuti tuannya ke Delhi dan disanalah ia menggorok leher Ashok dengan pecahan botol minuman keras. Setelah menggorok leher Ashok, Balram kabur dan membawa sekoper uang majikannya dan menjadikannya modal berbisnis taksi atau mobil jemputan.

Pada saat buron inilah, Balram menulis surat kepada Perdana Menteri (PM) China, Wen Jiabao yang akan datang ke India dan akan melakukan pertemuan dengan PM India dan para pejabat lainnya. Di surat inilah, secara sarkastik Balram menceritakan kebobrokan negerinya, dari sudut pandangnya yang selama ini menjadi kelas bawah dan dianaktirikan. Berbagai hal ia tuangkan dalam surat ini, mulai dari penindasan kelas bawah, tindakan diskriminatif, permainan politik para pejabat pada saat Pemilu, bahkan kebiasaan suap menyuap yang dilakukan para pengusaha kepada politisi, orang kaya menyuap polisi dan hakim.

Sistem kasta yang berlaku di India juga disindir Balram. “Di masa lalu, ada seribu kasta serta garis nasib di India. Sekarang ini hanya tinggal dua: Kasta Perut Buncit dan Kasta Perut Rata. Dan hanya ada dua nasib: makan atau dimakan.” (Halaman 70). Jika tidak mau dimakan, dimanfaatkan dan diinjak-injak oleh orang dari Kasta Perut Buncit atau orang kaya, maka intinya harus berani mengambil tindakan seperti yang dilakukan Balram, membunuh majikannya sendiri.

Setelah India merdeka dari jajahan Inggris pada tanggal 15 Agustus 1947, India tidak benar-benar merdeka. “Ketika Inggris akhirnya pergi--kandang-kandang pun terbuka; dan semua binatang menyerang serta melukai satu sama lain, hukum rimba menggantikan hukum kebun binatang. Mereka yang paling garang dan paling rakus menghabisi yang lain dan perut mereka bertambah buncit. Hanya itu yang penting sekarang, ukuran perutmu. Tidak masalah apakah kau wanita, muslim atau kalangan tak tersentuh: siapapun yang berperut buncit bisa maju.”

(India belum pernah merdeka. Awalnya kami dijajah kaum Muslim, lalu diperintah orang Inggris. Pada 1947 orang Inggris pergi, tapi hanya orang tolol yang menganggap kami sudah merdeka) (Halaman 23).

Di buku ini juga penulis menyindir diskrimasi terhadap minoritas. Seseorang dari kalangan minoritas yang bekerja di sebuah keluarga yang berasal dari mayoritas di negara itu harus menyembunyikan identitasnya agar diberikan kesempatan bekerja, bahkan harus berpura-pura mengikuti agama majikannya. Seperti yang terjadi pada Ram Persad, salah satu sopir di keluarga Ashok Sharma. Ram Persad bukanlah nama sebenarnya. Ia terpaksa mengganti nama  agar diterima bekerja di rumah tuan Ashok. Pada saat bulan puasa, dia pergi ke masjid secara diam-diam untuk beribadah atau namaz (sholat).

“Betapa malang hidupnya, dia harus menyembunyikan agama serta nama aslinya, hanya untuk bekerja sebagai sopir-dan dia sopir yang cekatan, tak dapat dipungkiri, saya takkan menyamai kemampuannya.” (Halaman 119)

Kemarahan Balram terhadap majikannya berawal ketika ia dipaksa mengaku telah menabrak seseorang di jalan sampai tewas. Padahal saat itu yang memegang setir adalah Pinky Madam yang sedang mabuk berat . Balram diminta oleh keluarga Ashok untuk menandatangani surat pernyataan yang berisi pengakuan akan perbuatan yang tak pernah dilakukannya. Bahkan Balram mengatakan hal seperti ini kerap menimpa para sopir lainnya yang berasal dari Kegelapan.

“Penjara-penjara Delhi penuh dengan sopir yang terkurung di balik jeruji karena mereka menanggung kesalahan yang diperbuat majikan kelas menengah mereka yang orang baik-baik. Kami sudah meninggalkan desa, tapi para majikan tetap menguasai kami, tubuh, jiwa, dan bokong kami. Ya , itu benar: kami semua hidup dalam demokrasi paling luar biasa di dunia.” (Halaman 181)

Dalam kasus seperti ini, para hakim juga terlibat melakukan konspirasi untuk menyelamatkan para kalangan menengah atas. “Para hakim? Mereka pasti tahu pengakuan itu dibuat dengan paksaan kan? Tapi, mereka juga bagian dari penipuan ini. Mereka menerima suap, lalu tidak mengacuhkan kerancuan apapun dalam kasus ini. Dan, hidup terus berlanjut.” (Halaman 181).

Di akhir bagian buku ini, Balram yang kini telah jadi pengusaha kaya, mengganti namanya menjadi Ashok Sharma, mengakui bahwa ia tidak menyesal membunuh majikannya. “Namun, sekalipun semua lampu kristal ini jatuh ke lantai, sekalipun mereka melempar saya ke penjara dan semua tawanan lain memerkosa saya, sekalipun mereka memaksa saya menaiki tangga kayu ke tiang gantungan, saya takkan pernah berkata bahwa saya menyesal menggorok leher majikan saya di Delhi malam itu. Saya akan berkata bahwa itu harga yang pantas untuk mengetahui bagaimana rasanya tidak menjadi pembantu, sekalipun hanya untuk satu hari, satu jam, atau bahkan satu menit.” (Halaman 352)

Buku ini masuk daftar buku 1001 buku yang harus dibaca sebelum mati. It is highly recommended. Tapi menurutku lebih asyik baca yang versi English. Aku kurang sreg dengan terjemahannya.  Happy reading !













Comments

Popular Posts