Resensi Buku "Amba"
Judul :
Amba; Sebuah Novel
Penulis :
Laksmi Pamuntjak
Penerbit :
Gramedia Pustaka Utama
Tahun :
2012
Halaman : 494
Aku beli buku ini tahun 2012 lalu di Depok.
Waktu itu belum ada toko buku Gramedia di Lombok. Bertepatan ada pekerjaan di
ibukota, aku sempatkan mampir ke toko buku dan beli buku ini. Waktu itu buku
ini lagi banyak diobrolin dan itulah alasan kenapa aku langsung ambil buku ini
di rak.
Tapi hampir dua tahun berlalu buku ini hanya
tersimpan di lemari tanpa pernah aku sentuh sedikitpun. Aku agak malas untuk
mulai membacanya karena buku ini cukup tebal. Akupun cuma baca endorsement yang
dicantumkan dalam buku ini.
Di pertengahan tahun 2014, aku mulai membuka
buku ini dan aku bertekad untuk menuntaskannya dalam waktu satu pekan. Tapi
lagi-lagi hanya beberapa lembar di awal, saat Amba terbaring di rumah sakit
akibat diserang seorang perempuan. Karena aku masih bingung dengan alur
ceritanya lantas aku menutupnya dan kuganti bacaanku dengan buku yang lebih
tipis.
Akhirnya di bulan November aku habiskan buku
ini, hanya dalam hitungan kurang dari sepekan. Wow, I was surprised by this book. Ternyata buku ini keren. Dan tak
membosankan seperti yang aku duga sebelumnya. Aku selalu tak sabar dengan
halaman-halaman berikutnya. Dan menurutku itulah salah satu ciri buku yang
bagus, mampu membawa pembaca untuk terlibat dalam ceritanya dan membuat pembaca
tak sabar untuk meneruskan membaca halaman demi halaman.
Menurutku buku ini bukan sekadar novel biasa
yang lahir hanya dari imajinasi dan rekaan penulisnya. Tapi novel ini merupakan
buah dari riset panjang dari penulis tentang latar belakang sejarah yang
menjadi inti cerita novel ini. Ini dapat dilihat ucapan terima kasih penulis
yang ditambahkan dalam novel ini secara khusus untuk semua narasumber yang telah
membagi pengalaman baik secara tulisan dan lisan kepada penulis tentang sejarah
berdarah pada saat terjadi pemusnahan PKI, kisah para tahanan politik di Pulau
Buru, dan bagaimana kondisi tempat pembuangan tersebut.
Bahkan karena dengan beberapa fakta sejarah yang
melatarbelakangi novel ini, yang diceritakan dengan detail aku sempat berpikir
ini adalah kisah nyata. Benar-benar nyata bahwa Bhisma itu ada, Amba itu ada,
dan semua tokoh yang ada di novel ini bukan tokoh rekaan. Tapi pernah
benar-benar hidup di masa itu dan menjadi saksi sejarah. Tapi telah dibantah
sang penulis di awal buku ini bahwa ini hanyalah karya fiksi berlatar belakang
sejarah. “Sejumlah tempat seperti
Kadipura,Rumah Sakit Waeapo, dan Rumah Sakit Sono Walujo di Kediri adalah
fiktif. Adegan-adegan Srimulat dan adegan-adegan di Sanggar Bumi Tarung juga
merupakan buah imajinasi pengarang. Dan meskipun serangan ke Universitas Res
Publica, Yogyakarta pada 19 Oktober 1965 terjadi di siang hari, pengarang “memindahkannya”
ke malam hari.”
Amba, seorang perempuan kuat, tegar, mandiri dan
keras di usianya yang tak lagi muda berkunjung ke Pulau Buru untuk mencari
jejak kekasihnya, Bhisma Rashad yang kabarnya telah meninggal dunia di pulau
itu. Bhisma Rashad dikirim ke Tefaat (Tempat Pemanfaatan) Buru pada tahun 1971
bersama para tahanan politik lainnya setelah ditangkap di Universitas Res
Publica Yogyakarta tahun 1965 pada saat menghadiri acara peringatan kematian
salah satu temannya.
Saat itulah ia terpisah dengan Amba, kekasih
yang dikenalnya di Kediri, Jawa Timur pada saat bertugas di sebuah rumah sakit.
Saat itu pula Amba sedang mengandung anaknya. Tapi ia tak pernah kembali.
Sampai kabar kematian Bhisma, dokter yang lulusan Leipzig, Jerman tersebut
diterima Amba dari surat elektronik yang dikirimkan orang yang tak dikenalnya.
Dan pada tahun 2006 Amba berangkat ke Buru merandai jejak Bhisma. 41 tahun
pascaperpisahan dengan Bhisma.
Di Pulau Buru, jejak-jejak Bhisma yang dikenal
dengan Resi dari Waeapo itu ia telusuri, ditemani beberapa kawan yang mengenali
seluk beluk pulau tempat pembuangan para tahanan yang dianggap pengkhianat
bangsa itu. Dari seseorang yang dikenal sakti di wilayah itu, Manalisa, Amba
menemukan surat-surat yang ditulis Bhisma saat masih menjadi tahanan Buru.
Berbagai kisah yang dialami di Buru ia ceritakan dengan panjang lebar, tentang
kejamnya tempat buangan tersebut dan berbagai cerita para tapol yang berasal
dari beragam latar belakang. Surat-surat tersebut ditulis Bhisma dari tahun
1973 sampai 1977 dan kemudian ia simpan di dalam pokok pohon bambu dan ditanam
di bawah sebuah pohon.
Pada saat seluruh tahanan buru dibebaskan dan
dipulangkan oleh rezim pemerintahan saat itu karena muncul desakan dari
berbagai pihak, Bhisma memilih tak
kembali. Ia lebih memilih tinggal di pulau itu, menolong orang dengan ilmu
kedokterannya sehingga ia dikenal dengan sebutan Resi. Ia kemudian menikah
dengan perempuan lokal, Mukaburung. Mukaburung sempat menyerang Amba saat
melihat Amba berada di makam Bhisma. Tapi cinta Bhisma tetap abadi untuk Amba
sampai ia meninggal dunia di usia lanjutnya.
Walaupun buku ini lumayan tebal, tapi tidak
terasa membosankan membacanya. Kita akan dibuat penasaran dengan kisah dari
Amba yang menggunakan gaya penceritaan alur maju-mundur-maju ini. Dengan
membaca buku ini, aku jadi paham sejarah masa lalu bangsa ini. Dan syukurnya
buku ini terbit di era pascareformasi sekarang ini. Kemungkinan besar, jika
ditulis pada tahun sebelum 1998, buku ini tidak akan pernah sampai ke tangan
pembaca. Salut. Lima bintang untuk buku ini.
Comments
Post a Comment